JAKARTA, GRESNEWS.COM - Buruh menyatakan keberatan terhadap keputusan pemerintah terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) khususnya di DKI Jakarta sebesar Rp3,1 juta. Buruh menilai  upah yang layak di tengah kondisi ekonomi yang sulit itu yaitu sebesar Rp4 juta.

Sekretariat Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Sabda Pranawa Djati mengatakan berdasarkan survei yang dilakukan para buruh, untuk upah yang layak seharusnya berkisar Rp3,5 juta. Besaran upah itu dengan asumsi sudah memenuhi 60 komponen standar kebutuhan hidup layak (KHL). Asumsi KHL itu masih menggunakan asumsi tahun ini, jika menggunakan asumsi KHL sebanyak 80 komponen di tahun depan upah yang layak seharusnya di atas Rp3,5 juta.

Menurut dia bertambahnya standar KHL tersebut dilihat dari dua hal yaitu kuantitas dan kualitas. Untuk kualitas, dia mencontohkan buruh menyewa rumah. Menurutnya sewa rumah untuk ukuran Jakarta, layaknya seperti kamar kos-kosan. Untuk itu peningkatan upah tersebut bertujuan untuk menyicil rumah bukan menyewa rumah.

"Kita mau aman, buruh mempunyai rumah, ada ruang tamu, ada kamarnya. Kita pengen ada perbaikan kualitas dari KHL-nya," kata Sabda kepada gresnews.com, di Jakarta, Senin (7/12).

Sabda mengatakan penetapan UMP sebesar Rp3,1 juta oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok didasarkan PP No 78 Tahun 2015. PP tersebut menjadi dasar penetapan UMP, padahal PP tersebut telah melanggar UU Tenaga Kerja dimana PP menghilangkan survei KHL yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan.

"Saat ini kan UMP ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi," kata Sabda.

TINGKATKAN KEAHLIAN BURUH - Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan selain kenaikan UMP dan bertambahnya KHL tersebut, seharusnya produktivitas dan efisiensi kerja juga harus ditingkatkan. Misalnya, melalui pelatihan di internal perusahaan atau BLK pemerintah, dimana bagi pengusaha yang memberikan pelatihan kepada buruhnya maka akan mendapatkan insentif pajak.

Said mengatakan kenaikan upah minimum dalam tiga tahun sangat signifikan karena faktor akumulasi dalam 20 tahun terakhir upah buruh murah jauh tertinggal dengan Thailand dan Philipina. Sehingga begitu diubah item KHL dari 46 item menjadi 60 item KHL langsung terasa naiknya padahal masih tetap ada item KHL yang tidak rasional seperti dalam sebulan buruh hanya mengkonsumsi beras kualitas rendah 100 Kilogram (kilogram), ikan segar 5 potong, daging 0,75 kg dan tidak ada televisi untuk kebutuhan atau pulsa sms untuk komunikasi.

"Itulah alasan kenapa upah naik signifikan," kata Said.

Said mengaku selain upah, produktivitas buruh juga harus ditingkat, tetapi keinginan meningkatnya produktivitas tidak bisa diminta hanya karena sudah menaikkan upah minimum. Namun harus ada faktor lain juga yang harus dibenahi bila ingin meningkatkan produktivitas, diantaranya mengganti mesin-mesin tua dengan baru.

Dijelaskan Said, rata-rata industri di Indonesia masih banyak menggunakan mesin-mesin tua yang di produksi pada tahun 1970 sampai 1980. Menurutnya para pengusaha tidak mencadangkan investasi, hanya berkutat pada upah murah. Berbeda Vietnam dan Kamboja yang sudah menggunakan mesin agak baru.

Disatu sisi pengusaha juga enggan memberikan training untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM) bagi para buruh karena pengusaha menganggap pendidikan atau training adalah cost, padahal pendidikan untuk up grade skill adalah investasi.

Said mengungkapkan saat ini pengusaha Indonesia kelabakan karena tiba-tiba Vietnam, Myanmar, Bangladesh, Kamboja, Laos menjadi negara terbuka untuk investasi dan barulah pengusaha Indonesia berteriak adanya kenaikan upah tinggi dan produktivitas buruh rendah.

"Jadi selama 20 tahun ini segala proteksi pemerintah dan profit yang telah diraup, kemana saja ? Ini tidak adil," kata Said.

TOLAK PP TENTANG UMP - Presiden ASPEK Mirah Sumirat menilai penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) kali ini tidak berdasarkan hasil survey Komponen Hidup Layak (KHL). Namun hanya berdasarkan angka UMP tahun sebelumnya, kemudian ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Padahal dalam Pasal 88 ayat 4 UU Ketenagakerjaan telah mengatur dan mengamanatkan bahwa penetapan upah minimum harus berdasarkan hasil survei KHL. Sedangkan Pasal 44 PP 78 tahun 2015 penetapan upah minimum tidak lagi berdasarkan hasil survei KHL.

Sumirat menilai penerbitan PP tersebut membuktikan, Presiden Jokowi tersandera oleh kepentingan pengusaha dan kepentingan pemodal. Sehingga tidak mampu berkutik ketika menandatangani PP 78/2015 yang telah menabrak UU 13/2015. Dia meminta agar Presiden Joko Widodo harus mendengar aspirasi pekerja karena yang dituntut oleh pekerja adalah penegakan aturan UU 13/2003.

"Jangan kebiri hak konstitusional rakyat dalam mendapatkan kesejahteraan hidup kami selaku pekerja," kata Sumirat.

Dia meminta agar seluruh Gubernur dan Bupati serta Walikota mengabaikan PP tersebut dan tetap menggunakan ketentuan pasal 88 ayat 4 UU No 13 Tahun 2003. Jika Gubernur dan Bupati serta Walikota tetap menggunakan PP tersebut,  maka ia menilai kepala daerah tersebut tidak peka dan memilih untuk berjamaah melakukan pelanggaran. Bahkan berjamaah dalam menindas pekerja dan berjamaah dalam memiskinkan rakyat.

Untuk itu, Sumirat meminta pemerintah membatalkan PP tersebut karena melanggar UU yang lebih tinggi dan kembali menetapkan UMP atau UMK berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 yaitu melalui hasil survei KHL yang benar. Kemudian, pemerintah bisa merealisasikan penambahan KHL dari 60 menjadi minimal 84 komponen. Ia juga meminta pemerintah menaikan UMP/UMK minimal 25 persen dari hasil survei KHL yang benar.

"Selama ini pemerintah telah menghilangkan hak berunding upah yang dimiliki serikat pekerja dan dijamin oleh UU Ketenagakerjaan," kata Sumirat.

BACA JUGA: