JAKARTA, GRESNEWS.COM - Walikota Bandung, Ridwan Kamil berencana membuat Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Gedebage, Bandung. Namun, PLTSa ini dinilai mengabaikan asas kehati-hatian dini dan berpotensi merusak lingkungan, serta dinilai lemah hukum.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menengarai asas kehati-hatian dini telah diabaikan dalam rencana pembangunan PLTSa Gedebage, Bandung. Pertimbangan yang lemah membuat rencana ini amat meragukan. “Belum ada penilaian tersendiri terhadap dampak dan teknologi yang dipakai. Sehingga berpotensi membahayakan masyarakat dan merusak lingkungan hidup Kota Paris van Java,” ujar Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI Eknas kepada Gresnews.com, Minggu, (21/9).

Kurniawan menjelaskan Undang-undang No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah harus menjadi dasar kebijakan pengelolaan sampah berwawasan lingkungan di berbagai daerah. Dengan pertimbangan yang ada saat ini, kebijakan Ridwan Kamil, tentang PLTSa di Gedebage mengarah pada pengabaian asas kehati-hatian dini sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 2 (f).

Artinya, kebijakan sebagai upaya mengatasi persoalan sampah ini tidak boleh mengabaikan penilaian objektif mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan pengolahan sampah. Pasal 29 ayat 1(g) UU Pengelolaan Sampah no.18 tahun 2008 melarang setiap orang untuk membakar sampah, terutama sampah yang tidak layak teknis. Inilah yang harus menjadi pertimbangan utama, bukan semata karena kekhawatiran atas gugatan investor.

“Pertimbangan kuat WaliKota hanya kekhawatiran atas tuntutan hukum dari investor. Padahal, walau mengikat secara hukum, hal ini masih negotiable, dimana Pemkot Bandung punya posisi tawar yang kuat sebagai pemilik proyek,” ujar Direktur WALHI Jawa Barat, Dadan Ramdan.

Dadan juga menilai dasar hukum legalitas proyek sangat lemah, tidak ditemukan kesesuaian dengan arahan kebijakan nasional tentang persampahan. Kelayakan pengelolaan sampah di tingkat makro dan mikro dalam hal teknologi pun diragukan.

Selain itu, kesesuaian teknologi dengan karakteristik sampah, skema pembiayaan, studi AMDAL yang kadaluwarsa dan tahapan kerjasama proyek yang kolutif membutuhkan kajian lebih dalam. Lebih mendasar adalah ketidakpastian penilaian dampak terhadap lingkungan hidup, kesehatan dan sosial.

Di sisi lain, beberapa kajian telah menunjukkan bahwa PLTSa dengan menggunakan insinerator merupakan investasi pembangkitan listrik paling mahal dibanding pembangkit lainnya. “Ini jika kita bandingkan dengan pengelolaan sampah 3R: Reduce, Reuse, dan Recycle,” tutur Wawan.

Persoalan sampah di Indonesia yang kompleks, khususnya kota-kota besar seperti Bandung, menuntut adanya payung strategi dan kebijakan nasional yang terpadu. Meningkatnya volume dan berbagai jenis sampah baru dan dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan, mewajibkan Pemerintah kota menerapkan kebijakan pengelolaan sampah secara cermat. Pertimbangan yang lemah dan meragukan berpotensi menimbulkan masalah baru, baik dalam aspek lingkungan, sosial dan ekonomi.

Oleh karena itu WALHI mengingatkan, Wali Kota Bandung untuk segera meninjau ulang dan membatalkan rencana PLTSa di Gedebage dan segera menerapkan kebijakan pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan.

BACA JUGA: