JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo, Jumat (21/8), mengumpulkan para Direktur Program stasiun-stasiun televisi swasta dan negara di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Jokowi juga didampingi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Judhariksawan.

Pada kesempatan itu, Jokowi menyampaikan adanya keresahan publik terhadap program di televisi yang lebih terkesan hanya mengejar rating dibandingkan dengan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif.

Presiden mengaku telah bertemu dengan ormas-ormas keagamaan, dan saat pergi ke kampung juga bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat. Jokowi menyampaikan, banyak dari mereka mengeluhkan isi siaran televisi.

"Pak, saya ini pagi mendidik anak-anak saya, hal-hal yang berkaitan dengan budi pekerti dan lain lain. Tetapi malamnya nonton sinetron, nonton TV hiburan yang berbanding terbalik dengan yang saya sampaikan," ungkap Jokowi.

Diakui Presiden Jokowi, program televisi memang mencari rating yang tinggi, namun ia berharap pencapaian rating tersebut juga dapat mendidik pemirsanya sekaligus menghibur.

"Jadi kreativitas dan pembuat-pembuat acara diharapkan berkonten positif dalam mendorong menghibur juga ada unsur pendidikan,” tuturnya.

Langkah Presiden Joko Widodo yang meminta stasiun televisi membuat tayangan yang mendidik dan bukan sekadar menghibur, patut diapresiasi. Hanya saja, langkah tersebut dinilai tidak memadai.

Direktur Remotivi--lembaga pemantau dan peneliti tayangan televisi-- Muhamad Heychael mengatakan, sebagai orang yang diberikan kuasa oleh publik untuk menjalankan pemerintahan, mestinya Presiden Jokowi tidak hanya meminta. "Presiden wajib memastikan tayangan televisi, yang menggunakan frekuensi publik, benar-benar mendidik publik," kata Heychael dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (24/8).

Apalagi, kata dia, Jokowi juga pernah berjanji memperbaiki kondisi di bidang penyiaran yang tertuang dalam Nawacita. Heychael mengatakan, jika Jokowi serius dengan janjinya itu, seharusnya sebagai presiden, Jokowi serius mendukung revisi UU Penyiaran yang kini tengah digarap.

Revisi ini, menurutnya, penting untuk menjamin hak-hak publik atas tayangan dan informasi yang berkualitas. "Setidaknya ada enam isu besar yang menjadi pembahasan revisi UU Penyiaran dan membutuhkan dukungan Pemerintahan Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat agar dapat direalisasikan," kata Heychael.

BEBERAPA ISU PENTING - Heychael mengatakan, ada enam isu penting yang harus diselesaikan dalam pembahasan RUU Penyiaran ini. Pertama adalah terkait penguatan KPI.

Dia mengatakan, tayangan penuh kekerasan, eksploitasi tubuh perempuan, horor, dan mistik yang mencederai akal sehat publik bisa terus tayang karena fungsi KPI sebagai regulator penyiaran tidak berjalan maksimal.

"Situasi ini salah satunya disebabkan oleh wewenang KPI sebagai regulator yang hanya bisa menjatuhkan sanksi administratif," kata Heychael.

Misalnya, sanksi denda hanya bisa diberikan pada pelanggaran tertentu, seperti penayangan iklan rokok di luar waktu yang telah ditentukan KPI. Padahal, sanksi denda bisa jadi alat intervensi industri yang digerakkan oleh logika mencari untung. "Karenanya, kami menilai kategori pelanggaran untuk sanksi denda perlu diperluas," ujarnya.

Masalah lain, kata dia, terletak pada tiadanya kewenangan KPI atas izin siar. Wewenang ini ada di tangan Kominfo, sementara KPI hanya bisa memberi rekomendasi. Dengan demikian, tak ada yang bisa menjamin performa lembaga penyiaran menjadi satu-satunya pertimbangan dalam memperpanjang izin siar.

Tiadanya wewenang ini juga membuat KPI tidak berwibawa di hadapan industri penyiaran. Dalam upaya memperkuat KPI, selain memfasilitasinya dengan instrumen sanksi yang lebih memadai, wewenang pemberian izin siar pun perlu dialihkan pada KPI.

Isu penting kedua adalah soal pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran. Hal ini juga menimbulkan penyalahgunaan frekuensi dimana banyak pemilik stasiun televisi menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan politiknya.

Keresahan publik atas penggunaan televisi sebagai sarana kepentingan politik oleh pemiliknya ini, kata Heychael, sesungguhnya bisa diatasi dengan membuat aturan yang tegas tentang kepemilikan media penyiaran. Pasal 18 dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebenarnya telah mengatur tentang pembatasan kepemilikan.

Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 menyatakan bahwa pembatasan itu hanya berlaku bagi lembaga penyiaran swasta baru yang muncul setelah aturan tersebut ditetapkan dan tidak berlaku surut. Pengecualian diberikan pada lembaga penyiaran yang telah mapan dan memiliki stasiun relay.

Standar ganda semacam ini, kata Heychael, jelas tidak sejalan dengan semangat UU Penyiaran yang menghendaki demokratisasi penyiaran. "Komitmen pemerintah pada demokratisasi penyiaran perlu ditunjukkan dengan koreksi atas aturan semacam ini, terlebih hal ini secara khusus tertuang dalam Nawacita Jokowi-JK," ujarnya.


SENTRALISASI PENYIARAN - Persoalan berikut yang merupakan bagian dari enam isu penting yang harus diatur dalam RUU Penyiaran adalah terkait sentralisasi penyiaran. Sentralisasi penyiaran sebagaimana berlaku hari ini menghasilkan tayangan televisi yang berkutat dalam permasalahan Jakarta.

"Warga di luar Jakarta seolah tak memiliki hak atas informasi dan tayangan yang relevan bagi kehidupannya. Ini jelas tidak selaras dengan semangat desentralisasi UU Penyiaran," jelas Heychael.

UU Penyiaran dan aturan-aturan turunannya telah mengamanatkan pemberlakuan Sistem Stasiun Jaringan untuk mengatasi hal ini. Namun, riset Ade Armando bersama SMRC di tiga kota—Bandung, Semarang, dan Palembang—menemukan bahwa sebagian besar televisi Jakarta bersiaran nasional tidak mematuhinya.

Berdasarkan riset tersebut, kebanyakan stasiun televisi mangkir dari kewajiban untuk memenuhi siaran lokal minimal 10%, memiliki stasiun siaran di daerah, dan mempekerjakan tenaga lokal. Penegakan hukum atas ketentuan ini adalah tanggung jawab pemerintah yang berada dalam koordinasi Presiden.

Isu berikut yang tak kalah penting adalah penguatan televisi publik. "Ketika industri televisi swasta mengabaikan fungsi pelayanan publik, kita berharap televisi publik dapat menjadi alternatif," kata Heychael.

Namun nyatanya, TVRI pun tak mampu memenuhi harapan itu. Dengan minimnya dukungan politik dan pendanaan serta buruknya sistem manajemen, TVRI tak punya cukup amunisi untuk menjelma jadi televisi publik yang kuat. Karena itu, usul kelompok masyarakat sipil untuk mengundangkan Rancangan Undang-Undang RTRI (Radio dan Televisi Republik Indonesia) perlu didukung.

Pembuatan payung hukum tersendiri bagi lembaga penyiaran publik akan membuktikan komitmen pemerintah dalam menciptakan penyiaran yang berkualitas. Selain itu, merger dua lembaga penyiaran publik tersebut juga bisa menjadi langkah awal pembenahan manajemen TVRI. Sekali lagi, peran pemerintah dalam hal ini sangat menentukan.

LEMBAGA PENYIARAN KOMUNITAS - Lebih lanjut, kata Heychael, jika frekuensi siar yang digunakan televisi adalah milik publik, maka publik pun punya hak untuk menggunakannya. Publik mesti punya ruang untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi dan hiburan yang berbasis komunitas tempat ia hidup.

Sayangnya, pelaksanaan hak ini terhambat oleh regulasi yang tidak mendukung. Contoh dari hal ini tampak dalam berbelitnya prosedur dan mahalnya izin pendirian televisi komunitas.

Peraturan Menteri Kominfo No. 28 tahun 2008 tidak membedakan biaya izin pendirian televisi komunitas dengan televisi swasta. Padahal, dalam UU Penyiaran Pasal 21, televisi komunitas dilarang memuat iklan. Aturan ini jelas tidak adil dan berpotensi membunuh lembaga penyiaran komunitas.

"Pemerintah perlu membuat regulasi yang mampu memupuk tumbuh kembang lembaga penyiaran komunitas sebagai bentuk upaya pemenuhan hak dasar warga negara," ujarnya.

Isu berikut yang harus diperhatikan, menurut Heychael, adalah masalah digitalisasi. Digitalisasi penyiaran adalah keniscayaan. Cepat atau lambat perubahan teknologi dalam lanskap industri penyiaran akan terjadi.

Karena itu, revisi UU Penyiaran perlu merespons perubahan ini. Pemerintah dan DPR perlu menyiapkan formulasi digitalisasi televisi dengan tetap berpegang pada prinsip demokratisasi penyiaran. Teknologi digital, dengan inovasi penghematan frekuensi, tidak serta merta membatalkan Sistem Siaran Berjaringan dan pembatasan kepemilikan.

Meski teknologi digital memang bisa mengatasi problem kelangkaan frekuensi yang melandasi pembangunan kedua sistem tersebut, ia tidak bisa mengatasi problem struktural yang lebih mendalam. "Teknologi digital tidak bisa melindungi industri televisi lokal dari persaingan tidak setara dengan industri televisi swasta nasional," tegas Heychael.

Lebih lanjut lagi, penerapan teknologi digital yang dibarengi dengan sistem-sistem sebelumnya bisa menghasilkan surplus kanal, yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan inovasi-inovasi lebih jauh. "Pemerintah mesti mengawal revisi UU Penyiaran agar bisa membuka ruang kemungkinan ini," ujarnya.

PEMERINTAH WAJIB TINDAKLANJUTI - Poin-poin di atas adalah pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi yang perlu segera ditindaklanjuti. Alih-alih berkeluh kesah, Presiden sebenarnya bisa menggunakan kewenangan dan menunaikan tanggung jawabnya dalam memperbaiki wajah penyiaran.

Koordinator Riset dan Media Remotivi Yovantra Arief mengatakan, selain persolan regulasi, langkah paling sederhana yang bisa diambil pemerintah adalah, salah satunya, memastikan KPI bekerja maksimal. "Dalam penilaian kami, salah satu penyebab tayangan televisi tidak berbenah adalah karena kinerja KPI yang masih jauh dari harapan," kata Yovantra.

Dia menegaskan, dalam pengamatan Remotivi selama 22 bulan terakhir, KPI tidak menerapkan mekanisme sanksi yang bertingkat terhadap tayangan televisi yang melanggar aturan P3 SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran). "KPI hanya mengulang-ulang sanksi pada tayangan yang telah berkali-kali melanggar, meski sebenarnya ia bisa memberikan sanksi yang lebih berat," ujarnya.

Selain itu, keseriusan Jokowi juga mesti ditunjukkan dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan cita-cita demokratisasi penyiaran. Penghargaan Bintang Mahaputra kepada Surya Paloh sebagai tokoh pers nasional misalnya, telah mengingkari cita-cita ini.

Surya Paloh, kata Yovantra, adalah pemilik media yang menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan politiknya. Lebih dari itu, ia juga memiliki reputasi memecat wartawan secara sewenang-wenang.

"Memberikan penghargaan kepada sosok yang tidak tepat justru akan membuat keinginan Jokowi ibarat memercik air ke muka sendiri," ujarnya.

Karena itu, kata dia, bertepatan dengan Hari Televisi Nasional 2015 ini, Remotivi bersama publik menagih komitmen demokratis pemerintahan Jokowi di bidang penyiaran.

HISTERIA PUBLIK - Saat menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-70 Kemerdekaan RI, di sidang bersama DPR RI dan DPD RI, Jumat (14/8), Presiden Jokowi mengkritik sejumlah media yang disebutnya hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif.

Menurut Presiden Jokowi, saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan. Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif.

"Masyarakat mudah terjebak pada histeria publik dalam merespons suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional," kata Jokowi.

Lantaran itulah, di depan para direktur program stasiun televisi swasta dan negara, Jokowi juga meminta penambahan sisi-sisi moralitas rohani dan juga hal yang bersifat nasionalisme dalam tayangan televisi. Misalnya, penayangan lagu Indonesia Raya dan sebagainya.

Diharapkan dengan adanya penanyangan lagu-lagu kebangsaan tersebut di dalam siaran televisi dapat meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat. ""Saya harap program televisi tidak hanya sekadar menghibur tapi mendidik serta mengisi optimisme masyarakat. Saya kira kreativitas bisa menonjolkan hal tersebut,"" ujar Presiden.

Namun, Jokowi juga menegaskan bahwa dirinya tidak menginginkan untuk mengekang kebebasan pers Indonesia, oleh karena itu, dia mengundang direktur program, bukan berita. "Yang diharapkan akan ada pertemuan berikutnya," ujarnya.

BACA JUGA: