JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perlindungan pemerintah terhadap buruh migran di sektor kelautan belum terwujud. Hingga saat ini kasus penelantaran dan pelanggaran terhadap hak Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja di luar negeri masih terus terjadi. Terakhir, kasus penelantaran terjadi terhadap ABK Indonesia (WNI) di Angola, Afrika Barat.  

Seperti diberitakan, sebanyak 25 pelaut WNI terapung-apung di dalam kapal bekas penangkap ikan berbobot 700 gross ton MV Luanda 3 yang berbendera Angola dan Korea. Masa kerja para ABK WNI telah habis, namun mereka tak juga menerima pembayaran gajinya. Mereka terkatung-katung tanpa perbekalan dan tidak bisa pulang karena tak memiliki ongkos.

Berulangkali mereka meminta agar empat agen yang memberangkatkan para ABK yaitu PT Kimco Citra Mandiri, PT. Marindo, PT. Panca Karsa dan PT. Indah Mekar Sari (IMS), untuk mendesak PT Inter Burgo agar segera memulangkan mereka dan memenuhi hak para ABK. Mereka juga mendesak agar PT Marina, induk perusahaan PT Inter Burgo yang berbasis di Korea Selatan, ikut bertanggung jawab atas penelantaran para ABK.

Nasib mengenaskan juga dialami 17 Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan MV. Relience. Sejak kapal mereka terbakar di perairan Trinidad dan Tobago, Kepulauan Karibia dekat Amerika Selatan, akhir April lalu, nasib mereka tak jelas. Sebab seluruh harta benda mereka, termasuk dokumen paspor, buku pelaut, dan baju, semua ludes dilalap api. Para ABK Indonesia itu selamat setelah terjun ke laut.

Namun ironisnya para ABK yang tengah mengalami trauma tidak segera disandarkan tapi justru dipindahkan bekerja di kapal lain. Tanpa kejelasan kontrak.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku prihatin dengan nasib sejumlah ABK Indonesia di luar negeri yang sering tersandung masalah. Mulai dari ketidakadilan dalam pembayaran upah, perbudakan hingga kekerasan fisik. "Banyak modus operandi di luar yang kerap memanfaatkan para ABK WNI," kata Susi ditemui Gresnews.com beberapa waktu lalu di gedung Mina Bahari I KKP, Jakarta Pusat.

Susi menyebut, sampai saat ini diperkirakan ada sekitar 210 ribu ABK yang bekerja di luar negeri. Namun, dari jumlah tersebut, Susi mengakui masih belum menerima kabar terkait kondisi masing-masing. "Berapa pekerja yang menjadi korban perbudakan itu kita belum mengetahui secara pasti," kata Susi.

Menurut data yang dihimpun Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN), tercatat banyak sebaran TKI yang berprofesi sebagai pelaut ABK di luar negeri. Sesuai data SPILN tahun 2014, disebutkan jumlah ABK WNI di Amerika Serikat mencapai 9.233 orang, Taiwan ada 82.665 orang, di Fiji Islands sekitar 902 orang.

Sementara di benua Eropa, yaitu Spanyol mencapai 889 orang, Belanda 796 orang dan di Afrika Selatan terdiri dari 587 WNI yang didominasi profesi sebagai pekerja laut.

"Belum lagi yang ada di China, Korea Selatan dan Jepang mereka semua potensial sebagai korban perbudakan modern di laut," kata Wakil Ketua SPILN Imam Syafi’i kepada gresnews.com, Jumat (21/8).

Soal kasus ABK yang terlantar di Angola, Imam secara singkat menuturkan saat ini terdapat 18 sampai 22 WNI yang mengalami ketidakadilan dalam pembayaran gaji dan ketidakpastian soal pemulangan mereka ke tanah air. Kasus penelantaran terjadi pascainsiden kebakaran yang dialami kapal tersebut beberapa waktu lalu. Imam menyebut, salah satu korban adalah WNI yang bekerja di kapal MV Luanda I milik perusahaan Angola.

ABK WNI TERLANTAR - Dalam keterangannya kepada Gresnews.com, salah satu pekerja ABK WNI di kapal MV Luanda I bernama Nursalim mengaku kesal lantaran menjadi salah satu pihak yang dirugikan dalam hubungan kerja dengan perusahaan asing.

Ia mengaku, sudah hampir empat bulan gajinya belum dibayar lunas. Padahal, sesuai aturan kontrak kerja yang ditandatangani kedua pihak antara ABK dan perusahaan, mestinya sisa 50% gaji yang ditahan segera dilunasi setelah kontrak selesai.

"Hak upah kami sampai hari ini belum dibayar. Dalam kontrak kerja yang kami tandatangan pun tercantum akan diberikan setelah finish kontrak," ungkap Nursalim kepada gresnews.com, Jumat (21/8).

Nursalim mengaku, ia dan rekan-rekannya berangkat melalui jasa pengiriman salah satu agen di Indonesia bernama PT Panca Karsa Mandiri. Kemudian, setelah dikirim ke Angola, Nursalim dan kawan-kawan menjalin kontrak bersama perusahaan Angola bernama  PT Inter Burgo. Perusahaan inilah yang disebut berkewajiban membayar upah ABK yang kini bermasalah.

Selama durasi kontrak 25 bulan yang telah dijalani, menurutnya, dari total gaji sebesar US $ 8.500 yang dijanjikan perusahaan, saat ini baru cair US$ 4.300. Kabarnya, pihak perusahaan dalam hal ini PT Inter Burgo berjanji akan melunasi sisa tunggakan gaji dalam waktu dua bulan setelah kontrak selesai. "Tapi sampai hari ini sudah hampir 4 bulan hak kami yang US$ 4.300 belum juga dibayar," tegas Nursalim.

Di samping perjanjian mengenai gaji, Nursalim menuturkan, ada kontrak lain yang juga ditawarkan perusahaan terkait pemulangan ABK sewaktu durasi kerja berakhir. Ia menjelaskan, sesuai rencana, perusahaan bakal memulangkan seluruh ABK Indonesia yang over kontrak pada bulan april 2015 lalu. Namun demikian, nasib para ABK Indonesia itu hingga kini belum jelas dan tidak mendapat kepastian mengenai waktu pemulangan ke tanah air.

Ironisnya, dikabarkan saat ini juga ada  26 ABK Indonesia yang dikirim beberapa agen Indonesia mengalami nasib malang serupa di Angola. Mereka terlantar dan terapung di sebuah kapal bekas di perairan Angola. Disebutkan, sejumlah ABK bahkan sudah terapung berbulan-bulan lamanya seiring ketidakjelasan kontrak dan talangan upah dari perusahaan.

Nursalim mengaku kecewa perihal tindakan diskriminasi dan ketidakadilan dari agen yang mengirim mereka ke Angola.

REKOMENDASI SPILN UNTUK PEMERINTAH - Menyikapi banyaknya permasalahan TKI Pelaut sebenarnya Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) pernah merekomendasikan kepada kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sejumlah langkah.

Diantaranya SPILN merekomendasikan agar Izin Perusahaan Pengirim TKI Pelaut memiliki 2 izin. Yaitu, izin keagenan Awak Kapal (SIUPPAK) di Departemen Perhubungan dan izin PPTKIS di Kementerian Ketenagakerjaan.
Hal itu mengingat, pelaut merupakan bagian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sesuai dengan penjelasan ketentuan Konvensi ILO No.185 mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut 1958 yang diadopsi menjadi UU. No. 1 Tahun 2008 tentang Seafarers Identity Documented (SID).

SPILN juga merekomendasikan agar kepala BNP2TKI mutlak memberi Perlindungan untuk TKI Pelaut. Sebab  selama ini banyak TKI Pelaut menjadi korban perbudakan, eksploitasi, kekerasan, gaji tidak dibayar, PHK sepihak, jam kerja yang tidak teratur serta tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga di rumah. Sementara apabila terjadi permasalahan, para TKI Pelaut merasa kebingungan harus mengadukan kemana.

Selama ini kebanyakan Perusahaan Pengirim TKI Pelaut lepas tanggung jawab jika terjadi permasalahan antara Pelaut dengan Perusahaan pemilik kapal di luar negeri. Alasannya perusahaan pengirim hanya menempatkan dan kebanyakan pula Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang ditandatangani oleh calon TKI pelaut pada saat akan berangkat tidak sepenuhnya dibaca dan dipahami oleh calon TKI Pelaut.

SPILN juga mendesak Pemerintah khususnya Kementerian Ketenagakerjaan (KEMNAKER) segera menerbitkan Peraturan menteri tenaga kerja (Permenaker) tentang penempatan dan perlindungan TKI Pelaut yang bekerja di kapal berbendera asing di luar negeri. Kementrian Ketenagakerjaan, BNP2TKI, Departemen Perhubungan, KBRI, KDEI dan juga Kementrian Luar Negeri juga harus membentuk TIM khusus untuk penanganan permasalahan TKI Pelaut.

BACA JUGA: