JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masalah konflik sektor kehutanan belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Data terbaru menunjukkan, terdapat ratusan kasus konflik kehutanan yang hingga kini diterima pemerintah dan belum jelas penyelesaiannya. Posko pengaduan dan pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dibuka 12 Maret 2015 lalu mencatat, pada tahun 2014-2015 telah terjadi sebanyak 314 kasus kekerasan di bidang lingkungan hidup.

Direktur Penanganan Pengaduan dan Pengawasan Administrasi KLHK Kemal Amas mengatakan, dalam lima bulan terakhir, yakni Maret sampai Juli, angka kasus kekerasan di sektor kehutanan cukup memprihatinkan. "Sejak posko pengaduan dan pengawasan dibuka 12 Maret 2015, sudah ada 213 pengaduan kasus yang diterima KLHK," kata Kemal Amas beberapa waktu lalu.

Dikatakan Kemal, angka pertumbuhan kekerasan tersebut tentu merupakan masalah serius apabila diamati dari jumlah pengaduan masyarakat yang masuk ke KLHK. Perkembangan terakhir, pihak KLHK sendiri saat ini tengah menangani konflik antara PT Musi Hutan Persada dengan 363 kepala keluarga yang menempati kawasan hutan di Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Dalam kasus ini sempat terjadi penyerangan dari pihak pengamanan PT MHP kepada masyarakat pada Selasa (7/7) lalu. Penyerbuan yang diduga melibatkan oknum TNI dan Polri yang disewa pihak perusahaan itu terjadi justru saat tim KLHK ingin mempertemukan pihak perusahaan dengan pihak masyarakat. Alih-alih mendengarkan keluhan masyarakat petani mengenai kehidupan mereka, pihak perusahaan malah menggunakan kekerasan. Tim KLHK yang mencoba menengahi justru dituding sebagai provokator dan diusir dari lokasi.

Posisi pemerintah sendiri dalam kasus-kasus semacam ini, kerap kali lemah. Padahal pemerintah sudah punya instrumen untuk menindak perusahaan nakal yang tak mau menyelesaikan konflik dengan masyarakat setempat. Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono mengatakan, pemerintah bisa memberikan sanksi kepada perusahaan di sektor kehutanan yang belum menyelesaikan konflik sosial dengan masyarakat sekitarnya.

"Kalau ada konflik di sana, ya perusahan harus selesaikan. Kalau perusahaan belum lakukan itu ya kita kasih sanksi saja. Kalau sudah kena tiga kali bisa pencabutan," katanya.

Penentuan sanksi ini menyusul adanya kebijakan penetapan 20% lahan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) untuk diterapkan pola kemitraan sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Ketentuan 20% kemitraan dikeluarkan melalui Peraturan Menteri LHK No. P.12/Menlhk-II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri yang diteken pada akhir Maret lalu. Peraturan ini sejalan dengan RPJMN 2015-2019 yang menetapkan 12,7 juta hektare lahan dialokasikan pemanfaatannya untuk masyarakat.

Bambang mengatakan selama ini di lapangan, konflik sosial masih kerap terjadi, seperti perambahan hutan oleh masyarakat dan lain-lain. "Pemerintah hadir hanya berikan alokasi di lahan hutan agar jangan ribut, kalau memang ada pemegang izin ayo kemitraan, tapi kalau masyarakat ngotot itu hutan adat perlu dibuktikan, kalau memang bisa, mereka jagain hutan adatnya sendiri," ujarnya.

Sayangnya dalam kasus seperti bentrok warga dengan PT MHP tadi, pemerintah sendiri tampaknya tak berdaya bertindak tegas pada perusahaan yang jelas-jelas menolak konfliknya didamaikan.


KORBAN KESERAKAHAN KORPORASI - Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Edo Rakhman mengatakan, maraknya konflik pengelolaan sumberdaya alam dan agraria disinyalir terjadi sebagai hasil dari praktik kavling basis produksi secara masif. Ironisnya, skema monopoli korporat berupa perampasan sumberdaya (resources grabbing) hutan masih berjalan secara sistematis hingga saat ini.

Edo mengatakan, sistem monopoli ini telah memberikan ruang ekstraksi sebesar-besarnya (over production) dan penunpukan kapital pada segelintir orang (kekuatan besar). Sesuai hasil laporan WALHI sampai tahun 2014, monopoli kawasan hutan terdiri dari 4 (empat) sektor yaitu Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sektor logging, Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan sawit dan tambang.

Edo menyebut, kini total lahan HPH sebesar 25 juta hektare dikuasai sekitar 303 perusahaan dan lahan HTI seluas 9,8 juta hektare dikuasai 262 perusahaan di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sementara, perkebunan sawit seluas 12,35 juta Ha dikuasasi oleh sekitar 1.605 perusahaan yang tersebar di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua.

Lainnya, sektor tambang sekitar 3,2 juta Ha dikuasai oleh sekitar 1.755 perusahaan dengan wilayah sebaran Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Riau, Jambi, dan Jawa Barat.

"Dari empat sektor kehutanan, total lahan yang dikuasai korporasi telah mencapai 56,55 juta Ha dari total 132 juta Ha kawasan hutan Indonesia," kata Edo kepada gresnews.com, Senin (3/8).

Fenomena masifnya monopoli kawasan hutan ini, kata Edo, bakal membuat jumlah konflik lahan semakin membengkak. Hal itu ditenggarai oleh kuatnya arus kepentingan korporasi yang menyebabkan rakyat kehilangan hak dan akses atas sumber kehidupan, rentan dengan risiko bencana ekologis, dan bahkan menempuh jalur pelanggaran HAM.

Ironisnya, di tengah konflik kehutanan, negara terlihat tak berdaya dan kehilangan perannya dalam melindungi hak masyarakat melalui skema pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan. Justru, pihak Walhi menilai, di sisi lain negara justru malah leluasa memuluskan kepentingan investasi (korporasi).

"Praktik ini dilandasi pemberian izin negara yang berlebihan baik dari segi jumlah maupun luas kawasan kepada perusahan," ujar Edo.

Edo menambahkan, dalam hasil keterangan yang dihimpun Walhi, berbagai dinamika kekerasan sudah cukup banyak dialami masyarakat. Mulai dari perampasan tanah, penangkapan, penganiayaan, bahkan ada yang sampai meninggal dunia.

Merujuk pada data Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), selama pemerintahan SBY, jumlah konflik mencapai 1.379 yang meliputi konflik di sektor perkebunan, pertambangan, infrastruktur, dan kelautan.

Luas wilayah konflik mencapai 5,68 juta Ha, dengan melibatkan lebih dari 922.781 kepala keluarga. Akibatnya tidak kurang dari 1.180 petani dikriminalisasi, 556 luka-luka dan 65 orang meninggal dunia.

Sementara itu, berdasarkan penanganan konflik yang dilakukan Walhi hingga tahun 2014, sebaran konflik secara umum hingga tahun 2014 masih didominasi di wilayah-wilayah yang memiliki kawasan hutan dan lahan gambut luas dan potensial sebagai kawasan investasi (HTI), perkebunan sawit, dan tambang. Wilayah dimaksud diantaranya, seperti Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Papua.

PERAMPASAN DILEGALISASI PEMERINTAH - Edo mengungkapkan, pola monopoli dan perampasan kawasan (tanah) yang terjadi saat ini sebenarnya justru malah "dilegalisasi" pemerintah sendiri. Indikasi ini diperkuat dengan adanya berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah, seperti diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Ia menilai, PP tersebut sarat akan kepentingan investasi yang menyasar lahan gambut sebagai target ekspansi HTI dan perkebunan sawit. Kondisi ini diyakini akan menambah laju monopoli lahan, kerusakan ekosistem, dan menyingkirkan rakyat dari wilayah kelolanya.

Atas dasar itu, pihak Walhi menegaskan, semua proyek pembangunan yang disahkan dalam Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Nasional 2015-2019, harus melalui kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sebagai alat pengendali pembangunan. KLHS bagian dari penggunaan azas kehati-hatian dini dengan menghitung daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Tidak hanya itu, pemerintah juga didesak segera lakukan review secara menyeluruh terhadap perizinan korporasi dalam penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan, menghentikan perizinan baru, dan penegakan hukum (pencabutan izin) bagi perusahaan yang telah merusak lingkungan hingga menyebabkan konflik.

Dalam kesempatan terpisah, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun mengungkap daftar panjang konflik agraria dalam sepuluh tahun terakhir. Disebutkan, beberapa kasus yang terjadi didominasi masalah struktural seperti sengketa lahan, tumpang tindih tata kelola wilayah masyarakat dengan kawasan hutan, perizinan tambang hingga perebutan lahan perkebunan.

Koordinator bidang Penguatan Organisasi Rakyat KPA Kent Yusriansah menyebut, jika dijumlah seluruh konflik agraria yang terjadi sepanjang sepuluh tahun terakhir (2004-2014), maka jumlahnya bisa mencapai 1.520 kasus.

"Seluruh konflik tersebut diprediksi terjadi diatas lahan seluas 6.541.951.00 Ha. Ironisnya, kasus kekerasan turut mengorbankan total 977.103 Kepala Keluarga (KK)," jelas Kent kepada gresnews.com, Senin (3/8).

Kent merinci secara matematis kasus yang ditimbulkan dari konflik agraria. Ia menyebut hampir dipastikan dua hari sekali terjadi konflik agraria di seluruh pelosok daerah. Dalam satu hari, KPA memperkirakan, ada 1.792 Ha tanah rakyat dirampas dan sebanyak lebih dari 267 KK menjadi korban. (dtc)

BACA JUGA: