PANGKEP, GRESNEWS.COM - Wajah desa Pitusunggu di Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan memang berbeda dari 20 tahun lalu. Lahan-lahan gersang yan tadinya terbengkalai, kini mulai menghijau dihiasi tanaman-tanaman padi yang mulai meninggi. Ketika Gresnews.com mengunjungi desa itu, Sabtu (7/3) lalu, sekelompok perempuan desa tampak tengah bersiap memulai aktivitas mereka di sawah.

Mereka adalah para perempuan anggota kelompok Pita Aksi yang dipimpin oleh Sitti Rahmah, seorang perempuan yang cenderung pemalu, namun energik yang baru-baru ini diganjar penghargaan Adikarya Pangan 2014 oleh pemerintah. Pagi itu, para anggota Pita Aksi memang punya agenda untuk membersihkan lahan sawah mereka dari gulma atau tanaman pengganggu yang bisa menghambat pertumbuhan tanaman padi yang baru dua bulan lalu mereka tanam.

Melihat kondisi Desa Pitusunggu saat ini, tentu tak ada yang menyangka jika sekitar 20 tahun lalu, desa tersebut pernah menjadi desa yang gersang dan miskin. Seturut cerita Muh Arif (49), suami Sitti Rahmah, dahulu desa Pitusunggu sempat menjadi desa miskin dan gersang akibat booming udang windu yang tak terkendali.

Warga desa yang tadinya mengandalkan penghidupan dari bertani dan berambak, mulai meninggalkan pertanian padinya demi mengejar mimpi sejahtera dari tambak udang. Memang dengan harga udang yang mencapai Rp120 ribu per kilogram, penghasilan dari bertanam padi yang maksimal hanya menghasilkan Rp600 ribu per musim panen sangatlah tidak menguntungkan. "Waktu itu harga udang memang sedang bagus," kata Arif kepada Gresnews.com.

Mendadak udang windu pun menjadi primadona bagi para penduduk desa. Mereka yang tadinya bekerja sebagai petani, ramai-ramai mengubah sawahnya menjadi tambak udang windu. Sayangnya seiring ´demam´ udang menjalar, aspek lingkungan menjadi hal yang terabaikan.

Para penduduk yang letak tambaknya agak jauh dari laut sekitar 1-2 kilometer, kemudian ramai-ramai pula membuat sumur bor untuk menyedot air asin dari laut untuk mencukupi kebutuhan air asin bagi tambak-tambak mereka. Tanpa sadar, tindakan warga pelan-pelan mulai mendatangkan bencana. Sumur-sumur bor yang mereka bangun, ternyata menimbulkan masalah terjadinya intrusi air laut.

Air asin yang tadinya dibutuhkan mengairi tambak, merembes ke dalam tanah melalui sumur-sumur yang dibuat. Akibatnya, cadangan air tawar pun ikut tercemari rembesan air laut. Alhasil air ditambak semakin asin dan udang di tambak pun mulai mengalami masalah. Tingkat kematian tinggi dan berbagai penyakit datang menghampiri. "Udang yang terkena air asin kelihatan dia menjadi merah," kata Arif.

Kombinasi intrusi air laut dan penyakit membuat booming udang windu hanya mampu bertahan selama lima tahun. Bencana ´udang´ itu masih ditambah lagi dengan harga udang yang juga semakin merosot. Udang windu yang tadinya laku dijual seharga ratusan ribu rupiah sekilo, merosot hanya seharga Rp30-40 ribu per kilogram.

Warga desa memang tetap mencoba bertahan hidup dengan mengandalkan hasil tambak. Hanya saja situasinya kini sudah sama sekali berbeda. Arif bercerita, ketika booming udang tiba, petani banyak yang meninggalkan lahan sawahnya untuk bertambak. "Waktu harga udang tinggi, kita memang menganggap enteng soal beras. Daripada menanam, kami lebih suka membeli," kata Arif.

Alasannya sederhana, hasil bertanam padi jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil bertambak udang. Dengan uang dari hasil tambak, membeli beras adalah hal yang mudah. "Memang lebih gampang membeli beras," kata Arif menegaskan.

Kondisi desa Pitusunggu yang sedang mati suri ini untungnya tidak berlangsung terlalu berlarut-larut. Asa membangun kembali potensi ekonomi desa yang sempat terabaikan sejak demam udang melanda yang mengakibatkan banyak lahan persawahan terbengkalai, kembali terajut sejak tahun 2010 silam.

Kebetulan di tahun itu, Oxfam–konfederasi dari 17 organisasi yang bekerja di 94 negara bersama mitra dan kaum rentan untuk menghapuskan kemiskinan– meluncurkan sebuah program bernama Restoring Coastal Livelihood (RCL) atau Perbaikan Penghidupan Pesisir. Project Officer program RCL Oxfam Fatmasari Hutagalung menjelaskan, program itu bertujuan untuk membangun kedayatahanan masyarakat rentan dari perubahan ekologi hutan bakau yang mengalami kerusakan karena konversi tambak.


Di Sulawesi Selatan, program itu sendiri dijalankan di empat kabupaten yaitu Pangkep, Maros, Barru dan Takalar. Di keempat kabupaten ini, Oxfam bekerjasama dengan 74 kelompok tani dan pemerintah daerah setempat untuk menggali kembali potensi sumber daya alam di wilayah setempat untuk dijadikan dasar penghidupan masyarakat secara berkelanjutan.

"Kami berupaya memfasilitasi masyarakat rentan untuk mampu mengakses dan mengontrol sumber daya pesisir dan menggali peluang sumber penghidupan alternatif bagi masyarakat rentan terutama kaum perempuan," kata Fatmasari kepada Gresnews.com.

Kenapa program ini difokuskan memberdayakan kaum perempuan? Menurut Fatma–panggailan akrab Fatmasari– kaum perempuan adalah kelompok yang paling rentan terhadap kemiskinan yang diakibatkan struktur sosial yang kerap menempatkan perempuan berada di bawah kaum laki-laki. "Akibatnya akses perempuan terhadap sumber daya, pengambilan keputusan dan juga akses ekonomi menjadi sangat terbatas," ujarnya.

Terkait program RCL sendiri, Deputy Country Director Oxfam Indonesia Aloysius Suratin mengatakan, ide besar program RCL adalah membangun daya tahan rumah tangga pesisir yang tangguh dengan mendorong perbaikan aspek sosial, ekonomi, dan ekologis suatu wilayah. "Dengan memperkuat akses tersebut kondisi rumah tangga pesisir diharapkan akan lebih baik," ujarnya.

Pada aspek sosial, selain mendorong kaum perempuan untuk bisa setara dengan kaum lelaki dalam memperoleh berbagai akses ke sumber daya ekonomi, Oxfam juga mendorong agar rumah tangga pesisir memiliki akses kepada lahan agar rumah tangga bisa berporduksi. “Menguasai lahan berarti menguasai aset secara keseluruhan,” tegasnya.

Dalam konteks program RCL di desa Pitusunggu sendiri, Oxfam memang melihat adanya potensi akses pada lahan khususnya lahan sawah dan pekarangan yang selama ini menganggur untuk bisa diberdayakan sebagai sumber-sumber penghasilan ekonomi alternatif selain tambak. Maka pada tahun 2010, Oxfam pun memulai program RCL di desa Pitusunggu dengan menginisiasi terbentuknya kelompok-kelompok tani khususnya kelompok tani perempuan.

Peran Perempuan Membangun Desa

Sitti Rahmah bercerita, di tahun 2010 dengan diinisiasi Oxfam, terbentuklah kelompok tani perempuan yang salah salah satunya adalah kelompok Pita Aksi. "Nama itu sendiri merupakan semacam singkatan dari Pitusunggu Beraksi," kata Rahmah kepada Gresnews.com.

Melalui kelompok inilah para perempuan di bawah pimpinan Rahma memulai upaya memberdayakan diri dengan mengikuti sekolah lapang yang difasilitasi Oxfam untuk meningkatkan kapasitas mereka di bidang petanian khususnya pertanian organik. Mulanya, diakui Rahmah, memang sangat sulit untuk bisa melibatkan kaum perempuan dalam program ini.

"Maklum di desa, yang paling susah adalah mendapatkan pengertian dari suami, kami sudah terbiasa di sini menempatkan kaum laki-laki sebagai pihak yang mencari nafkah sementara perempuan mengurus rumah tangga. Banyak suami yang mulanya tidak setuju kaum perempuan melakukan aktivitas di luar itu," ujar Rahmah.

Dia sendiri cukup beruntung memiliki suami seperti Arif yang mampu mengerti bahwa perempuan juga harus terlibat secara aktif dan setara dengan lelaki dalam membangun ekonomi rumah tangga. Maka, Rahmah pun kemudian berjuang selama nyaris setahun untuk bisa meyakinkan para suami agar mengizinkan istri-istri mereka aktif mengikuti sekolah lapang tersebut. "Suami yang tidak setuju terus saya bujuk agar mau mengizinkan istrinya untuk terlibat aktif," ujarnya.

Usaha Rahmah memang tidak sia-sia, berkat kesabaran dan kekompakan para anggota kelompoknya, Pita Aksi sendiri bersama satu kelompok lainnya yaitu Talaswati berhasil menjadi kelompok yang paling berhasil karena produktivitasnya yang cukup tinggi terutama dalam produksi sayuran organik.

Kelompok ini mulai mengikuti Sekolah Lapang (SL) 1 di tahun 2010-2011 dibawah bimbingan Sonikusnito, sarja pertanian lulusan Universitas Gadjahmada yang diminta Oxfam untuk menjadi pendamping para petani. Di bawah bimbingan Soni, warga mulai mempelajari teknik-teknik bertani secara organik termasuk teknik bertanam padi di lahan yang terintrusi air asin.

Proses pembelajaran pertanian organik sendiri baru dipelajari Rahmah dan kelompoknya pada sesi SL 3 tahun 2011-2012. Sebelumnya di SL 2 yang diadakan di pertengahan tahun 2011 mereka mempelajari teknik pemenfaatan pekarangan untuk bertaman sayuran.


Inti dari materi SL ini adalah mengajak peserta yang terbagi dalam kelompok kecil untuk melakukan pemetaan berbagai potensi desa, membuat peta letak potensi-potensi tersebut, serta melakukan pengamatan lapangan dan mengidentifikasi komponen-komponen yang ada di sekitar potensi-potensi tersebut. Dari pengamatan yang sudah dilakukan, masing-masing kelompok diwajibkan untuk melakukan presentasi hasil temuannya di lapangan.

Selain peserta melakukan bagaimana cara teknis bertambak, bersawah, maupun berkebun sayuran, mereka juga diarahkan untuk melakukan pengamatan tentang perkembangan komoditas yang dibudidayakan, mengamati kondisi pertumbuhan, gangguan hama, dan kondisi cuaca. "Peserta juga diajarkan untuk mengamati faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi kondisi sawah, tambak, ataupun kebun sayuran," kata Soni sang pendamping lapangan.

Setelah semua proses berlangsung, peserta Sekolah Lapang yang terbagi dalam kelompok, diminta untuk mempresentasikan semua hasil kerjanya yang kemudian akan merumuskan kesimpulan dan tindak lanjut yang akan dilakukan terhadap permasalahan yang ditemui di lapangan. Di akhir pertemuan Sekolah Lapang (SL) peserta diajak untuk merumuskan rencana tindak lanjut kegiatan sesuai dengan topik masing-masing SL dan analisa usaha dari kegiatan yang kemudian akan dilakukan.

Khatam dari Sekolah Lapang selama 3 periode, menjadi bekal bagi Sitti Rahmah dan warga Desa Pitusunggu melakukan pertanian organik. Kelompok Pita aksi dibandingkan dengan kelompok lainnya di Pangkep, lumayan produktif dalam kegiatan budidaya dan penjualan hasil pertanian organik.

Walaupun sudah tidak lagi menggunakan lahan bersama, namun pemanfaatan pekarangan rumah masing-masing anggota cukup optimal. Jenis tanaman yang variatif jelas menambah omset yang didapat anggota Pita Aksi.

Sitti Rahmah sebagai Ketua Kelompok Pita Aksi, menyiasati komunikasi antar anggota melalui acara arisan setiap bulannya. Dengan adanya arisan, tentu setiap anggota lebih tergerak untuk hadir. "Padahal tujuan utamanya adalah menjaga semangat anggota agar konsisten menghidupkan pekarangan rumahnya berproduksi tanaman organik," ujarnya.

Sesekali Rahmah berkunjung ke rumah anggota Pita Aksi, melihat perkembangan pekarangan organik anggotanya. Tidak lupa ia selalu mengingatkan setiap anggota untuk melapor hasil penjualan sayur organik, untuk melihat sejauh mana perkembangan bisnis sayur organik kelompok Pita Aksi.

Sejahtera Dengan Pertanian Organik

Mengembangkan pertanian organik di Pitusunggu, menurut Sonikusnito, awalnya memang tidak mudah. Pilihan menjalankan sistem pertanian organik sendiri, kata dia, didasarkan atas dua alasan mendasar. Pertama, di daerah Pitusunggu khususnya, penggunaan pupuk kimia sudah sangat besar dan berlangsung bertahun-tahun.

"Sehingga banyak mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Penyakit pada beberapa komoditas di tambak sudah cukup tinggi. Yang paling berpengaruh besar adalah penggunaan kimia di tambak," ujarnya.

Alasan kedua, ujar Soni, adalah agar masyarakat tidak lagi bergantung pada pupuk kimia. "Mereka bisa memproduksi pupuk sendiri dan hal tersebut dapat mengurangi biaya produksi," katanya.

Ada banyak kendala yang dihadapi Soni diantaranya adalah wawasan terkait pertanian organik yang masih sangat kurang. "Di Jawa, kita kasih support sedikit saja sudah bisa. Di sini kita harus memulai dari awal," kata Soni.

Cara yang dia tempuh adalah memberikan pemahaman terkait bahaya penggunaan pupuk dan pestisida kima terhadap kesehatan diri, lingkungan dan masyarakat luas. “Kemudian kita bandingkan dengan sistem organik,” katanya.


Setelah itu, kata Soni, barulah dia mulai memberikan materi dasar seperti apa itu pertanian organik dan sebagainya. Lewat program Sekolah Lapang, Soni menularkan pengetahuannya terkait pertanian organik termasuk teknik-teknik pembuatan pupuk dan pestisida organik seperti yang dipraktikkan para anggota Pita Aksi tadi.

Hasil dari upaya keras Soni dan para perempuan di kelompok Pita Aksi ini memang luar biasa. "Alhamdulillah lumayan, hasil dari pekarangan rumah sudah bisa membiayai pengeluaran kuliah anak saya, kemarin tabungan saya mencapai 11 juta rupiah," kata Rahmah dengan wajah sumringah.

Cerita Rahmah yang berhasil membiayai sekolah anak perempuan pertamanya hingga ke tingkat perguruan tinggi tadi, hanyalah salah satu bentuk keberhasilan yang sudah bisa dicapai oleh dirinya dan banyak lagi anggota kelompok Pita Aksi dari hasil memberdayakan pekarangan mereka untuk menanam sayur dan bertani dengan sistem organik. Rahmah sendiri tiga tahun lalu harus berjuang keras membangun keyakinan diri dan perempuan lainnya untuk bisa memberdayakan halaman rumah mereka untuk bisa menghasilkan sesuatu yang bisa mendongkrak perekonomian rumah tangga.

Dengan telaten Rahmah menggarap lahan pekarangan rumah seluas 400 m2 untuk ditanami berbagai jenis sayuran mulai dari bayam, kangkung, sawi hijau, cabai, tomat, selada dan lain-lainnya. Kaum perempuan lainnya pun kemudian mulai tertarik meniru apa yang dilakukan Rahmah. “Mulanya mereka datang beli hasil kebun saya. Tetapi saya bilang lebih baik ibu cocok tanam di pekarangan sendiri daripada membeli,” katanya.

Dia pun mulai meminta para ibu di desanya menghitung pengeluaran keluarga untuk membeli sayur. Rahmah bercerita, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk membeli sayuran mencapai sekitar Rp5000-Rp10.000 per hari. Berarti dalam sebulan pengeluaran untuk kebutuhan sayur mayur berkisar antara Rp150.000-Rp300.000, sebuah angka yang cukup lumayan untuk ukuran desa Pitusunggu.

Pemahaman yang cermat dan tepat yang diberikan Rahmah tentang berapa banyak uang yang bisa dihemat jika kaum ibu mampu memberdayakan lahannya, mampu menggerakkan para perempuan itu untuk mengikuti jejak Rahmah. "Akhirnya mereka tertarik juga setelah melihat apa yang saya lakukan," ujarnya.

Hasil kerja keras itu, bahkan pada satu titik sempat membuka peluang bisnis yang potensial bisa mendongkrak kehidupan ekonomi masyarakat. Kelompok Pita Aksi di tahun 2012-2013 sempat membuka kerjasama pemasaran hasil pekarangan mereka dengan beberapa pasar swalayan seperti Gelael, Indomaret dan Alfamart. Hanya saja, kerjasama itu kemudian membuat mereka kewalahan untuk bisa memenuhi target permintaan sebanyak 5 kilogram sayur mayur per hari dari masing-masing jenis.

Alhasil untuk sementara demi keberlangsungan hidup mereka sendiri, hasil panen sayur dari pekarangan hanya dijual ke desa-desa sekitar sembari memenuhi kebutuhan sendiri. Hanya saja, melihat kondisi saat ini, Pitusunggu sudah memperlihatkan kebangkitan yang signifikan dan menjelma menjadi desa mandiri baik secara ekonomi dan sosial.

Pitusunggu Memandang Masa Depan

Wajah desa Pitusunggu kini memang sudah berbeda dari lima tahun lalu. Kemajuan sudah terasa meski belum semua memang bisa terjadi secara merata. Aloysius Suratin mengatakan, dari berbagai indikator yang ada, target capaian program RCL memang sudah terpenuhi. "Tujuan sudah tercapai," ujarnya.

Indikator itu adalah adanya daya tahan ekonomi, dan juga dinamika sosial seperti peningkatan kapasitas khususnya kaum perempuan sudah tecapai. Interaksi antar aktor dalam hal ini warga, pendamping dan juga pihak pemerintah baik di tingkat desa hingga kabupaten sudah terbangun. "Jaringan ini kita harap menjadi modal dasar agar keberlanjutan terjadi," katanya.

Oxfam sendiri akan mengakhiri program ini pada Agustus nanti. Namun melihat indikator yang ada, Aloysius yakin program ini akan terus berlanjut dengan adanya interaksi yang kuat dari masing-masing aktor tadi.

Dari pihak pemerintah sendiri, seperti dikatakan Abdul Gaffar, Sekretaris Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Pangkep, akan terus mengawal program ini memalui program desa membangun yang memang sudah dilaksanakan pemerintah. "Kami sendiri di pemerintah memang sudah mengubah mindset (pola pikir-red) dari siklus proyek ke program," kata Abdul Gaffar kepada Gresnews.com.

Kini setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lewat program desa mandiri, dituntut aktif bersama masyarakat menetapkan program-program sesuai dengan kebutuhan setiap desa. "Dinas-dinas kini dituntut membuat kegiatan sesuai tipologi dan kebutuhan setiap desanya," ujar Gaffar.

Dengan modal ini, dia yakin, pemerintah ke depannya bersama masyarakat akan mampu meneruskan program-program serupa dan melakukan replikasi dari model yang ada di desa Pitusunggu untuk diterapkan di desa-desa lainnya. "Replikasi sendiri sebenarnya sudah ada di beberapa desa," katanya.

Sementara itu, pemerintah juga terus memberikan bantuan teknis mulai dari bimbingan, sampai bantuan seperti benih dan alat-alat pertanian seperti traktor tangan. Pemerintah, kata Gaffar juga berupaya memberikan bantuan seperti sertifikasi organik untuk mendorong pertanian organik seperti di desa Pitusunggu agar bisa mendapatkan pengakuan dari pasar baik lokal bahkan internasional.

Saat ini, kata dia, pemerintah berusaha menggandeng sebuah perusahaan semen untuk memberikan dana corporate social responsibility (CSR) atau dana tanggung jawab sosial perusahaan untuk membantu masyarakat mendapatkan sertifikasi organik dari Sucofindo. "Mudah-mudahan kerjasama bisa terjalin," kata Gaffar.

BACA JUGA: