JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pendanaan dari Bank Dunia untuk membiayai proyek infrastruktur di Indonesia dinilai bakal membahayakan kelestarian lingkungan dan hak masyarakat adat. Dalam pertemuan musim semi antara Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional tanggal 15-17 April lalu, International Finance Corporation (IFC) mengidentifikasi tingginya risiko lingkungan dan sosial dari pendanaan infrastruktur di Indonesia.

Pendanaan infrastruktur di Indonesia dinilai telah membawa dampak buruk terhadap masyarakat dan pemukiman termasuk masyarakat adat. Kemudian juga terhadap flora dan fauna lokal, kesehatan dan keselamatan kerja, polusi udara, dan pencemaran air, serta dampak terhadap warisan budaya.

"Proyek infrastruktur berskala besar juga kerapkali berdampak terhadap perempuan, termasuk dengan menghilangkan mata pencaharian perempuan di bidang pertanian dan perikanan," kata peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Maysarakat (ELSAM) Andi Muttaqien, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (18/4).

Andi mengatakan, dalam laporannya, IFC hampir memastikan kerja konstruksi dan kantoran sebagai milik eksklusif laki-laki, dan ini mengakibatkan peningkatan ketergantungan perempuan terhadap laki-laki. "Sektor infrastruktur juga merupakan wilayah yang tinggi tingkat korupsinya," ujarnya.

Sebagaimana laporan ICW, ada 139 kasus korupsi di sektor infrastruktur saat ini yang diselidiki oleh pihak berwenang di Indonesia, dengan dominasi dari sektor transportasi. Dukungan Bank Dunia terhadap Indonesian Infrastructure Guarantee Fund (IIGF) –perusahaan penjamin investor yang dibentuk Kementerian Keuangan Indonesia dalam pelaksanaan proyek Public Privat Partnership- menjadi contoh.

Guidance Note dari IIGF tahun 2014 menyebutkan bahwa pembebasan lahan selama proses penjaminan untuk proyek-proyek infrastruktur menggunakan tingkatan penilaian risiko. Catatan itu memberikan kategorisasi risiko rendah untuk "akuisisi" lahan dari hutan, wilayah adat, atau lahan di mana pemilik tidak memiliki bukti tertulis atas kepemilikan tanah.

Guidance Note IIGF tersebut juga menyatakan bahwa mengakuisisi lahan tersebut adalah "mudah", hanya cukup melalui "perjanjian/dialog". "Ketentuan tersebut bertentangan dengan pengakuan negara atas hak masyarakat adat atas wilayahnya yang dijamin Konstitusi UUD 1945. Hal ini merupakan pelanggaran atas persyaratan Bank Dunia mengenai Masyarakat Adat, habitat alami, hutan, konsultasi, dan pemindahan paksa," tegas Andi.

Pekampanye Hutan Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, lebih dari 80% tanah petani, masyarakat adat atau masyarakat lokal di Indonesia tidak memiliki bukti tertulis atas kepemilikan tanah mereka. Maka bisa dipastikan kasus-kasus perampasan lahan masyarakat semakin masif tatkala kucuran dana dari Bank Dunia mengalir untuk proyek-proyek investasi di Indonesia.

"Ini berarti juga penghilangan sumber-sumber penghidupan masyarakat akan berlanjut," kata Zenzi.

Proyek berskala besar pertama dengan skema Public Private Partnership (PPP) di mana IIGF berupaya menjadi penjaminnya, adalah pembangunan PLTU (batu bara) yang sangat kontroversial 2.000 MW di Batang, Jawa Tengah. Berdasarkan penelitian Greenpeace 2015, PLTU Batang cenderung memancarkan 10,8 juta ton CO2 per tahun, setara dengan 2,6% dari emisi sektor energi Indonesia pada tahun 2010.

"Proyek ini bertahun-tahun, telah terperosok dalam konflik dengan masyarakat yang tergusur dari tanah dan mengancam mata pencaharian mereka," terang Zenzi.

Proyek ini merupakan salah satu proyek yang didukung Bank Dunia. Padahal, Komnas HAM telah menemukan indikasi pelanggaran HAM dalam pembangunan proyek PLTU Batang, yang mana proyek ini merupakan garansi pertama IIGF.

"Sementara IFC bertindak sebagai penghubung dengan bilateral support, Devco yang didanai oleh Belanda, Inggris, Austria, dan Swedia," ujarnya.

Selain itu, ada beberapa proyek dalam perencanaan yang juga mengancam masyarakat khususnya masyarakat adat dalam keterkaitan dengan pembebasan lahan. Bank Dunia akan melaksanakan aturan kontroversial dalam "pembebasan lahan", mempersiapkan lima mega-proyek infrastruktur dengan dana mencapai ratusan juta dolar.

Rio Ismail dari Ecological Justice Indonesia mengatakan, ada beberapa permasalahan yang teridentifikasi dari pinjaman Bank Dunia yang bermasalah ini. Pertama, kurangnya keterbukaan informasi publik, dokumen terkait dengan proyek-proyek yang berlangsung saat ini dan proyek lain yang direncanakan.

Kedua, kurangnya informasi dalam bahasa Indonesia. Ketiga, minimnya konsultasi publik, termasuk konsultasi publik pada penilaian lingkungan dan sosial. Keempat, pelanggaran dan kegagalan untuk melaksanakan persyaratan Bank Dunia–IFC tentang perlindungan lingkungan dan sosial.

"Ini termasuk yang berkaitan dengan keterbukaan informasi dan konsultasi proses untuk penilaian sosial dan lingkungan, hak adat, persyaratan due diligence sebelum penggunaan Sistem Negara (CSS)," ujar Rio.

Dia menilai, pinjaman Bank Dunia mengandung risiko kerusakan lingkungan dan sosial yang tinggi, khususnya dalam pendanaan infrastruktur. Risiko ini dipertinggi dengan tidak adanya rekam jejak atas pelaksanaan safeguard pada dana dan lembaga pelaksana yang saat ini didukung oleh Bank Dunia, IFC dan donor bilateral di Indonesia.

Karena itu, kata dia, koalisi masyarakat sipil yang diantaranya terdiri dari Walhi, ELSAM, Ecological Justice Foundation, Indonesia for Global Justice, Jaringan Advokasi Tambang (Indonesia) dan lain-lain menyampaikan beberapa tuntutan kepada Bank Dunia.

Pertama, menuntut Dewan Bank Dunia memastikan, masalah yang telah ditimbulkan akibat pendanaan, program dan kegiatan dari Bank Dunia (termasuk IIF dan PII), sepenuhnya diperbaiki. "Perbaikan itu dilakukan sebelum memberikan lebih jauh pendanaan, atau dukungan jaminan, termasuk dukungan untuk proyek-proyek serupa yang sudah terencana," kata Rio.

Kedua, hentikan penjaminan Bank Dunia terhadap IIGF sebagai penjamin dalam skema Public Private Partnership dalam proyek pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah. "Apalagi hal ini juga melanggar komitmen Bank Dunia untuk mengakhiri dukungan terhadap pembangkit listrik (batubara) skala besar," tegas Zenzi Suhadi.

Koalisi juga meminta Dewan Bak Dunia memastikan kepatuhan dengan persyaratan lingkungan dan sosial Bank Dunia dan IFC. Termasuk persyaratan Bank Dunia untuk penilaian penuh dari sistem kesetaraan negara sebelum membuat penggunaan sistem negara.

"Mengingat minimnya konsultasi publik, kurangnya bahan, termasuk kurangnya bahan dalam bahasa Indonesia pada proyek-proyek baru yang diusulkan, dan dampak lingkungan dan sosial berpotensi signifikan dari kegiatan baru yang diusulkan, sudah seharusnya berbagai proyek yang akan diputuskan dalam rapat dewan Bank Dunia, harus segera dihentikan," pungkas Andi Muttaqien.

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN BANK DUNIA DIKRITIK - Sebelumnya, Bank Dunia memang sudah mengeluarkan kebijakan perlindungan baru terkait investasinya di negara-negara dunia ketiga. Namun kebijakan baru ini mengundang kritik berbagai organisasi dunia.

Lewat kebijakan barunya itu, Bank Dunia cenderung mendanai proyek-proyek berisiko tinggi. Usulan perlindungan baru Bank Dunia itu terdiri dari dua bagian yang terpisah, yaitu Kebijakan Lingkungan dan Sosial (ESP) dan Standar Lingkungan dan Sosial (ESS). Pemisahan antara masalah lingkungan dan sosial ini dinilai akan membawa masalah baru terkait bagaimana nantinya proposal ini dilaksanakan.

Banyak pihak khawatir dalam proses peminjaman di Bank Dunia nanti, para peminjam akan bisa menghindari kewajiban meyakinkan bahwa proyek yang didanai itu tidak akan merusak lingkungan sekaligus berdampak buruk pada kelompok rentan seperti masyarakat adat dengan adanya pemisahan ini.

Proposal baru terkait Kerangka Kerja Perlindungan Lingkungan dan Sosial itu sangat bertolak belakang dengan komitmen Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim. Kim sebelumnya menegaskan komitmen Bank Dunia untuk memastikan kebijakan baru Bank Dunia tidak akan melemahkan kewajiban atas perlindungan sosial dan lingkungan yang sudah ada.

Sebagai tambahan, kerangka kerja yang tengah diusulkan ini tidak akan mencakup bagian mendasar dari portofolio Bank Dunia, termasuk mendanai pinjaman berbasis kebijakan yang sensitif bagi sektor sosial dan lingkungan. Terlepas dari banyaknya tuntutan, Bank Dunia juga dinilai gagal untuk membuat detail pendanaan publik terkait pelaksanaan rencana yang diusulkan tersebut.

"Syarat dan kewajiban, insentif, struktur akuntabilitas dan rincian anggaran sangat tidak memadai dalam kerangka kerja yang diusulkan itu, padahal ini yang kita perlukan jika kita serius ingin menyelesaikan masalah yang saling terkait dengan kemiskinan, perubahan iklim, deforestasi dan kehilangan kekayaan hayatu," kata Korina Horta dari lembaga Urgewald Jerman, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Sebelumnya berdasarkan laporan yang dikeluarkan Oxfam bersama beberapa organisasi lainnya terungkap, triliunan dolar AS uang yang dikucurkan Bank Dunia melalui lembaga keuangan internasional (International Finance Corporation–IFC), ternyata malah menyengsarakan penduduk di negara dunia ketiga yang mendapat kucuran dana itu.

Laporan itu mengungkapkan, portofolio investasi IFC meningkat hingga US$36 triliun dalam empat tahun belakangan ini. Angka tersebut tiga kali lebih besar dari pinjaman Bank Dunia untuk pendidikan. Ketimpangan seperti ini mendesak untuk segera diperbaiki.

Selama ini perusahaan atau lembaga keuangan internasional itu memiliki akuntabilitas yang rendah atas triliunan dolar uang hasil investasi di bank, dana investasi global dan dana-dana simpanan lainnya. Hal ini telah berdampak ada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia.

Dalam laporan bertajuk The Suffering of Other alias menyengsarakan orang lain itu, Oxfam menyebutkan IFC, (yang merupakan sektor swasta Bank Dunia di sektor pemberi pinjaman) gagal melaksanakan uji tuntas (due diligence) dan untuk mengidentifikasi atau secara efektif mangelola risiko atas berbagai investasinya kepada para peminjam di negara dunia ketiga.

"Hal yang paling menyakitkan adalah IFC tidak mengetahui kemana kebanyakan uang yang dipinjamkan di bawah model baru ini berakhir atau bahkan mengetahui apakah pinjaman tersebut menolong atau justru melukai," kata Kepala Oxfam Internasional kantor Washington DC Nicolas Mombrial.

Temuan mengkhawatirkan lainnya adalah dari 49 investasi yang dibuat IFC lewat lembaga keuangan perantara sejak 2012 diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi, dan hal ini tidak tidak pernah diungkap ke publik. "Ini artinya tidak ada informasi publik terkait ke mana 94% dari investasi risiko tinggi IFC berujung. Sampai grup Bank Dunia membuktikan kesepakatan ini mempunyai dampak yang legitimate dan tidak menimbulkan pelanggaran, IFC harus menyetop investasi ke negara dunia ketiga berisiko tinggi," kata Direktur Legal Inclusive Development International Natalie Bugalski.

Untuk pertama kalinya, laporan itu mengumpulkan studi-studi yang telah diterbitkan sebelumnya atas proyek-proyek yang menyebabkan konflik dan penderitaan bagi penduduk lokal. Laporan itu termasuk pinjaman untuk proyek perkebunan karet, tebu, dan sawit di Kamboja, Laos dan Honduras, pembangunan bendungan di Guatemala dan pembangkit listrik di India.

Laporan tersebut mengungkapkan, proyek-proyek berisiko lainnya termasuk penambahan pembangkit listrik di Papua Barat, Laos dan Guatemala, pertambangan di Vietnam dan perkebunan gula di Guatemala. Dengan draf lama yang menyatukan penjaminan agar pinjaman Bank Dunia tak merusak lingkungan sekaligus sosial saja, dampak buruk itu terjadi. Saat ini dikhawatirkan, dengan adanya pemisahan tersebut, maka dampak itu akan semakin buruk.

Rancangan baru itu misalnya, menghapuskan uji kelayakan, menghapus kewajiban persyaratan waktu dan prosedur untuk menjamin kelayakan peminjam dan secara efektif mencopoti perlindungan sosial dan lingkungan untuk masyarakat terdampak yang berlaku selama 30 tahun ini.

Terlepas dari komitmen Bank Dunia untuk menurunkan suhu panas dan menutup celah kekurangan pendanaan perubahan iklim sebesar US$70 miliar (Rp922 triliun), namun proposal baru ini malah menghapus perlindungan hutan, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang tergantung pada hutan. Draf baru ini jelas sangat minim komponen penting untuk perlindungan terhadap perubahan iklim.

"Bank Dunia mengajukan (draf) untuk menggantikan kewajibannya untuk perlindungan dan mekanisme akuntabilitas dengan menyamarkan aspirasi standar dan sangat bergantung kepada sistem nasional peminjam dan bahkan kepada para ‘perantara finansial’ yang buram," kata Cesar Gamboa dari Derecho Ambiente y Recursos Naturales di Peru.

Dia bilang, pada saat yang bersamaan, Bank Dunia juga menyilakan penggunaan kekerasan berdalih pencegahan oleh pasukan pengamanan. "Ini sangat jelas berisiko terhadap komunitas lokal," tambahnya.

BACA JUGA: