JAKARTA, GRESNEWS.COM - Di hadapan sejumlah kepala dan Ketua Lembaga Tinggi negara, Selasa (14/3) presiden Joko Widodo  menyampaikan akan menggelar program redistribusi aset dan melakukan reformasi agraria.

Redistribusi aset itu dilakukan dengan memulai membagikan konsesi-konsesi lahan kepada rakyat, kepada tanah adat, kepada koperasi-koperasi, kepada pondok pesantren. Selain itu juga akan melakukan program mempercepat pembagian sertifikat-sertifikat kepada masyarakat yang belum memiliki.

Langkah tersebut dilakukan untuk menekan dan mengurangi  kesenjangan ekonomi masyarakat. "Dengan distribusi dan sertifikasi lahan itu diharapkan rakyat bisa memiliki kolateral, memiliki agunan dalam rangka bisa mengakses permodalan ke perbankan," ujarnya saat menyampaikan penjelasan kepada media.

Rencana presiden ini jauh hari telah didukung kalangan DPR. Anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan mengaku mengapresiasi langkah dan kebijakan presiden tersebut. Ia mengatakan program reforma agraria merupakan sikap politik negara yang harus dijalankan secara konsisten dan berani oleh penguasa sebagaimana amanat UU Pokok Agraria.

Redistribusi lahan yang merupakan dari Reforma agraria juga merupakan program nawacita dari Presiden Jokowi yang harus diwujudkan. "Ini sikap politik negara sehingga tentu kami mengapresiasinya," ujarnya.

Namun ia meyakini proses redistribusi lahan itu akan lebih mudah berjalan dengan adanya payung hukum UU Pertanahan, yang saat ini sedang dalam proses pembahasan  DPR dan pemerintah. Diharapkan akan kelar tahun ini.

UU Pertanahan ini menurutnya, akan mengatur mekanisme redistribusi lahan kepada yang berha. Sekaligus mengatur instansi mana saja yang terlibat dalam proses tersebut.

Arteria menyebut, proses redistribusi aset tidak hanya melibatkan satu instansi, tapi akan melibatkan banyak lembaga dan instansi. Sehingga diperlukan koordinasi antarlembaga.

"Tapi Kami optimistis semua akan lebih mudah jika UU Pertanahan terbentuk, sebab RUU Pertanahan akan semakin memperjelas hak, kedudukan, serta kewenangan seluruh stakeholder pertanahan," ujar Arteria.

Instansi atau lembaga yang akan terlibat di dalam pendistribusian lahan itu diantarannya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN terkait tanah dan tata ruang, Kementerian Dalam Negeri terkait tata batas wilayah berikut kepala daerah yang meliputi gubernur, bupati, dan walikota, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup khususnya dirjen planologi terkait kawasan hutan, Kementerian BUMN terkait penguasaan Perhutani, Inhutani, PTPN, Berdikari yang oleh peraturan perundang-undangan secara atributif diberikan hak untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan atas lahan. Juga Kementerian Pertanian seperti dirjen perkebunan, dan Kementerian Energi dan sumber Daya Mineral terkait aktivitas pertambangan mineral dan batubara.

Namun Arteria mengaku belum tahu secara pasti berapa luas lahan yang akan dibagikan dan dimana lokasinya. "Apakah tanah-tanah itu dari kawasan hutan, yang seluas 4,1 juta ha yang sejatinya hutan adat maupun kawasan hutan lainnya, atau hasil identifikasi tanah terlantar oleh Kementerian ATR," ujarnya.

Ia juga belum bisa memastikan berapa banyak orang yang akan dapat tanah dari proses redistribusi aset itu. Sebab saat ini masih dalam proses inventarisasi. Namun menurut dia, prinsipnya mereka yang akan mendapatkan jatah adalah rakyat miskin yang memiliki ketergantungan langsung dengan tanah bersangkutan, seperti buruh tani, buruh, dan pekerja mandiri, masyarakat hukum adat, koperasi dan lainnya.

"Pembagian tanah diberikan secara gratis tanpa dipungut biaya dan distribusinya dilakukan kolektif bukan perorangan seperti hak milik yang bersifat komunal," jelaskan.

Selain itu Arteria menambahkan lahan pembagian itu kelak tak bisa diperjual belikan. Hal itu akan tertulis dalam sertifikatnya. Sehingga pendistribusian aset itu akan tepat sasaran dan tidak beralih ke pihak lain.

Sementara itu Dirjen Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Yuswenda A Tumenggung mengungkapkan, dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dalam program redistribusi aset tersebut akan disiapkan lahan seluas 9 juta ha. "Lahan tersebut bisa berasal tanah negara, tanah terlantar atau bisa tanah yang berasal dari tanah perkebunan," katanya.

PERSOALAN DISTRIBUSI LAHAN - Menanggapi rencana pemerintah ini Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan bahwa program redistribusi lahan tersebut, adalah program yang  telah ditunggu oleh masyarakat.

Namun demikian mereka juga mempertanyakan berbagai hal tentang pelaksanaan program tersebut, antara lain tentang gap keberadaan  petani  tak  bertanah  dan  petani  gurem yang banyak berada  di  Jawa,  Bali, Lampung, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. "Sementara alokasi tanah yang wacanakan pemerintahan  berupa tanah Kawasan  Hutan  Produksi  yang  bisa  dikonversi (HPK) notabene berada di luar Jawa," ujar Konsorsium Pembaruan Agraria dalam siaran rilisnya.

Menurut KPA jika titik berat pemerintah adalah program transmigrasi. Maka harus diingat kegagalan yang selama ini menjadi momok program transmigrasi. Bahwa kegagalan program transmigrasi juga disebabkan adanya masalah agraria yang tidak terselesaikan.

Selain itu juga terdapat masalah struktur agraria di Pulau Jawa. Sehingga pemerintah harus lebih dahulu menata ulang pemilikan dan pengusahaan tanah di Jawa yang selama ini dikuasai dan dikelola Perhutani, PTPN dan pihak perkebunan swasta. Saat ini terdapat 2,7 juta hektar tanah Perhutani dan 650.000 hak guna usaha (HGU) di Pulau Jawa.

Lahan lahan itu  harus dikonversi menjadi koperasi-koperasi rakyat, yang dimiliki oleh petani secara kolektif atau pun Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Di lahan-lahan itu kerap menjadi konflik dan tumpang tindih klaim dengan masyarakat. Penataan ini menurut KPA,justru jauh lebih bermanfaat bagi kelangsungan lingkungan hidup keluarga petani dan masyarakat di pedesaan.

KPA juga menilai  pemilihan  objek  pembaruan  agraria  dengan menyasar Hutan Produksi Konversi yang berada di bawah Kementerian LHK dan Areal Penggunaan Lain (APL) di bawah Kementerian ATR/BPN, membuktikan pemerintahan tidak melihat persoalan agraria yang  sesungguhnya.

Menurut KPA permasalahan tanah selama ini, karena akibat pemberian izin dan konsesi di masa lalu yang terus berlangsung hingga kini kepada pihak perusahaan perkebunan dan kehutanan. Hal itu telah menimbulkan konflik agraria berkepanjangan. Oleh karena itu,   KPA menyarankan Pemerintah meredistribusikan  tanah-tanah  seturut dengan pengembalian tanah-tanah itu ke masyarakat yang terampas.

Disisi lain rencana pemerintah yang akan mengalokasikan tanah tersebut untuk perkebunan tebu, sawit dan  kedelai.  Dalam pandangan  KPA, konsep estate pertanian bagi perusahaan akan justru membuka kembali pembelokan arah dan tujuan redistribusi tanah kepada petani menjadi program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang digabungkan dalam Transmigrasi. "Ini tentu mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya, bahkan sejak masa Orde Baru," ujar mereka.

Untuk itu KPA menyarankan dalam rencana redistribusi itu pemerintahan harus berkonsultasi dan libatkan organisasi petani yang memperjuangkan agenda pembaruan agraria dan penyelesaian   konflik   agraria,   sebelum   menentukan   langkah   lebih   jauh. Sebab, keberhasilan redistribusi tanah  yang telah  dijalankan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan adalah dukungan dan partisipasi aktif dari organisasi rakyat (petani) yang kuat.

BACA JUGA: