JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Perancis Francois Hollande didesak memimpin negara-negara maju untuk memutuskan kesepakatan iklim global agar negara miskin siap menghadapi dampak perubahan iklim. Koordinator riset dan kebijakan Oxfam Asia Riza Barnabe mengatakan, sebagai wilayah yang terdampak parah oleh perubahan iklim, Asia Tenggara akan mengambil keuntungan lebih dari kesepakatan iklim yang ambisius dan adil yang akan dilakukan di Paris.

"Kami mendesak Presiden Hollande sebagai ketua dalam pembicaraan iklim Desember ini untuk memperhatikan kepentingan negara-negara miskin yang akan sangat terdampak oleh perubahan iklim langsung ke jantung kesepakatan," kata Riza dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Jumat (27/2).

Oxfam juga merupakan anggota dari kelompok yang menamakan diri the Asean for a Fair, Ambitious, and Binding Global Climate Deal atau Koalisi A-FAB. Selain Oxfam anggota lain koalisi ini adalah Greenpeace, dan EROPA. Koalisi ini bertujuan untuk menyeru pada partisipasi yang lebih aktif dan transparan Asean di forum the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Dalam sebuah paper yang dirilis A-FAB bertajuk "Weathering Extrem" setahun lalu, menyebutkan sejumlah bencana terkait iklim yang parah yang terjadi di Asia Tenggara dalam sepuluh tahun terakhir. Topan Super Haiyan meminta korban lebih dari 6.000 orang dan memaksa jutaan warga lainnya di Filipina untuk mengungsi.

Kejadian cuaca ekstrim di Myanmar yaitu Topan Nargis pada tahun 2008 memakan korban 80.000 jiwa. Juga banjir di Thailand tahun 2011 mengakibatkan kerusakan lahan pertanian yang mengakibatkan kerugian sebesar US$1,3 miliar.

Cuaca ekstrim ini diperkirakan akan semakin memburuk jika tidak ada aksi nyata untuk menghadapi perubahan iklim. Kerugian akan semakin membesar bukan hanya nyawa manusia tetapi juga infrastruktur dan kesempatan hidup.

"Kami mendesak Presiden Hollande dan para pemimpin negara maju untuk berkomitmen untuk mendanai adaptasi perubahan iklim atau proyek-proyek untuk mempersiapkan diri menghadapi dampak perubahan iklim khususnya untuk petani dan nelayan miskin di Asia Tenggara yang merupakan kaum termiskin dari yang miskin. Negara kaya seperti Perancis harus berkomitmen untuk mendanai adaptasi yang harus dipisahkan dari pendanaan untuk mitigasi atau proyek untuk mengurangi emisi karbon," kata Bernabe.

Proyek Adaptasi iklim pada pertanian termasuk membangun stasiun peramal cuaca lokal, menyediakan asuransi risiko untuk petani skala kecil dan mengadopsi pertanian agro ekologi adalah beberapa diantaranya. Sebuah studi oleh Asian Development Bank (ADB) mengungkapkan, pembelanjaan untuk adaptasi di sektor pertanian dan area pesisir hanya setara 0,2 persen dari pendapatan domestik bruto (negara maju-red) akan membawa keuntungan di masa depan yang setara nilainya dengan 1,9 persen PDB yang dikucurkan untuk menghindari dampak perubahan iklim.

Penasehat hukum dan politik Greenpeace Asia Tenggara Zelda Soriano yang juga merupakan anggota A-FAB menggarisbawahi bahwa cara terbaik untuk mengurangi kontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim adalah untuk secepat mungkin mengakhirkan penggunaan bahan bakar fosil dan menuju penggunaan energi terbarukan.

"Kita semua harus berubah dari ketergantungan pada sumber energi polutan dan mulai menggunakan energi alternatif yang bersih dan rendah karbon. Hal ini dapat dilakukan dengan dukungan yang baik dan kemauan politik dan kami berharap akan dapat diwujudkan di Paris," kata Soriano.

BACA JUGA: