JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dunia pendidikan berguncang setelah Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menutup ratusan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Langkah tersebut diambil setelah Kemenristekdikti menemukan semakin maraknya peredaran ijazah bodong yang dikeluarkan oleh PTS. Para mahasiswa ini tak perlu menjalani kuliah dan berlelah-lelah menggarap skripsi cukup mengeluarkan sejumlah dana titel sarjana pun disandangnya.

Dirjen Kelembagaan Kemenristekdikti, Padono Suwityo menyatakan daftar PTS yang dinonaktifkan ini akan berubah-ubah sesuai dengan tingkat pelanggaran yang berhasil diperbaiki. Beredarnya daftar sebanyak 243 PTS yang tutup bukan merupakan nominal resmi yang dikeluarkan Ditjen Dikti Kemenristekdikti.

"Angka tersebut disebarkan oleh masyarakat. Ini sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi, jadi masyarakat berhak tahu, berhak menganalisis," ujarnya di Gedung Kemendikbud, Senayan, Selasa (6/10).

Ia menyatakan masyarakatlah yang akhirnya menganalisa dan menyebarluaskan jumlah data yang ada. Sayangnya kemudian jumlah ini berkembang berbeda-beda. Dalam klarifikasinya, dikatakan tak ada PTS yang dicabut izinnya, namun hanya sebatas dinonaktifkan saja.

Artinya ketika dinonaktifkan tak akan ada pelayanan ketika perguruan tinggi tersebut mengajukan pengusulan akreditasi, penambahan prodi baru, sertifikasi dosen, penghentian pemberian hibah, dan pemberian beasiswa. "Jadi pada prinsipnya sementara, PTS ini akan dicabut status non aktifnya ketika memperbaiki pelanggaran yang dilakukan," ujarnya.

Pelanggaran yang dimaksud diantaranya yakni tidak melaporkan data PT selama 4 semester berturut-turut, rasio dosen dengan mahasiswa tak mencukupi, melaksanakan pendidikan utama di luar kampus utama tanpa izin, terjadi konflik, yayasannya sudah tak aktif, tak melaporkan penggantian yayasan dan pindah kampus.

"Ada perguruan tinggi yang tak sengaja melaporkan karena ingin wisuda dalam jumlah banyak," kata Padono.

Data PTS yang dinonaktifkan pada April 2014 lalu diketahui berjumlah 576, namun bedanya Dikti tak mengumumkan. Terakhir, pada 21 September lalu sudah terjadi penurunan sebesar 239, sehingga ia meyakini tahun depan akan berkurang lagi jumlahnya.

Ia juga menepis anggapan penonaktifan dilakukan secara tiba-tiba, sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 dan peraturan menteri terdapat sanksi administratif dan sanksi pidana atas pelanggaran yang dilakukan. Pertama berupa peringatan tertulis. Kedua, pemberhentian bantuan sementara oleh pemerintah. Ketiga, pemberhentian sementara kegiatan. Keempat, pemberhentian pembinaan dan Kelima, pencabutan izin.

"Sekarang mereka sementara tak boleh menerima mahasiswa baru dan melakukan wisuda. Tunggu status non aktifnya dicabut," ujarnya.

Kepada mahasiswa yang berada pada PTS tersebut, Padono menyatakan PTS yang bersangkutan mempunyai tanggung jawab mengalihkan mahasiswa ke PT terdekat. Dikti pun berjanji akan membantu mencarikan gantinya.

"Ijazah yang diberikan tak punya civil effect, tidak sah. Kalau terlanjur lulus, Dikti tak bisa lakukan apa-apa," katanya.

KEDEPANKAN PEMBINAAN - Terkait masalah ini, Komisi X DPR memang meminta pihak Kemenristek Dikti untuk melakukan koordinasi dengan DPR. Pasalnya, DPR menilai beberapa universitas yang ditutup masih amat layak untuk tetap bisa beroperasi asal dilakukan pembinaan secara benar.

Mantan anggota Komisi X DPR yang juga merupakan dosen di beberapa perguruan tinggi Didik J Rachbini mengatakan, tanpa ada pembinaan yang baik, pemberangusan universitas yang dinilai bodong ini merupakan kebijakan yang naif. Kata dia, dalam konteks ini, Dikti yang dianalogikan sebagai ibu kandung seolah tak menginginkan anak-anak yang tak sempurna dan membuangnya begitu saja.

"Saya yang bergerak di bidang pendidikan selama 39 tahun saja tidak tahu apa standar yang dipakai Dikti. Padahal kebijakan publik harus disampaikan," ujarnya kepada gresnews.com.

Didik  yang lama berkecimpung di dunia pendidikan tinggi mengatakan, langkah yang dilakukan oleh Kemenristek Dikti ini tidak adil. Dia mengatakan, tak bisa pemerintah memvonis begitu saja sebuah universitas sebagai universitas bodong.

Menurut Didik, di awal pembukaan sebuah kampus, universitas swasta pastilah meminta izin kepada Kemendiknas atau saat ini kepada Kemenristekdikti. Namun saat syarat sebagai universitas dianggap kurang, Dikti seperti lepas tangan dan langsung menutup secara tiba-tiba operasional kampus tersebut.

Langkah ini, kata Didik, sangat merugikan bagi para mahasiswa di kampus-kampus yang mendadak ditutup. Jika rata-rata jumlaah mahasiswa dalam satu universitas berkisar 1000 orang, maka dalam kasus ini, kata dia, terdapat 243 ribu mahasiswa yang dirugikan. "Jika universitas melakukan jual beli ijazah maka silahkan dikriminalisasikan, tapi dinonaktivkan ini tak masuk akal," ujarnya.

Didik mengimbau, pihak Dikti meninjau ulang aksi pembersihan alias penutupan 243 universitas yang diduga bodong ini, lalu melakukan screening atau penyaringan ulang. Terhadap universitas yang melakukan jual beli ijazah, kata Didik, memang harus ditindak, namun terhadap universitas yang kurang dosen atau fasilitas justru Dikti harus melakukan pembinaan atau dilakukan merger ketika dirasa kurang memadai fasilitasnya.

Suatu kebijakan penutupan, menurutnya harus melalui proses formulasi, sosialisasi, dan diskusi dengan pihak-pihak lain, termasuk Komisi X DPR RI sebagai mitra. "Inikan tidak, tiba-tiba keluar, kopertisnya saja tak tahu. Sepengalaman saya di Komisi X, saya yakin mereka tak datang ke lapangan untuk pengecekan langsung," katanya.

Dulu, saat menjadi Anggota Komisi X, kata Didik, untuk menutup sebuah universitas haruslah ada pengelaborasian satu per satu. Ketika dilakukan penutupan pun tidak secara serempak, tapi satu per satu. "Tapi memang, standar Dikti selalu berubah-ubah. Jadi kita tak tahu apa standar mereka menutup suatu universitas," katanya.

Penutupan universitas swasta ini juga membuat Didik menyarankan Dikti agar fokus memperhatikan universitas swasta. Pasalnya selama ini diyakini perhatian Dikti tersita untuk universitas besar yang sudah memiliki ratusan doktor. "Kampus besar jika mau membuat jurusan baru maka buat saja sendiri tak perlu ribet administrasi, lalu lapor, selesai. Dikti sebagai badan perizinan saja, urusi yang kampus kecil," katanya.

REAKSI KOPERTIS - Sri Mastuti Kepala Seksi Kelembagaan Kopertis 3 Jakarta menyatakan penonaktifan Kopertis merupakan hal yang wajar dilakukan Dikti setiap tahunnya. Sebelum penonaktifan tersebut, Dikti juga telah mengirimkan pemberitahuan kepada Kopertis dan PTS yang bersangkutan.

"PT kan ada ketentuannya ketika dinonaktifkan, sudah sekian semester tidak lapor ada pemberitahuan statusnya," katanya kepada gresnews.com, Rabu (7/10).

Secara sistem, PT maupun Kopertis tak mungkin tak mengetahui status dari PTS yang bersangkutan. Sebab, status pelaporan PTS tersebut terdaftar dengan sistem online di Korlap Dikti. Bahkan masyarakat luas pun dapat ikut mengaksesnya.

Menyoal pengaktifan kembali PT yang bermasalah, Sri menyatakan lama pengaaktifan bergantung pada PT masing-masing. "Seharusnya mereka lapor per semester, jika ad laporan nunggak sampai tiga tahun maka mereka juga yang harus melengkapi," katanya.

Setelah itu, pihak Kopertis hanya akan memverifikasi jumlah dosen, mata kuliah, mahasiswa dll. Untuk kemudian dibawa ke Dikti dan dilakukan proses aktifasi kembali. "Ini biasa, pengaktifan sudah banyak kami lakukan, tapi lamanya bergantung jumlah mahasiswa, jurusan, dan mataa kuliah. Jadi tak bisa disamaratakan," katanya.

Masalah peembinaan juga disampaikannya, Dikti selalu berkoordinasi dengan Kopertis untuk meminta laporan proses pembelajaran tiap bulan. "Di awal berdiri kami sudah sampaikan minimal harus ada enam dosen tetap, dan tak boleh berkurang selama proses pembelajaran," katanya.

BACA JUGA: