JAKARTA, GRESNEWS.COM – Indonesia memiliki empat undang-undang yang mengatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah baik pusat  maupun daerah. Ketiga UU itu adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Desa)  

Hanya saja dari keempat UU itu tidak ada yang mengatur kewajiban pemerintah memenuhi hak masyarakat terkait hak atas pangan, hak petani, dan hak nelayan serta partisipasi masyarakat. Kewajiban itu masih lebih banyak diabaikan, sementara masyarakat, khususnya petani dan nelayan belum menyadari hak-haknya. Dalam rangka advokasi pemajuan hak atas pangan, hak petani, hak nelayan dan masyarakat yang bekerja di pedesaan tersebut, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)memandang perlu adanya dialog antara masyarakat dengan pemerintah dan DPRD.
 
"Tujuannya, agar di tingkat daerah juga ada pemahaman tentang perlunya peraturan tentang pemenuhan, pemajuan, dan  perlindungan hak atas pangan, hak petani, hak nelayan dan masyarakat yang bekerja di pedesaan," kata Ketua Komite Pertimbangan Organisasi IHCS, Gunawan kepada Gresnews.com, Jumat (27/2).
 
Apa saja kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda) dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab dalam tiga undang-undang tersebut? Pertama terkait pangan, bagaimana pemerintah daerah menjamin ketersedian pangan, cadangan pangan, distribusi pangan, harga pangan, konsumsi pangan, melindungi produsen pangan, keamanan pangan dan lain-lain.
 
Kedua, terkait perlindungan dan pemberdayaan petani. Pemda harus memberikan jaminan ketersediaan lahan pertanian dengan memberikan kemudahan bagi petani kecil dan petani tak bertanah untuk mendapatkan akses tanah negara. Dalam hal ini UU mengharuskan Pemda untuk terlebih dahulu menetapkan dan melindungi kawasan pertanian pangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
 
Ketiga, tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemda menentukan zonasi perairan pesisir yang akan membawa dampak bahan pangan khususnya yang bersumber dari perikanan.
 
"Dalam penyusunan kebijakan di tingkat daerah, pemerintah daerah juga harus mengakomodir masukan rakyat," tutur Gunawan. Sebab, lanjutnya, dalam kesehariannya masyarakat telah secara mandiri mengembangkan pola pertanian, perikanan dan pangan-nya sendiri.
 
Meski demikian, menurut Gunawan, tetap memerlukan peran pemerintah atau Pemda. Karena itu, kata dia, masyarakat khususnya petani haruslah menyadari apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah pusat atau Pemda dan apa yang menjadi haknya petani, nelayan dan masyarakat yang bekerja di pedesaan.
 
Sementara itu, Koordinator Aliansi Desa Sejahtera (ADS), Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), sudah sangat maju dalam mengadvokasi hak-hak tersebut secara "teks" (berupa uji materi UU ke Mahkamah Konstitusi dan menyelaraskan sejumlah peraturan). Namun mengalami kegagalan dalam hal konteks (implementasi). "Pertanyaan utamanya adalah, kita harus mulai dari mana?," kata Tejo dalam keterangannya, Jumat (27/2).
 
Menurutnya, pemajuan hak nelayan, hak petani, hak pangan, dan hak masyarakat yang bekerja di pedesaan bisa dimulai dengan menciptakan daerah binaan. Hal ini akan menjadi contoh atau standar untuk daerah lain. "Juga  sebagai contoh bagi pemda lain, bagaimana baiknya pembangunan daerah dilakukan," tegasnya.
 
Diakui Dayat, seorang petani asal Pangandaran, dalam implementasinya, petani masih kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Ia mengungkapkan, saat ini pemerintah hanya memberikan bantuan berupa alat–alat produksi. Mulai dari traktor, benih hingga pupuk.

"Namun tidak memperhatikan arti dari petani yang berdaulat  itu sendiri, karena keberadaan petani yang masih tidak memiliki lahan, sehingga harus menyewa lahan. Ini tanda belum berdaulatnya petani," kata Dayat.
 
Kejelasan bantuan pemerintah, lanjutnya, juga perlu dipertanyakan kembali, apakah pemerintah benar–benar membantu petani, atau membantu pengusaha. Ia mencontohkan, di Pangandaran, banyak masalah yang masih sering terjadi. Seperti selisih harga yang besar dalam pupuk subsidi yang diberikan pemerintah, benih yang tidak tumbuh, bahkan traktor yang diberikan gratis oleh pemerintah juga masih disewakan oleh pengusaha.
 
Namun, setelah dikonfirmasi dengan pemda setempat, ternyata pemda sendiri tidak tahu menahu mengenai teknis bantuan tersebut, sehingga sangat dibutuhkan audiensi antara petani dengan pemda. "Ini pengalaman yang kami  alami sendiri di Pangandaran," tegasnya.
 
Apa sebenarnya yang dibutuhkan petani? Lebih senang diberi uang tunai? "Petani lebih membutuhkan kemudahan dalam mengakses alat produksi, lahan, dan juga akses distribusi, sehingga tidak perlu membayar lagi biaya ekstra  seperti untuk jasa traktor (yang sebenarnya bantuan),  biaya pupuk subsidi yang mahal, dan harus menyewa lahan, " terang Dayat.

BACA JUGA: