JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembangunan reklamasi pantai dan eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan di Ibukota Jakarta yang didasarkan pada kepentingan ekonomis semata, suatu ketika akan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologis yang berdampak besar dan berpotensi menenggelamkan Jakarta. "Termasuk potensi dampak besar pada pembangunan megaproyek reklamasi tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) di Teluk Jakarta yang kami analisis dan khawatirkan," kata Sekretaris Jenderal Koalisi Perkotaan Jakarta Ubaidillah dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (26/3).

Sebagaimana masyarakat dan publik ketahui, megaproyek reklamasi pulau-pulau buatan dan reklamasi pesisir pantai di Teluk Jakarta telah dimulai. Proyek yang sebelumnya bernama JCDS (Jakarta Coastal Defence Strategies) berganti nama menjadi tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall/Outer Sea Wall). Nama lainnya adalah sebagai proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) atau Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara.

Ubaidillah menjelaskan, pada dokumen konsep proyek reklamasi Giant Sea Wall atau NCICD yang direncanakan oleh pemerintah dan pengembang adalah pulau bergambar burung garuda (lambang Negara Indonesia), yang dalam rencana pembangunannya dibagi dalam tiga tahap atau fase yaitu A,B,C. Tahap A adalah pekerjaan penguatan dan peninggian tanggul di sepanjang 32 km bibir pantai Jakarta dan telah memulai pekerjaan konstruksi awal (Ground Breaking) pada 9 Oktober 2014 dengan alokasi anggaran lebih dari Rp1 triliun yang bersumber dari Pemprov DKI Jakarta dan swasta pengembang.

Tahap B pada proyek Giant Sea Wall atau NCICD adalah pekerjaan pembangunan dinding laut luar sebelah barat (gambar burung garuda) yang akan dimulai pada tahun 2018. Sementara pada rencana tahap C adalah pekerjaan pembangunan dinding laut luar sebelah timur (berada diutara Tanjung Priok-Koja-Cilincing) yang akan dimulai setelah tahun 2023.

Di dalam konsep pembangunan proyek Giant Sea Wall atau NCICD, terdapat rencana pekerjaan reklamasi 17 pulau buatan, dengan kode nama; pulau A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, dan pulau Q. Reklamasi tersebut melibatkan pengembang ternama dari unsur swasta dan pemerintah yang masing-masing pengembang mendapatkan kapling pantai dan laut untuk membangun reklamasi pantai dan pulau di lautan, yang diperkirakan menghasilkan lebih dari 51 ribu hektar lahan baru, dengan total perkiraan menelan anggaran mencapai Rp500-Rp600 triliun.

Pengembang yang telah mengkapling dan menguasai pesisir dan Laut Jakarta tersebut diantaranya adalah grup dari Agung Sedayu (ASG) dan grup dari Agung Podomoro (APG). "Koalisi Perkotaan Jakarta mencatat, tidak ada transparansi dan penjelasan baik dari pihak pengembang maupun pemerintah yang disampaikan ke masyarakat dan publik luas terkait detail keseluruhan dan kepastian proyek reklamasi Giant Sea Wall atau NCICD yang bergambar burung garuda tersebut," papar ubay sapaan akrab Ubaidillah.

Sebagaimana diketahui pada banyak opini dan pemberitaan, proyek reklamasi Giant Sea Wall atau NCICD adalah termasuk reklamasi 17 pulau buatan, yang sebagian telah dikerjakan dan terwujud, sebelum ada konsep Giant Sea Wall atau NCICD bergambar burung garuda (konsep tahun 2013). Namun Ubaidillah mempertanyakan, dari hasil penelitian Koalisi Perkotaan Jakarta, didapatkan sedikitnya ada 34 pulau buatan rencana hasil reklamasi pada proyek Giant Sea Wall atau NCICD bergambar garuda dimaksud.

Di lain pihak, pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil menyatakan bahwa rencana proyek Giant Sea Wall atau NCICD belum dimulai karena potensi dampak besar dan perlu dikaji ulang. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan belum memberikan persetujuan izin.

Sementara pada perkembangannya (eksisting), rencana reklamasi 17 pulau buatan di pantai utara Jakarta, dalam pantauan Koalisi Perkotaan Jakarta, terdapat 6 pulau hasil reklamasi yang sudah terwujud dan sedang berlangsung dikerjakan yang dimulai dari barat yakni pulau A, B, C, D, E, F dan G. Dimana dan terutama pulau C, D, E, berikut jembatan penghubung dari darat ke pulau sudah terlihat hasilnya yang dikerjakan lebih dahulu sejak tahun 2011 oleh pengembang PT Kapuk Naga Indah (KNI), grup pengembang terbesar Agung Sedayu Grup (ASG).

Bahkan, kata Ubay, pengembang PT Muara Wisesa Samudra (PT MWS), anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (PT APL), grup salah satu pengembang ternama Agung Podomoro Grup (APG), telah memasarkan properti konsep Pluit City di lahan rencana reklamasi pulau G. Pulau itu merupakan salah satu dari 17 pulau yang direncanakan pemerintah dan pengembang, melalui media cetak dan elektronik termasuk pada pameran-pameran.

"Konsep Pluit City telah dipasarkan dan dijual sejak tahun 2013 hingga kini, yang diketahui belum mendapatkan izin dari pemerintah pusat dan pemprov DKI Jakarta," tegas Ubay.

Pemasaran dan penjualan properti "fiktif" oleh pihak pengembang Agung Podomoro tersebut merupakan bentuk arogansi pengembang yang berpotensi merugikan lingkungan dan masyarakat sebagai konsumen. "Pemasaran dan penjualan properti tersebut dapat dikatakan ilegal," kata Ubay.

Pengembangan itu dinilai telah melanggar peraturan gubernur (Pergub) 88/2008 tentang Launching Properti, dimana pengembang Agung Podomoro telah memasarkan dan menjual dan promosi properti tanpa kelengkapan administrasi, dokumen properti dan izin reklamasi. Proyek itu tak dilengkapi misalnya dengan sertifikat, surat izin penunjukkan penggunaan tanah (SIPPT), ketetapan rencana kota (KRK) dan rencana tata letak bangunan (RTLB), bukti Pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan (PIMB), dan gambar rancangan yang telah lulus tim penasehat arsitektur kota (TPAK), sebagaimana tertuang dalam Pergub tersebut.

Seiring dengan masifnya pemasaran Pluit City dan indikasi pelanggaran Pergub 88/2008 tentang Launching Properti, PT Muara Wisesa Samudra (PT MWS) diketahui baru belakangan mengajukan permohonan izin pelaksanaan pembuatan fisik pulau G kepada Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2014. Pengembangan itu sendiri membutuhkan investasi senilai Rp50 triliun.

Surat permohonan izin pelaksanaan pembuatan fisik pulau G yang diajukan oleh PT MWS, kemudian ditindaklanjuti dengan cepat oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ahok langsung menerbitkan surat keputusan gubernur No. 2238/2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.

Ubaidillah menyesalkan terbitnya SK tersebut. Dia menyatakan, SK.Gub. No. 2238/2014 itu sesungguhnya aspal (asli tapi palsu) alias ilegal, karena menabrak peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan mengabaikan potensi dampak besar dengan tidak melalui tahapan prosedur. "SK terbit tanpa prosedur izin lingkungan, kajian Amdal dan KLHS, belum ada peraturan zonasi dan rencana induk konsep reklamasi Giant Sea Wall atau NCICD," tegasnya.

Keputusan Gubernur tersebut juga melangkahi wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sesuai Perpres No. 122/2012 tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Juga menambrak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No. 28/2014 tentang perubahan atas PermenKP No. 17/2013 tentang perizinan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sementara Gubernur DKI Jakarta dalam memberikan izin reklamasi Pluit City kepada PT Muara Wisesa Samudra, masih berpedoman kepada Perpres 52/1995 yang sudah basi dan telah kadaluarsa. "Seolah Pemprov DKI Jakarta tidak mengerti hukum," sambung Ubaidillah.

Dia mengatakan, upaya penaatan hukum lingkungan terkait reklamasi pesisir dan pulau-pulau di teluk Jakarta penting ditegakkan untuk melindungi ekologi dan keseimbangan kota. Gubernur DKI Jakarta pun dalam beberapa kesempatan menyatakan sangat menjunjung tinggi konstitusi dan memposisikan hukum diatas segalanya.

Karenanya dalam menyikapi skandal izin mega proyek reklamasi Giant Sea Wall atau NCICD, Sekjen Koalisi Perkotaan Jakarta Ubaidillah yang juga mantan Direktur Eksekutif Walhi Jakarta itu mengatakan, situasi ini sudah masuk kategori darurat ekologi kota. Ubay berharap kepada Menteri Kelautan dan Perikanan RI Susi Pudjiastuti agar mengupayakan koordinasi bersama Menteri Kehutanan dan LH Siti Nurbaya dalam upaya penaatan hukum lingkungan terkait reklamasi pesisir dan pulau-pulau pada megaproyek Giant Sea Wall atau NCICD.

Penerapan hukum atas skandal izin tersebut juga dapat berupa penerapan sanksi administratif dengan mencabut izin reklamasi pulau G yang diberikan kepada PT Samudra wisesa muara. Hal ini sesuai dengan Pasal 77, Pasal 79, Pasal 80 UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Juga Perpres Nomor 122/2012 tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta PermenKP 28/2014 tentang perizinan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Selain itu, Ubaidillah juga menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, agar mendorong upaya audit dan melakukan audit lingkungan terhadap reklamasi konsep Giant Sea Wall atau NCICD termasuk rencana 17 pulau yang sebagian sudah berjalan dan terwujud. "Terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, berkoordinasi dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam kaitan upaya penaatan hukum dan penghentian kegiatan reklamasi," kata Ubay.

BACA JUGA: