JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik soal pelarangan alat tangkap cantrang semakin memanas. Baik pemerintah maupun para nelayan, sama-sama tidak mau mundur dari posisi masing-masing dalam menyikapi hal ini.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia pun menyayangkan lambannya pemerintah mengambil tindakan antisipatif penyelesaian polemik penggunaan alat tangkap cantrang hingga menyebabkan meluasnya aksi massa dan lumpuhnya jalur Pantura Jawa.

"KNTI menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri, sembari mengawal proses transisi berjalan optimal," kata Ketua Umum KNTI Riza Damanik dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Rabu (3/3).

Sejak awal, kata Riza, KNTI mendukung efektivitas pelarangan penggunaan alat tangkap merusak di seluruh perairan Indonesia. "Maka, harus dilakukan dengan cara benar dan terukur," ujarnya.

Sejumlah dokumen menunjukkan upaya peralihan penggunaan cantrang sudah dilakukan sejak 2005. Namun sejak saat itu pula pemerintah dan pemerintah daerah tidak mengawal proses peralihannya. Indikasinya adalah pertama, pemerintah justru dengan sadar mencatat hasil tangkapan ikan dari kapal-kapal cantrang sebagai bagian dari prestasi peningkatan produksi ikan nasional.

Kedua, penggunaan cantrang sebanyak 3.209 unit di 2004 meningkat 5.100 unit di 2007 dan sekarang diperkirakan lebih dari 10 ribu unit dari Jawa Tengah. "Maka kini, tindakan pemerintah membiarkan polemik cantrang pada lebih dari sebulan terakhir, tidak dapat dibenarkan!" tegas Riza.

Sedikitnya 100 ribu jiwa terkena dampak langsung dan lebih 500 ribu jiwa lainnya terkena dampak tidak langsung akibat terhentinya aktivitas Anak Buah Kapal Ikan (ABK). Pemenuhan hak-hak dasar warga yang dilindungi oleh konstitusi nyaris terabaikan.

Belajar dari masa lalu, dan guna  memastikan efektivitas pengelolaan perikanan, KNTI mendesak pemerintah pusat untuk mengawal secara penuh Masa Transisi. KNTI sendiri menawarkan sembilan langkah dalam mengatasi masalah ini.

Pertama, bersama pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi nelayan, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan simulasi dan pemantauan lapangan guna mengetahui operasionalisasi cantrang dari berbagai ukuran.

"Proses tranparan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait status merusak atau tidak merusaknya alat tangkap cantrang, lalu semua pihak diharapkan dapat menerima hasilnya," kata Riza.

Kedua, mensosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan. Ketiga, menyiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan.

Keempat, menyelesaikan tuntas pengukuran ulang gross akte kapal ikan dan memfasilitasi proses penerbitan ijin baru. Kelima, bekerjasama dengan organisasi nelayan dan institusi penegak hukum untuk menyiapkan skema pengawasan terpadu dan berbasis masyarakat.

Keenam, bersama pemerintah daerah menyiapkan instrumen perlindungan pekerja di atas kapal ikan (ABK), termasuk memastikan adanya standar upah minimum bagi ABK Kapal Perikanan yang menjadi amanat dari UU Bagi Hasil Perikanan dan UU Ketenagakerjaan.

KNTI mengusulkan kepada KKP untuk mengintegrasikan perjanjian kerja antara pemilik kapal dengan ABK masuk sebagai syarat perizinan (SIUP/SIPI/SIKPI) dapat terbit.

Ketujuh, selama proses transisi, bersama pemerintah daerah menyiapkan skema perlindungan sosial terhadap para ABK dan keluarganya yang berpotensi terdampak. Kedelapan, memastikan perlindungan wilayah tangkap bagi nelayan tradisional dari konflik alat tangkap melalui pengakuan atas wilayah pengelolaan nelayan tradisional dalam Rencana Zonasi di setiap provinsi dan kabupaten/kota pesisir.

Terakhir, memastikan pada Masa Transisi agar semua pihak dapat menahan diri, serta aktif mencegah konflik dan terjadi kriminalisasi.

"KNTI percaya bila 9 langkah solutif itu dilakukan maka cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia mulai diletakkan pada dasar yang benar," kata Riza.

Sebaliknya, bila persoalan cantrang ini terus berlanjut tanpa solusi yang tepat maka poros maritim kembali hanya menjadi jargon politik yang melenceng dari spirit keadilan sosial dan kebaharian bagi seluruh nelayan Indonesia.

BACA JUGA: