JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dinilai belum memberikan perlindungan yang maksimal terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Hal itu terlihat dari masih banyaknya kasus yang menimpa TKI di luar negeri mulai dari masalah legalitas, deportasi, hingga kasus kekerasan. Terkait hal ini, kinerja tiga konsorariun penyedia jasa asuransi TKI yakni Jasindo, Atsindo dan Mitra TKI juga ikut disorot.

Ketiga konsorsium itu juga dinilai tidak bekerja secara maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap TKI dalam bentuk penjaminan asuransi. Wajar jika Dewan Perwakilan Rakyat geram dan meminta konsorsium tersebut dibubarkan.

Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago mengatakan, kinerja buruk konsorsium penyedia jasa asuransi TKI itu terlihat dari rendahnya penyelesaian klaim asuransi yang sejak tahun 2013 sampai dengan sekarang hanya terselesaikan sebesar 20 persen. Irma juga menilai, ketiga konsorsium tersebut sudah berbohong dengan menyatakan tidak ada masalah dalam proses penyelesaian asuransi TKI atau lazim disebut zero claim.

Nihilnya klaim asuransi dinilai aneh karena saat pendaftaran TKI dikenakan biaya asuransi sebesar Rp50 ribu. Kemudian, setelah TKI bekerja di luar negeri mereka dibebankan biaya asuransi lagi sebesar Rp300 ribu, dan pada saat pulang sebesar Rp500 ribu.

Politisi Nasdem itu mengatakan, dari pembebanan ini seharusnya terkumpul dana cukup besar karena jumlah TKI mencapai 6,5 juta orang yang ditempatkan di 142 negara. Menurut Irma, tak mungkin dari jumlah TKI sebanyak itu yang tak melakukan klaim asuransi di tengah banyaknya masalah yang melanda TKI.

"Ini benar benar aneh, Rp300 ribu saja, jika dikalikan 6,5 juta TKI berapa jumlahnya? Dikemanakan saja uangnya selama ini?" kata Irma Chaniago dalam pesan tertulis yang diterima gresnews.com, Sabtu (15/10).

Perempuan kelahiran Metro, Lampung, 6 Oktober 1965 itu juga mengaku sampai saat ini tidak mengetahui manfaat uang Rp50 ribu yang ditarik oleh ketiga konsorsium tersebut pada saat para TKI tersebut direkrut. Oleh karna itu ia meminta kepada ketiga konsorsium untuk segera memberikan laporan secara lengkap. "Saya tak habis pikir. Ketiga konsorsium itu sudah melakukan apa saja buat para TKI?" tanya Irma.

Ia menilai, yang terjadi sebenarnya adalah bukan tidak ada klaim, tetapi ketiga konsorsium ini telah mempersulit TKI ketika mengajukan klaim. Misalnya dengan mengharuskan para TKI memberikan persyaratan tertentu atau dokumen tertentu secara lengkap. Padahal untuk melengkapi persyaratan, para TKI harus pulang ke tanah air terlebih dahulu. Hal tersebut harus dilakukan sebab ketiga konsorsium tersebut tidak memiliki perwakilan di luar negeri.

Irma mencontohkan, dalam kasus TKI yang hamil karena diperkosa, klaim asuransi yang diajukan menjadi sulit dicairkan karena harus melewati prosedur yang berbelit-belit dan menyusahkan. Seperti prosedur yang mengharuskan adanya saksi di rumah majikan sang TKI. Belum lagi masalah kasus TKI yang gagal berangkat dan seharusnya dicover oleh ketiga konsorsium ini.

Tetapi di lapangannya para TKI yang gagal berangkat tidak pernah mendapat apa-apa yang itu berarti ketiga konsorsium itu tidak melakukan apa-apa. "Saya berani jamin asuransi ini tidak ada gunanya oleh karena itu lebih baik ditutup," tegasnya.

Untuk itu Irma berharap, pemerintah dapat segera mengambil alih asuransi TKI melalui Kementerian Luar Negeri. Sebab menurutnya, hanya Kemenlu yang dapat memberikan perlindungan kepada TKI melalui cara government to government. Dia menilai hal ini harus dilakukan segera karena sudah terbukti bahwa konsorsium penyedia jasa asuransi TKI telah gagal dan tidak sanggup menanganinya.

BANYAK MASALAH - Sejak dibentuk Agustus 2013 silam hingga September 2016, ketiga konsorsium penyedia jasa asuransi TKI tersebut telah meraup premi dengan total Rp413 miliar dengan rincian sebesar Rp145 miliar melalui konsorsium Jasindo, Rp152 miliar melalui konsorsium Astindo dan Rp116 miliar melalui konsorsium Mitra TKI. Adapun klaim yang telah dibayarkan hingga kini yakni Rp24,5 miliar untuk 2.647 orang melalui Astindo, Rp23,5 miliar untuk 2.845 orang melalui Mitra TKI dan Rp49,9 miliar untuk 4.714 TKI melalui Jasindo.

Rendahnya klaim asuransi ini memang dipertanyakan mengingat banyaknya kasus-kasus yang membelit TKI. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid sendiri mengakui adanya masalah mengenai dana asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). "Saat ini memang ada informasi yang tidak utuh, mengenai pembiayaan. Di Indonesia dan luar negeri antara majikan dan TKI sama-sama mengeluarkan biaya tapi tidak jelas dana tersebut ke mana," kata Nusron beberapa waktu lalu.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga sudah menyoroti masalah ini. Kepala Biro Humas dan Kerjasama Internasional Yudi Ramdan Budiman pernah mengatakan, klaim asuransi masih menjadi permasalahan karena untuk mengajukan klaim, para TKI mesti kembali ke tanah air. "Bayangkan kejadian di sana, harus klaim, orang klaim itu bermasalah dokumen bermasalah. Itu sulit sekali diselesaikan," kata Yudi.

Masalah lain, pemegang asuransi kerap bisa mengajukan klaim asuransi sebanyak dua kali. "Skema klaim ini penting, kejadian di beberapa kasus penempatan orang asuransi double claim, orang kerja di luar diasuransikan majikannya, dibayarkan, bisa ajukan lagi di Indonesia," ujarnya.

Selain soal asuransi, BPK juga menemukan beberapa masalah lain terkait dengan pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam penempatan dan perlindungan TKI. Di antaranya soal penetapan struktur biaya (cost structure) penempatan TKI yang belum sepenuhnya transparan, rinci, dan valid sesuai dengan kondisi riil di lapangan.

Yudi mencontohkan, banyak kasus TKI yang akan memperpanjang kontrak di luar negeri masih harus mengikuti pelatihan 400 jam, waktu yang sama untuk TKI baru. Padahal seharusnya pelatihan untuk mereka dapat dikurangi sesuai dengan kebutuhan. "Ini kan berpengaruh pada struktur biaya. TKI yang sudah pernah ke luar harusnya bisa membayar lebih murah," katanya.

Karena itu, BPK pun meminta pemerintah melakukan evaluasi atas persoalan asuransi TKI. "Kami minta masalah asuransi TKI ini dievaluasi," kata Yudi. Dia menilai, masalah asuransi penting dibenahi karena asuransi merupakan kewajiban bagi TKI yang akan keluar negeri sebagai wujud perlindungan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Pemerintah pun telah membuat skema supaya semua TKI terdaftar sebagai bagian asuransi. "Jadi asuransi ini mandatori, kartu tanda luar negeri (KTLN) tidak keluar kalau belum bayar premi asuransi," ujarnya.

Untuk mempermudah klaim, BPK merekomendasikan agar ada perwakilan luar negeri (Perwalu) untuk perusahan asuransi. "Asuransi tidak punya Perwalu, karena tidak mungkin menyelesaikan kembali ke Indonesia," tandas dia.

TARIF TAK DIATUR - Pada kesempatan berbeda, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non Bank OJK Firdaus Djaelani mengatakan, OJK tidak mengatur batasan premi yang ditawarkan konsorsium asuransi kepada TKI. Hal ini disebabkan kewenangan terkait batasan premi sudah diatur oleh Kementerian Tenaga Kerja dan konsorsium asuransi.

Firdaus menyebutkan, sebelum bulan Agustus tahun 2013, di Indonesia sendiri telah terdapat 10 konsorsium asuransi yang bertugas melayani para TKI. Tetapi kejadian di lapangan 10 konsorsium tersebut malah bersaing ketat dengan cara memberikan tawaran premi yang murah sehingga berakibat pelayanan yang disediakan menjadi minimal.

"Setelah dievaluasi, menteri tenaga kerja membuat satu konsorsium. Tetapi yang terjadi malah praktek monopoli," ujar Firdaus.

Oleh karena itu OJK meminta dibentuknya konsorsium kembali agar ada perbandingan antara satu asuransi dengan yang lainnya sehingga tidak dimonopoli. Selaku pengawas, kata Firdaus, OJK akan mengambil tindakan apabila di kemudian hari ketiga konsorsium asuransi TKI yang ada sekarang melakukan perang premi seperti yang terjadi dahulu.

Saat ini ketiga konsorsium tersebut mematok premi sebesar Rp400 ribu per TKI untuk jangka waktu dua tahun. Adapun beberapa klaim yang nantinya dibayarkan adalah sebesar Rp85 juta untuk risiko kematian dan Rp7,5 juta untuk risiko pemutusan hubungan kerja (PHK).

BACA JUGA: