JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kalangan anggota Komisi X DPR (membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan kebudayaan) menyatakan langkah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) membekukan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak tepat dan bertentangan dengan aturan hukum. Alasannya secara hirarki, PSSI berada di bawah federasi sepakbola internasional (FIFA), bukan pemerintah. Selain itu Kemenpora juga dianggap tidak berwenang melakukan pembekuan hingga pembubaran PSSI karena organisasi sepakbola ini masuk kategori organisasi masyarakat (ormas). Berbeda dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang merupakan lembaga otoritas keolahragaan di Indonesia.

Sementara itu aturan pembubaran organisasi kemasyarakatan tertuang dalam  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Pasal 59 mengatur larangan sebuah ormas. Antara lain, ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan golongan. Kemudian, mereka juga tidak boleh melakukan tindakan kekerasan yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, termasuk perbuatan merusak.

Sanksi bagi pelanggaran larangan itu dituangkan dalam Pasal 60 sampai Pasal 82, termasuk di dalamnya mengatur soal pembubaran.

"Tidak mudah untuk dapat membubarkan suatu ormas, karena harus lebih dahulu dikenakan sanksi pencabutan status badan hukum sesuai ketentuan Pasal 61 huruf d karena telah melanggar larangan yang diatur didalam UU Ormas, kemudian setelahnya dapat dibubarkan melalui mekanime putusan pengadilan," kata Wakil Ketua Komisi X DPR yang berasal dari Fraksi Partai Golkar (kubu Koalisi Merah Putih) Ridwan Hisyam kepada Gresnews.com, Minggu (19/4).

Menurutnya, membubarkan suatu ormas berbadan hukum harus melewati banyak tahapan yang dimulai dari pemberian sanksi administratif sebanyak tiga kali melalui peringatan tertulis. Dalam Pasal 64, jika surat peringatan ketiga tidak diacuhkan, pemerintah bisa menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatan mereka selama enam bulan, dengan catatan, jika ormas tersebut berskala nasional, harus ada pertimbangan Mahkamah Agung.

Namun, jika sampai 14 hari tidak ada balasan dari Mahkamah, pemerintah punya wewenang menghentikan sementara kegiatan mereka. Selanjutnya ketentuan Pasal 68 menyebutkan, jika ormas masih berkegiatan padahal sudah dihentikan sementara, pemerintah bisa mencabut status badan hukum mereka, asal mendapat persetujuan dari pengadilan.

"Untuk membubarkan ormas, pemohon adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia," tegas Ridwan.

Menurutnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memberikan sanksi pencabutan status badan hukum (Pasal 68 Ayat (3). Lalu, Kejaksaan yang bertindak sebagai pihak yang mengajukan permohonan pembubaran suatu ormas atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (Pasal 70 Ayat (1).

"Pengadilan Negeri yang memutus pembubaran suatu ormas (Pasal 71 Ayat (1), serta Mahkamah Agung yang memutus perkara pembubaran ormas pada tahap kasasi Pasal 58 Ayat (4)," ungkapnya.

Ridwan mengaku Undang-Undang tentang Sistem Keolahragaan Nasional memang menyebut pemerintah memiliki kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan, tetapi bukan langkah pembekuan.

"Langkah pembekuan sudah terlampau jauh sehingga dapat dikategorikan intervensi dan akan mengundang sanksi dari FIFA," jelasnya.

Karena itu, Ridwan berjanji akan memanggil Menpora dan PSSI ke DPR dalam waktu dekat yang didahuli rapat internal komisi pada Senin (20/4). Rapat internal komisi ini, lanjutnya, bisa menghasilkan rekomendasi untuk meminta Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi mencabut keputusannya itu.

Menpora Iman Nahrawi mengaku telah telah melayangkan tiga surat peringatan kepada PSSI. Salah satu isi surat tersebut memerintahkan Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya untuk memenuhi permintaan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Namun Menpora menilai PSSI telah mengabaikan tiga surat teguran tertulis yang dikeluarkan pemerintah.

Lantaran tidak dipenuhi, Menpora kemudian membekukan PSSI sejak Sabtu (18/4).

Surat pembekuan PSSI itu antara lain berisi: 1. Pengenaan Sanksi Adminsitratif kepada PSSI berupa kegiatan keolahragaan yang bersangkutan tidak diakui.

2. Dengan pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada DIKTUM PERTAMA, maka seluruh kegiatan PSSI tidak diakui oleh Pemerintah, oleh karena-nya setiap Keputusan dan/atau tindakan yang dihasilkan  oleh  PSSI termasuk Keputusan hasil Kongres Biasa dan Kongres Luar Biasa  tidak  mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak sah dan batal demi hukum bagi organisasi, Pemerintah di tingkat pusat dan daerah maupun pihak-pihak lain yang terkait.

3. Dengan pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada DIKTUM PERTAMA dan  DIKTUM KEDUA, maka seluruh jajaran Pemerintahan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak dapat lagi memberikan pelayanan dan fasilitasi kepada kepengurusan PSSI, dan seluruh kegiatan keolahragaannya.

Dengan berlakunya Keputusan Menteri itu, Pemerintah akan membentuk Tim Transisi yang mengambil alih hak dan kewenangan PSSI sampai dengan terbentuknya  kepengurusaan PSSI yang kompeten sesuai dengan mekanisme  organisasi dan  statuta FIFA.

"Demi kepentingan nasional, maka persiapan Tim Nasional Sepakbola Indonesia untuk menghadapi SEA Games 2015 harus terus berjalan," tulis surat putusan Menpora Nomor 0137 Tahun 2015, itu.  Selanjutnya Pemerintah bersama KONI dan KOI sepakat bahwa KONI dan KOI bersama Program Indonesia Emas (PRIMA) akan menjalankan persiapan Tim Nasional.

Kemudian seluruh pertandingan Indonesia Super League/ISL 2015, Divisi Utama, Divisi I, II, dan III tetap berjalan sebagaimana mestinya dengan supervisi KONI dan KOI bersama Asprov PSSI dan Klub setempat.

BACA JUGA: