JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kehadiran ribuan pengungsi dari etnis Rohingya dan Bangladesh ke Indonesia menimbulkan persoalan pelik. Pemerintah harus mencari solusi yang benar-benar tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyarankan Indonesia mensponsori konferensi internasional untuk mencari solusi masalah imigran Rohingya. Alasan Yusril, tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya bukan saja harus difokuskan pada penanganan pengungsi, tetapi juga harus dibarengi langkah politis dan diplomatis untuk memberikan tekanan kepada Myanmar agar menyelesaikan problem domestik mereka.

Menurutnya, masyarakat maupun Pemerintah Myanmar cenderung diskriminatif terhadap etnis minoritas baik Rohingya (Muslim) maupun Karen (Katolik). Sikap diskriminatif seperti ini tidak sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan pengakuan keragaman di dunia modern. Namun sejak tiga dekade terakhir, pemerintahan militer Myanmar melakukan pembiaran terhadap tindak kekerasan etnik di negara itu.

"Langkah diplomatik, politis dan ekonomis perlu segera diambil baik oleh Asean maupun dunia internasional untuk menekan Myanmar," kata Yusril melalui pesan singkat yang diterima Gresnews.com, Sabtu (23/5).

Langkah diplomasi itu dapat dilakukan Indonesia dengan mensponsori konferensi internasional untuk menyelesaikan masalah Rohingnya. Sekaligus menjadi tekanan politis terhadap pemerintah Myanmar. Indonesia dalam waktu dekat paling tidak dapat mengambil inisiatif mengundang pertemuan khusus ASEAN membahas masalah pengungsi Rohingya. Dalam pertemuan tersebut dibahas langkah-langkah memperluas peserta sehingga menjadi konfrensi internasional.

Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata pada Direktorat Jenderal Multilateral, Kementerian Luar Negeri, Andy Rachmianto, mengatakan, masalah imigran Rohingya dan Bangladesh yang dihadapi Indonesia dipandang sebagai masalah regional sehingga membutuhkan solusi regional juga.

Menurut Andy, tidak ada satupun negara di kawasan yang dapat menyelesaikan masalah kemanusiaan ini sendiri. Karena itu, Indonesia mendorong Malaysia dalam kapasitas sebagai Ketua ASEAN dapat mengambil langkah-langkah untuk melibatkan negara-negara kawasan yang terkena dampak imigran Rohingya dan Bangladesh.

Meskipun Indonesia dan Malaysia belum menjadi negara yang mengadopsi Konvensi Pengungsi 1951. Dua negara ini telah melakukan operasi tanggap darurat kemanusiaan (humanitarian emergency response) untuk membantu 1.700 imigran yang terdampar di Pantai Utara dan Pantai Timur Aceh.

"Atas dasar prinsip burden sharing dan shared responsibility serta mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Negara-negara yang mungkin akan menjadi tujuan dari imigran, termasuk Indonesia dan Malaysia, kiranya dapat mengizinkan kapal-kapal para imigran Rohingya dan Bangladesh mendarat dan diselematkan," kata Andy.

Pada saat bersamaan, Indonesia juga perlu mengatasi akar masalah dari persoalan kemanusiaan itu. Melalui mekanisme dan atas dasar prinsip-prinsip ASEAN, lanjutnya, Indonesia perlu berbicara lebih tegas kepada Pemerintah Myanmar agar bersedia mengakui keberadaan warga Rohingnya dan melakukan langkah perbaikan.

Diungkapkannya, atas undangan Menteri Luar Negeri Malaysia, Menlu RI dan Menlu Thailand telah mengadakan pertemuan trilateral di Putra Jaya pada 20 Mei 2015 lalu. Pertemuan ini membicarakan solusi penanganan imigran yang terjadi belakangan ini. Hasil pertemuan tersebut tertuang dalam Joint Statement yang mencakup beberapa hal.

Diantaranya, tiga negara berkomitmen menyelesaikan akar masalah. Kemudian peran negara-negara yang terkena imbas (affected countries), khususnya kesepakatan Indonesia-Malaysia untuk tanggap darurat terhadap 7000 imigran yang saat ini masih terkatung-katung di laut. Selanjutnya, penggalangan komitmen masyarakat internasional, antara lain dalam pengelolaan "a designated area". Sebagai tempat menampungan bersama.

"Peran ASEAN melalui instrumen terkait, yaitu meminta ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime untuk melakukan pertemuan darurat dan mendorong finalisasi ASEAN Convention in Trafficking Persons," tegasnya.

Selain itu, sebagai bentuk tanggapan dari negara-negara di kawasan, khususnya yang paling terkenak dampak (Indonesia, Malaysia, Tahiland) telah mengundang 17 negara, UNHCR, IOM, dan UNDOC untuk menghadiri pertemuan khusus di Bangkok pada 29 Mei 2015. Pertemuan ini membahas dan mencari solusi bersama terhadap masalah imigran Rohingya.

Indonesia sendiri, sejak 10 Mei 2015, telah menerima tiga gelombang imigran warga Rohingya dan Bangladesh. Mereka  terdampar di Pantai Aceh Utara dan Timur. Dari data UNHCR/IOM/Ditjen Imigrasi jumlahnya mencapai 1.668 orang (Bangladesh 727 dan Rohingya 941 orang).

Diperkirakan masih ada 6.000-8.000 imigran asal Rohingnya dan Bangladesh yang masih terkatung-katung di tengah laut di sekitar perairan Laut Andaman dan Selat Malaka.

Selain imigran asal Rohingya dan Bangladesh, menurut data UNHCR, hingga bulan April 2015, di Indonesia terdapat 12.145 orang pencari suaka dan pengungsi. Sedang pencari suaka sebanyak 7.101 orang dan pengungsi 5.044 orang.

BACA JUGA: