JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dinilai belum punya fasilitas yang mumpuni untuk menghadapi ancaman persebaran penyakit menular yang membutuhkan karantina khusus. Anggota Komisi IX Dede Yusuf mengatakan, banyak rumah sakit tidak memiliki ruang karantina khusus.

Akibatnya, ketika terjadi endemik penyakit tertentu, pemerintah kerepotan menyediakan fasilitas karantina khusus penyakit menular tersebut. Misalnya, kata Dede, ketika terjadi ancaman penyakit Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS CoV). Saat ini pemerintah kesulitan untuk melakukan karantina terhadap orang-orang yang menjadi suspect penyakit itu ketika misalnya baru pulang dari negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia.

Karena itu, kata dia, DPR mendorong pemerintah untuk membuat RUU khusus menyangkut karantina kesehatan. "Saya belum rapatkan soal itu, tetapi intinya pemerintah harus memiliki sarana prasarana khusus untuk menangani penyakit yang membutuhkan karantina khusus," kata Dede ketika dihubungi gresnews.com, Senin (14/9).

Lembaga karantina penyakit ini tak hanya ada di pusat melainkan juga di daerah. "Karena penanganan virus dan penyebarannya butuh treatment spesial," lanjut Dede.

Karantina dapat diartikan pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular. Selama ini, kata politisi Partai Demokrat itu, pasien dengan penyakit menular dengan pasien biasa sering dikumpulkan dengan pasien biasa. "Alasannya karena keterbatasan ruangan. Utamanya kejadian ini sering terjadi di RS daerah," tuturnya.

Padahal seharusnya ada pemisahan antara penderita penyakit menular dari orang sehat. Itu hanya bisa dilakukan lewat fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan khusus.

"Pemerintah harus memiliki sarana prasarana khusus untuk penanganan jenis penyakit penyakit yang butuh karantina khusus," tegas Dede.

Politisi Partai Demokrat itu menyebut, kondisi fasilitas karantina kesehatan nasional saat ini masih minim. Sebab, banyak Rumah Sakit (RS) di beberapa daerah tidak memiliki ruang karantina khusus.

Padahal, itu dinilai penting ketika terjadi kondisi darurat penyakit endemik atau penyakit yang sifatnya menular dan berbahaya seperti virus, bakteri maupun jenis lainnya. Karena itulah UU terkait Karantina Kesehatan ini dinilai penting. "Minimnya fasilitas karantina penyakit cukup rentan mengancam kondisi kesehatan masyarakat," ujar Dede.

MAKSIMALKAN UU TENTANG WABAH - Selain ancaman persebaran penyakit menular, Dede menilai, UU Karantina Kesehatan juga penting untuk menghadapi penyakit akibat bencana semisal musibah kebakaran hutan dan lahan yang melanda Sumatera dan Kalimantan.

Dede menuturkan, bencana lingkungan dan musibah seperti kebakaran lahan merupakan suatu kondisi yang perlu ditangani melalui treatment khusus. "Termasuk kejadian seperti penyebaran polusi asap saat ini dimana korban semua menderita saluran pernapasan," pungkasnya.

Rencana DPR mendorong hadirnya RUU Karantina Kesehatan ini mendapat tanggapan negatif dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Direktur YPKKI Marius Widjajarta menilai, sebelum DPR dan pemerintah membahas karantina kesehatan, semestinya pemerintah membahas terlebih dahulu beleid yang sudah ada yaitu, revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

"Wabahnya saja belum ada masa sudah bahas fasilitas karantina. Itu berbeda sehingga UU Wabah harus diloloskan kan dulu," kata Marius kepada gresnews.com, Selasa (15/9).

Sebagai salah satu anggota tim yang menyusun naskah akademik revisi UU wabah, kata dia, aturan tersebut sudah dibahas bersama Kementerian Hukum dan HAM beberapa waktu lalu. Namun, kini Ia mengaku belum mengetahui tidak lanjut dan proses rancangan tersebut. "Sudah disusun naskah akademiknya, namun tidak tahu bagaimana nasibnya di DPR," katanya.

Dalam UU tersebut, kata Marius, masalah karantina kesehatan juga telah disinggung. Pasal 1 UU tentang Wabah memuat maksud dan tujuan yaitu mencegah, mengawasi dan mengatasi meluasnya serta memberantas wabah penyakit.

Wabah didefinisikan sebagai kondisi peningkatan suatu kejadian (kesakitan/kematian) yang meluas secara cepat atau penyakit menular berjangkit yang berpotensi menyerang sejumlah besar orang di suatu tempat tertentu. Dalam beleid itu juga disebutkan, sumber penyakit adalah manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda yang mengandung dan/atau tercemar bibit penyakit, serta yang dapat menimbulkan wabah.

Marius menjelaskan, aturan UU Wabah yang berlaku puluhan tahun silam itu perlu direvisi salah satunya terkait penanganan jenis wabah. Sebab, pada UU wabah yang disahkan sebelumnya, penanggulangannya masih sempit yaitu lebih pada jenis penyakit bersifat biologis seperti bakteri dan kuman saja.

"Itu penyakit kuno dan sekarang perlu diubah jenis penyakitnya sesuai kondisi saat ini seperti wabah nuklir dan kimia," sebutnya.

PERATURAN TAK MEMADAI - Marius mengatakan, ancaman penyakit kini tak lagi sebatas yang bersifat biologis semisal bakteri dan kuman. Saat ini, kata dia, ancaman wabah bertransformasi dan berubah seiring terjadinya peningkatan kegiatan produksi dan industrialisasi.

Menurut Marius, ancaman wabah berbentuk limbah yang dihasilkan dari pabrik cukup berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Melihat kondisi wabah sebagai suatu gejala yang berdampak serius pada masyarakat, namun hingga kini belum disiapkan cara penanganannya.

Selama ini, Ia menilai, Kementerian Kesehatan pun tidak begitu siap menyediakan fasilitas karantina karena belum ada kerangka aturan yang mewajibkannya. Menghadapi persoalan itu, Marius menilai, perlu ada penyempurnaan aturan pencegahan atau preventif.

"Penanganannya harus disiapkan. Misalkan, hepatitis itu kan virus, flu burung, hingga MERS," jelasnya.

Sayangnya, perangkat peraturan di Indonesia untuk mengantisipasi masalah itu memang belum memadai. Selain UU Wabah, Indonesia hanya memiliki Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/PER/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya (Permenkes No. 1501/2010).

Permenkes tersebut antara lain mengatur penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah berikut tata cara penemuannya, upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB/wabah) termasuk penetapan daerah KLB dan daerah wabah berikut upaya penanggulangannya. Beleid itu juga mengatur, pelaporan termasuk tata cara teknis pelaporannya, sumber daya (pendanaan, ketenagaan, serta sarana dan prasarana), dan pembinaan dan pengawasan terhadap penanggulangan KLB/wabah.

Peraturan-peraturan ini dinilai belum memadai untuk mengantisipasi persebaran penyakit terkini seperti wabah ebola, MERS CoV dan lainnya. Sebab paradigma sebagian besar pengaturan tersebut lebih terfokus pada setelah kejadian dan pada upaya pengobatan, dibandingkan pada sebelum kejadian dan upaya pencegahan preventif.

Misalnya, UU Wabah dan Permenkes No. 1501/2010 cenderung menekankan upaya penanggulangan KLB/wabah. Substansi pengaturan dalam kedua peraturan ini belum sesuai dengan paradigma kesehatan untuk proaktif dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah risiko terjadinya penyakit dengan cara memperbaiki kesehatan lingkungan, gizi, perilaku, dan kewaspadaan dini.

Selain itu, kedua peraturan tersebut belum mengatur mengenai bentuk koordinasi antar instansi bila terjadi wabah. Dalam peraturan yang ada juga belum tergambar bagaimana solusi dalam menghadapi hambatan operasional yang sering terjadi di lapangan, seperti pembagian peran setiap pemangku kepentingan selain menteri kesehatan.

Misalnya apa saja peran sektor perhubungan, apakah terbatas melakukan deteksi dini, menyiapkan informasi cuaca/meteorologi, serta merencanakan kebutuhan transportasi dan komunikasi bila terjadi wabah. Begitupula dengan sektor keuangan, seperti penyiapan anggaran kegiatan penanggulangan wabah penyakit menular baik pada masa sebelum bencana maupun pada masa setelah bencana.

Karena itulah, pemerintah didesak untuk lebih memaksimalkan UU yang ada yaitu merevisi UU Wabah, yang justru kata Marius, malah tak jelas juntrungannya hingga kini.

BACA JUGA: