JAKARTA, GRESNEWS.COM - Persoalan tenaga kerja ilegal masih mewarnai pengiriman tenaga migran Indonesia ke luar negeri. Praktik permainan birokrasi dan maraknya penyimpangan di tingkat daerah diduga menjadi sebab compang-campingnya pelayanan terhadap pahlawan devisa tersebut.

Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebut ada 1,92 juta Warga Negara Indonesia (WNI) berstatus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak berdokumen alias ilegal. Sedangkan jumlah keseluruhan tenaga kerja Indonesia baik legal dan ilegal telah mencapai 6,2 juta orang.

TKI ilegal ini sebagian besar bekerja di Malaysia dan Arab Saudi. Banyaknya TKI ilegal yang masuk ke negara Malaysia, salah satunya disebabkan banyak jalur tikus yang bisa ditempuh menuju negara tersebut. Sementara TKI Ilegal membanjiri Arab Saudi, karena mereka bisa masuk dengan visa umroh atau haji. Maraknya TKI ilegal juga disebabkan sistem birokrasi yang menghambat pelayanan bagi TKI. Misalnya berbelit-belitnya pengurusan dokumen legalitas. Akhirnya banyak TKI memilih jalur pintas, menggunakan calo atau jalur ilegal.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid membenarkan maraknya TKI ilegal akibat banyaknya penyelewengan kebijakan di level stakeholder daerah. "Kendala ini yang mempersulit para TKI yang hendak bekerja di luar negeri," katanya.

Menurut dia, persoalan itu banyak terjadi di hulu dan melibatkan banyak stakeholder mulai dari Kepala Desa, Camat Bupati sampai tingkat Provinsi. Menurutnya ada sejumlah stakeholder yang terindikasi melakukan praktik penyimpangan misalnya pemalsuan dokumen hingga berujung pada ketidakjelasan kontrak kerja.

Di samping itu, diakui masih banyak persoalan birokrasi yang perlu dibenahi. Contoh kasus yang ditemui BNP2TKI, hingga kini TKI kerap kesulitan memperoleh dokumen dari pemerintah daerah. Menurutnya, ketidakjelasan sistem birokrasi dan minimnya integrasi pelayanan yang baik, membuat urusan calon TKI semakin panjang.

"Terkadang, para calon TKI sudah di provinsi disuruh balik lagi ke desa dan persoalan lain sebagainya," tutur Nusron.

BNP2TKI menilai integrasi pelayanan merupakan solusi dan jalan keluar memudahkan para calon TKI mengurus keperluannya. Menurut Nusron salah satu layanan yang akan dikembangkan ke depan adalah sistem pelayanan terpadu satu pintu. Dengan skema ini, ia mengimbau para tenaga kerja bisa langsung berurusan dengan otoritas pemerintahan terkait secara langsung. "Langsung ke pemerintah, urusan selesai. Tidak usah muter-muter buat habis ongkos, waktu dan lainnya," ujarnya.

AKAN REVISI ATURAN - Peliknya masalah layanan TKI ini, menurut Nusron, menjadi salah satu faktor pendorong pemerintah pusat merevisi dan menyederhanakan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. "Revisi UU jadi momentum untuk menyederhanakan proses bagi para TKI," imbuhnya.

Salah satu pembenahan dalam aturan UU akan menitikberatkan pada konteks debirokratisasi, utamanya, menciptakan sistem pelayanan terpadu. Nusron mencontohkan, role play atau aturan main pemerintah ke depan soal urusan TKI akan mengikuti model pelayanan terpadu yang kini diterapkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

"Investor tidak perlu berurusan dengan sektor kehutanan atau bidang lainnya. Cukup diselesaikan dan dikoordinasikan BKPM," jelas Nusron.

BNP2TKI juga mengemukakan sejumlah kasus lain yang terjadi di sektor jasa pengiriman TKI. Saat ini modus pengiriman TKI perlahan mulai bergeser dari Perseroan Terbatas (PT) menjadi bisnis individu (calo) yang disinyalir sebagai pihak penawar jasa dalam suplai pengiriman TKI ke luar negeri.

"Para calo kini sudah mulai punya hubungan kerja sama dengan agen di luar negeri," ungkap Nusron.

Calo-calo tersebut, dianggap ilegal karena memberangkatkan calon TKI tanpa dilengkapi dokumen yang sah, ditambah lagi, tanpa konfirmasi apa pun.

Nusron menyebut, banyak modus yang dilakukan para calo tersebut diantaranya memanfaatkan kebebasan visa. Contoh kasus, pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah dilakukan melalui keberadaan fasilitas visa kunjungan seperti visa ziarah atau visa umroh.

JALUR ILEGAL PICU MASALAH TKI - Jalur pengiriman TKI ilegal yang telah berlangsung lama bisa menjadi pemicu tingginya angka kekerasan dan kompleksitas masalah TKI di luar negeri.

Data Direktorat Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri mencatat, sejak 1 Januari hingga 30 September 2014 terdapat 12.450 kasus yang dialami WNI di luar negeri. Diantaranya, 9.290 kasus telah berhasil diselesaikan sementara 3.160 kasus masih dalam penanganan Kemlu dan Perwakilan RI di luar negeri.

Dijabarkan, kurang lebih 92,43% atau 11.507 kasus merupakan permasalahan yang dialami oleh Tenaga Kerja Indonesia domestik. Sementara 460 (3,69%) kasus terjadi pada anak buah kapal (ABK) dan 483 (3,88%) oleh WNI lainnya.

Kendati demikian, di tengah akumulasi kasus yang marak melibatkan para TKI, laju pengiriman tenaga kerja ke luar negeri terus berlangsung. Data yang dilansir laman resmi BNP2TKI pada Januari 2015 menyebut, penempatan TKI ke berbagai negara di dunia sepanjang tahun 2014 mencapai 429.872 orang. Jumlah itu meliputi 219.610 orang (58 persen) TKI formal dan 182.262 orang (42 persen) TKI informal.

TKI JADI KORBAN - Koordinator Aliansi TKI Menggugat (ATKIM) Yusri Albima mengatakan, skema pelayanan birokrasi belum memihak kepada para tenaga kerja lokal. "Betapa rumit alur birokrasi di negeri ini. Masalah tersebut sangat bertentangan dengan prinsip pelayanan publik yang mudah, murah dan cepat," kata Yusri kepada gresnews.com, Selasa (18/8).

Sistem alur pelayanan yang rumit dan panjang di hulu, kata Yusri, memberikan celah serta peluang kepada pihak tertentu termasuk birokrasi dalam mencari keuntungan finansial (berkolusi) dengan Pelaksana Penempatan TKI swasta, calo dan lain-lain). "Calon TKI atau TKI dirugikan dan menjadi objek profit taking," tegas Yusri.

Menanggapi rencana Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI yang akan menyederhanakan aturan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, dia mengatakan sebetulnya aturan yang sudah ada tersebut cukup sederhana dan melayani kebutuhan TKI.

Menurut dia, justru yang membuat chaos dalam penanganan TKI adalah pihak Kemenaker dan BNP2TKI selaku regulator dan operator. "Dualisme antara kedua instansi tersebut yang menimbulkan disharmoni," ujarnya.

Kebijakan teknis Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) dan Peraturan Kepala (Perka) BNP2TKI, sambung Yusri, seringkali tidak sinergis dan bahkan berbeda paham dalam menafsirkan UU Nomor 39 Tahun 2004. Selain itu, masalah terbesar lainnya terletak pada inkonsistensi pelaksanaan dan menegakkan regulasi secara utuh sesuai amanat UU.

Misalnya, sejauh ini masih ada pelayanan yang tergantung pada keuangan para TKI. "Pelayanan cepat tergantung fulus dan kedekatan dengan petugas pelayan di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota/Kabupaten. Untuk itu, perlu intervensi Pemerintah Pusat dalam pembuatan alur proses yang sederhana dan mudah," jelasnya.

Menyikapi maraknya keberadaan TKI ilegal pemerintah mengambil dua kebijakan. Yakni pemutihan dan pemulangan. Solusi pemutihan artinya pemerintah akan memberi peluang mengubah status TKI yang awalnya bekerja dengan dokumen tidak lengkap, menjadi TKI resmi. Sehingga mereka juga bisa dilindungi dan memperoleh pengawasan. Sementara pemulangannya, menurut Nusron, menjadi jalan terakhir.

BACA JUGA: