JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peringatan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober kemarin, dipengati oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pangan, FAO (Food and Agriculture Organization) dengan menerbitkan prangko. Penerbitan prangka yang dilakukan pada tanggal 17 Oktober kemarin itu, menandai 70 tahun berdirinya FAO yang lahir pada tanggal 16 Oktober 1945.

Penerbitan prangko itu juga menandai 35 tahun keanggotaan Indonesia di FAO. Indonesia sendiri mulai bergabung di lembaga tersebut pada tahun 1980. Salah satu seri prangko yang diterbitkan itu menyampaikan pesan kiprah FAO di Indonesia.

"Tahun ini sebagai perayaan lahirnya 70 tahun FAO pada 16 Oktober 1945 lalu dan 35 tahun FAO di Indonesia kami meluncurkan prangko. Pesan dalam perangko ini yaitu supaya masyarakat mengenali kerja bersama yang telah dilakukan FAO bersama pemerintah. Foto-foto dalam perangko ini menunjukkan apa saja yang telah kita lakukan di Indonesia berkolaborasi dengan pemerintah," ungkap FAO Representative In Indonesia Mark Smulders, di Desa Palu, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sabtu (17/10).

Dalam penjelasannya, Mark menceritakan kilas perjalanan kiprah FAO di Indonesia seperti program pengendalian hama terpadu, pertanian konservasi, budidaya rumput laut, serta kiprah di sektor perikanan.

"Apalagi dalam kaitannya dengan adanya el-nino, kekeringan, itu bisa mengurangi produksi pangan. Kita bekerja untuk membantu meningkatkan hasil kegiatan pertanian. Misalnya ke lahan jagung dengan meningkatkan kualitas tanah dan serangan hama," tambah Mark.

Mark juga mengatakan, sesuai tema hari pangan sedunia secara internasional yaitu social protection atau perlindungan sosial, menurutnya petani selama ini belum mendapat perlindungan sosial seperti kesehatan, jaminan pasar, modal berusaha tani hingga pendapatan.

Terlebih di tengah ancaman perubahan iklim seperti saat ini dimana pertanian semakin tak pasti. "Kita tahu tantangan cuaca di Indonesia makin berat akibat perubahan iklim. Selang waktu kejadian el-nino makin rapat dan tahun ini lebih panjang. Kemudian setelah el-nino panjang akan ada la-nina yang membawa hujan lebat hingga banjir," katanya.

Ironisnya, di tengah isu perlindungan sosial bagi petani, pemerintah sendiri yang dalam program Nawacita-nya salah satunya berjanji memberi perlindungan kepada petani, nelayan, petambak, nelayan perempuan dan produsen pangan skala kecil lainnya, justru malah sibuk memfokuskan diri pada peningkatan produksi pangan. Hal itu tampak dari fokus Kementan yang masih berpusar pada data produksi khususnya padi.

Kementerian Pertanian mencatat 392.000 hektare (ha) sawah di Pulau Jawa telah dipanen selama September 2015. Sedangkan secara nasional, total panen 694.000 ha. Untuk 392.000 ha sawah yang dipanen bulan September, beras yang dihasilkan 1,12 juta ton.

"Di Pulau Jawa, bulan September itu masih ada panen sekitar 392.000 hektar. Dikalikan produktivitas 5 ton/ha maka ada hasil panen 2 juta ton gabah kering panen. Dihitung nenjadi beras ada 1,12 juta ton beras. Total luas panen padi nasional pada bulan September ada sekitar 694.000 ha," jelas Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Hasil Sembiring ditemui dalam Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-XXXV di Jakabaring Sport Center (JSC), Palembang, Sabtu (17/10).

Hasil menyebut Jawa Timur luas panen seluas 91.652 hektar, Jawa Barat seluas 151.992 hektar, Jateng seluas 107.343 hektar, Yogyakarta seluas 4.081. Bila ditotal, sawah siap panen di Pulau Jawa 392.000 ha. "Sebenarnya itu wajar kalau melihat di bulan Agustus memang banyak yang panen. Sampai september juga ternyata masih banyak," jelasnya.

Meski lahan panen cukup besar, Indonesia masih dibayang-bayangi dampak el-nino. El-nino yang memicu hawa panas berdampak terhadap kekeringan pada lahan pertanian. Bila musim kering terus berlanjut, ada potensi gangguan produksi padi. Meski demikian, Hasil menyebut beberapa daerah sudah mulai turun hujan deras.

"Hujan di mana dulu. Minggu lalu saya pulang dari Aceh hujan sampai banjir. Produksinya mencapai 2,4 juta ton. Luas tanam di Aceh naik hampir 400.000 hektar. Saya ke Aceh Besar, ada luas baku tanam 617 hektare dan IP (Indeks Pertanaman) naik dari 1 menjadi 2," ujarnya.

Selain itu, Hasil memberi contoh daerah yang baru saja dikunjungi Wakil Presiden Jusuf Kalla di Desa Palu, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir Sumsel. Wapres JK, kata Hasil, melihat langsung tanam kedua di daerah itu. Sebelumnya, petani setempat hanya menanam padi sekali setiap tahun.

"Artinya, ada tambahan luas tanam baru. Ini murni tambah tanam. Dulu-dulunya petani di daerah itu nggak pernah tanam lagi. Potensinya di kabupaten itu hanya 46.000 ha lahan padi sawah dengan IP 1 yang bisa ditingkatkan menjadi IP 2. Tinggal bagaimana kita bisa menyediakan air. Kalau kita bisa masukkan air saja, itu bisa meningkatkan IP," ucapnya.

Selain soal padi, Hasil juga menjawab kritik Wapres terkait meningkatnya impor gandum. "Kritik Wapres memang betul. Impor gandum kita per tahun sudah mencapai 7 juta ton. Luas pertanaman gandum tidak bertambah. Pasuruan, Banjarnegara, dan Malino, itu luas gandum tidak bertambah. Pasuruan dulu 300-500 ha nggak nanem lagi," terangnya.

SALAH ARAH - Fokus pemerintah yang tertuju pada peningkatan produksi pangan ini dinilai salah arah oleh Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS). Koordinator ADS Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, fokus kepada peningkatan produksi adalah pengulangan kesalahan pemerintahan terdahulu. Alasannya, peningkatan produksi tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan petani.

Tejo menegaskan, tujuan utama tercapainya kedaulatan pangan yang selama ini didengungkan justru adalah perlindungan bagi para produsen pangan skala kecil ditengah situasi perlambatan ekonomi, keterbukaan ekonomi dan dampak perubahan iklim. "Para petani, nelayan dan pekebun kecil sejatinya adalah pusat dari kedaulatan pangan yang pernah dijanjikan oleh Pemerintahan Jokowi-JK," kata Tejo dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (18/10).

Sayangnya, program-program terkait pangan pemerintahan Jokowi-JK masih berkutat dengan upaya menggenjot produktivitas semata. "Ini mengulang kesalahan pemerintahan sebelumnya, yang terbukti gagal membangun sistem pangan yang berdaulat sekaligus mensejahterakan petaninya," tegas Tejo.

Minimnya perlindungan terhadap 26 juta keluarga petani, 2,2 juta nelayan tradisional dapat terlihat dari semakin berkurangnya lahan produksi sebesar 110 ribu ha lahan pangan/tahun , atau pun wilayah tangkap dan pemijahan ikan akibat konversi dan reklamasi. Serta gagalnya mengidentifikasi peran penting perempuan dalam sistem produksi pangan, terutama di perikanan.   

Program upaya peningkatan produksi pangan justru diserahkan kepada korporasi, dengan penggunaan benih dan pupuk, bahkan pupuk organik pabrikan, penyediaan traktor, lagi-lagi hanya menjadikan petani sebagai pengguna yang dibuat tergantung. Padahal banyak kelompok petani sudah membuktikan kemampuan mereka menghasilkan sarana produksi secara mandiri dan berkualitas.

Alasan untuk melindungi kepentingan konsumen, terkait dengan pangan pokok beras, membuat petani tidak berdaya saat harga gabah tidak juga sesuai dengan biaya hitungan produksi. "Kalau pemerintah benar-benar mau melindungi, jamin harga panen petani tidak lagi anjlok saat panen raya serta berikan kepastian usaha menyediakan pangan ditengah dampak perubahan iklim yang membuat kegiatan penyediaan pangan kian sulit," tambah Tejo lagi.

Tejo pun mengajak masyarakat luas untuk menjadi barisan terdepan dalam upaya perlindungan yang masih samar-samar diberikan oleh pemerintah. "Konsumsi produk pangan lokal, mulai menikmati lagi berbagai sumber karbohidrat selain nasi, perbanyak konsumsi ikan tangkapan nelayan dapat menjadi tindakan penting konsumen yang menguntungkan kedua belah pihak," ujarnya.

Dia mengatakan, sudah terlalu lama para produsen pangan skala kecil dibiarkan sendiri berjuang untuk mencukupi pangan seluruh negeri. Kini saatnya, pemerintahan Jokowi yang dulu menjanjikan kedaulatan pangan bagi negeri ini, segera menempatkan petani, nelayan tradisional dan pekebun kecil sebagai pusat dalam membangun kedaulatan pangan.  

"Jangan lagi mengulang langkah pemerintahan sebelumnya yang hanya mengejar produksi tanpa hasil yang jelas," ujarnya.

NASIB KEDAULATAN DI MEJA WTO - Dalam persoalan kebijakan ke dalam, perlindungan petani, nelayan, pekebun, petambak, perempuan nelayan selaku produsen pangan skala kecil memang perlu menjadi perhatian pemerintah. Sementara itu, di kancah internasional, pemerintah juga diminta mempertimbangkan untuk keluar dari keanggotaan World Trade Organization (WTO) jika tak ada manfaat yang bisa diberikan lembaga itu pada upaya perwujudan kedaulatan pangan Indonesia.

Terkait hal ini, Indonesia for Global Justice  (IGJ) mendesak Pemerintah Indonesia agar serius memperjuangkan kepentingan sektor pertanian Indonesia dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-10 World Trade Organization (WTO) yang akan dilaksanakan pada 15-18 Desember 2015 di Nairobi, Kenya. Hal ini karena Kelompok Negara Maju di WTO dinilai akan kembali menghambat pencapaian kesepakatan Proposal Cadangan Pangan Publik yang didorong oleh negara berkembang yang tergabung dalam Kelompok-33 (G33).

KTM ke-10 WTO akan membahas Program Kerja Pasca Bali untuk menyusun langkah implementasi Paket Bali yang dicapai pada saat KTM Ke-9 WTO di Bali pada 2013 yang lalu. Ada 3 agenda yang akan dirundingkan, yakni pertama, penyelesaian Proposal Public Stockholding. Kedua, pengadopsian Perjanjian Trade Facilitation ke dalam WTO Marakesh Agreement Annex 1. Ketiga, Post-Bali Work Programe akan menyusun prioritas basis untuk menghasilkan Keputusan Bali Ministerial lainnya (LDCs package and development issues) yang mengikat secara hukum (legally binding).

IGJ memandang bahwa kesepakatan Paket Bali pada KTM ke-9 WTO merupakan kesepakatan terburuk yang pernah diambil oleh Indonesia. Hal ini karena Pemerintah telah menggadaikan kepentingan pertaniannya pada kepentingan negara maju yang mendorong Perjanjian Trade Facilitation.

"Paket Bali merupakan kesepakatan terburuk WTO dalam melindungi petani dan kedaulatan pangan negara berkembang dan kurang berkembang. Hal ini ditunjukan dengan tidak mampunya Pemerintah melindungi petani dari ambruknya harga komoditas pangan. Pelemahan Nilai Tukar Petani (NTP) terus mengalami penguatan, hingga tahun 2015 turun sebesar 1,37%," kata Knowledge Management IGJ Priska dalam siaran pers yang diterima gresnews.com.

Keberadaan Proposal Cadangan Pangan Publik dalam perundingan WTO dianggap akan berpotensi menguatkan sektor pertanian Indonesia, khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Bahkan IGJ menilai dengan disepakatinya solusi permanen dari cadangan pangan publik akan membuka kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan subsidi pangan tanpa harus takut digugat oleh anggota WTO yang lain.

Research Manager IGJ Rachmi Hertanti menyatakan, proposal cadangan pangan publik akan menjadi peluang bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk memajukan sektor pertanian Indonesia, khususnya ditengah situasi krisis ekonomi.

Data IGJ menyebutkan bahwa sektor pertanian Indonesia masih menjadi sektor potensial bagi perekonomian Indonesia sebagai penyumbang PDB tertinggi kedua pasca krisis 2008, yakni mencapai 13,39% pada 2014. Pun kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerjanya, sektor pertanian menempati urutan pertama dimana sejak 2011-2014 rata-rata berada pada kisaran 33%-35%.

"Potensi ini akan dapat terkelola dengan baik jika Pemerintah Indonesia serius memperjuangkan amandemen Perjanjian Pertanian WTO, khususnya terkait dengan Proposal Cadangan Pangan Publik. Untuk itu, perjuangan kepentingan pertanian harus menjadi harga mati bagi Indonesia," tambah Rachmi.

Untuk itu, dalam perundingan KTM ke-10 WTO nanti, IGJ mendorong beberapa rekomendasi yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yaitu: Pertama, Kesepakatan Solusi Permanen cadangan pangan publik harus tercapai di KTM ke-10 WTO. Kedua, tidak meratifikasi Perjanjian Trade Facilitation jika solusi permanen proposal cadangan publik tidak tercapai. Ketiga, tidak melakukan trade-off antara kepentingan pertanian dengan perjanjian trade facilitation.

"Jika kesepakatan solusi permanen tidak dicapai dalam KTM ke-10 WTO, maka Pemerintah Indonesia harus berani menolak KTM ke-10 WTO karena WTO sudah tidak relevan dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia," tegas Rachmi. (dtc)

BACA JUGA: