JAKARTA, GRESNEWS.COM – Meskipun permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) ditolak Mahkamah Konstitusi, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) meminta pemerintah tetap memperhatikan pendapat MK. Antara lain terkait penyelenggaraan pangan oleh pemerintah semestinya merujuk pada standar dan indikator hak atas pangan sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
 
Pengaturan hak atas pangan warga negara Indonesia dapat dilihat ketika pada November 1996, pemerintah Republik Indonesia mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Pangan Sedunia yang diselenggarakan oleh Food and Agriculutural Organization (FAO). Pertemuan ini mengakui pangan sebagai hak yang paling asasi. Di waktu yang sama, pemerintah Indonesia mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, sebuah undang-undang yang mengakui bahwa pangan adalah kebutuhan dasar manusia.
 
Saat ini pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia setelah Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya  telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia lewat UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. "Kovenan ini mengakui hak atas pangan dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak atas pangan warga negaranya," kata Gunawan, pemohon I (IHCS) dalam perkara nomor 98/PUU-XI/2013 kepada Gresnews.com, di Jakarta, Kamis (4/12).
 
Pentingnya kovenan itu dirujuk melihat kenyataan masih banyak korban gizi buruk (malnutrition) dan busung lapar (hunger) yang membawa kematian, meski setelah sekian tahun UU Pangan diberlakukan. Mirisnya gizi buruk dan busung lapar justru terjadi di daerah produsen pangan, yaitu pedesaan dan daerah pesisir, serta melanda di ibu kota negara. Persoalan-persoalan pangan semakin diperparah dengan kelangkaan minyak goreng dan minyak tanah. Naiknya harga susu untuk anak balita, kekeringan, bencana alam, semakin rendahnya kemampuan beli masyarakat, pangan yang tercemar zat kimia berbahaya dan virus.
 
Petani, nelayan, pembudidaya ikan, peternak di wilayah pedesaan serta pesisiran sebagai produsen sekaligus konsumen pangan dan masyarakat perkotaan sebagai konsumen pangan sama-sama mengalami kendala akses kepada kecukupan pangan yang layak. Bahkan krisis pangan saat ini telah menjadi krisis yang menglobal.

Dewan HAM PBB telah menyelenggarakan Sesi Khusus pada 22 Mei 2008, untuk membicarakan tanggapan Dewan HAM PBB mengenai krisis pangan dunia. Langkah ini, lanjut Gunawan yang juga Ketua Komite Pertimbangan Organisasi (KPO) IHCS, tentunya sangat krusial sebagai upaya kolektif di level internasional untuk menempatkan pangan bukan hanya sebagai prasyarat penting pembangunan di negara-negara di dunia. Terutama di Negara berkembang dan negara miskin, melainkan juga menegaskan bahwa pangan adalah hak dari seluruh umat manusia.

Pemenuhan hak atas pangan tidak saja terkait ketersediaan bahan pangan, tetapi juga soal akses, kualitas, penerimaan secara budaya, cadangan pangan dan kebijakan bantuan pangan kepada kelompok khusus (rentan) dan untuk situasi khusus serta penyadaran tentang gizi. Guna mengatasi situasi rawan pangan seperti tersebut diperlukannya sinkronisasi antara kebijakan pangan dengan kebijakan pertanian, perikanan, peternakan, pertanahan, industri, perdagangan, keuangan, kesehatan, dan pendidikan serta jaminan sosial.

Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya telah memberikan arahan bagaimana pemenuhan dan perlindungan hak atas pangan itu harus dilakukan. Menjadi penting agar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 disinkronkan atau direvisi dengan mengacu kepada Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pengesahan Kovenan membawa konsekuensi hukum bagi Indonesia. Hal itu tertuang dalam Pasal 2 Kovenan tersebut, yakni segera setelah negara pihak melakukan ratifikasi kovenan ini maka negara pihak dikenakan kewajiban untuk meninjau berbagai produk perundang-undangan nasional untuk memastikan bahwa produk perundang-undangan tersebut sesuai dengan prinsip pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia.

Disebutkan: "Semua Negara Pihak dalam kovenan ini akan mengambil langkah-langkah, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, baik ekonomi maupun teknis, guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia untuk mencapai realisasi progresif hak-hak yang diakui dalam kovenan ini dengan berbagai cara yang sesuai, termasuk secara khusus dengan mengadopsi tindakan-tindakan legislasi".
 
Meski demikian, Gunawan tetap mengkritisi pendapat MK dalam putusan tersebut. "Pertanyaannya, siapa menteri penanggungjawab kecukupan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan pemerintah," tegasnya. Sebab, lanjutnya, mahkamah berpendapat seluruh menteri bertanggungjawab.

Seperti diketahui, MK menyatakan UU Pangan tidak bertentangan dengan konstitusi sebagaimana didalilkan pemohon pengujian UU Pangan. Pemohon yang terdiri dari 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini meminta MK Pasal 3, Pasal 36 ayat (3), Pasal 53, Pasal 69 huruf c, Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 133, UU Pangan terhadap UUD 1945. Mereka berpendapat ketentuan pasal-pasal ini inkonstiusional.
 
"Menolak seluruh permohonan pemohon," kata Ketua MK Hamdan Zoelva di sidang pengucapan putusan perkara nomor 98/PUU-XI/2013 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, (3/12).

Dalam pertimbangannya Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 3 UU Pangan secara tegas telah mengakui, melindungi, menjamin, mengatur, dan memberikan kepastian hukum bahwa "kebutuhan dasar manusia" yang paling utama adalah berupa pangan, di samping adanya kebutuhan dasar manusia lainnya yaitu sandang dan perumahan yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Dengan pertimbangan itu menurut Mahkamah Pasal 3 UU Pangan sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Sementara terkait ketentuan dalam Pasal 36, Mahkamah bertpendapat, keberlakuan Pasal 36 ayat (3) UU Pangan, tidak menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakjelasan institusi atau lembaga yang menentukan kecukupan pangan dalam negeri dan cadangan pangan masyarakat. Mengingat pengertian pangan sangatlah luas, Mahkamah menilai tidak mungkin kewenangan di bidang pangan dikelola oleh suatu kementerian tertentu saja. Sebab, selain lingkup tugasnya yang sangat luas, soal pangan juga diatur dan menjadi tanggung jawab kementerian lainnya. Atas dasar pertimbangan tersebut maka menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 36 ayat (3) UU 18/2012 tidak bertentangan dengan konstitusi.

Terkait Pasal 53 yang mengatur larangan bagi pelaku usaha pangan untuk menimbun atau menyimpan kebutuhan pangan pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana telah ditentukan dalam UU ini, Mahkamah menilai memang seharusnya tidak ada pengecualian bagi pelaku usaha kecil.
 
"Semua pelaku usaha pangan di skala apapun tanpa pembedaan, dilarang menyimpan pangan pokok yang jumlahnya melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan Pemerintah," tutur Hakim Konstitusi Aswanto saat membackan pendapat Mahkamah.

Para Pemohon pengujian UU Pangan dalam perkara 98/PUU-XII/2014 ini beranggapan kedua pasal tersebut tidak melindungi pelaku usaha pangan skala kecil, sehingga dalam tuntutannya pemohon meminta agar kedua ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi untuk melindungi kelangsungan usaha pelaku usaha pangan skala kecil.

Selain IHCS, pemohon lainnya adalah Aliansi Petani Indonesia (API); Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP); Perkumpulan Sawit Watch; dan Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD); Indonesia for Global Justice (IGJ); Wahana Lingkungan Hidup (WALHI); Koalisi Rakyat Untuk Perikanan (Kiara); dan Bina Desa.

BACA JUGA: