JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rainforest Action Network (RAN) merilis sebuah laporan terbaru bertajuk: "Every Investor Has a Responsibility, A Forests and Finance Dossier" (Setiap Investor Memiliki Tanggung Jawab, Sebuah Laporan Hutan dan Pendanaan). Laporan yang dirilis pada Rabu (26/4) itu mengungkap sebuah katalog tentang deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia melalui kegiatan yang dilakukan oleh delapan perusahaan besar kelapa sawit, bubur kayu dan kertas, karet dan penebangan kayu di Asia Tenggara.

Laporan ini dirilis pada acara konferensi Responsible Investor Asia yang berlangsung di Tokyo Stock Exchange, Jepang. Delapan perusahaan tersebut: Felda Global Ventures, Indofood Sukses Makmur, IOI, Wilmar, Asia Pulp and Paper, Oji Holdings, Marubeni, dan Itochu, ditemukan terlibat dalam berbagai skandal sosial dan lingkungan yang terdapat di rantai pasok operasional mereka.

Skandal ini termasuk diantaranya menggunakan tenaga kerja anak dan buruh secara paksa, perampasan lahan masyarakat adat, pembukaan hutan, perusakan lahan gambut dengan nilai karbon tinggi, serta mengambil keuntungan dari korupsi dan menjual produk komoditas ilegal. "Investor dan bank yang ikut membayar atas kerusakan hutan hujan dan penyalahgunaan hak masyarakat lokal tersebut memiliki kewajiban moral dan keuangan untuk segera menyadari masalah ini. Mereka harus mengerti kerugian lingkungan, masyarakat, dan resiko investasi mereka," ungkap Direktur Kampanye Hutan & Pendanaan RAN Tom Picken, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com.

Laporan terbaru RAN menemukan, berdasarkan catatan terbaru kegiatan operasional sektor kehutanan dari 8 perusahaan tersebut telah difasilitasi dari setidaknya US$6,5 miliar investasi saham dan obligasi gabungan. Selain itu, perusahaan tersebut telah menerima lebih dari US$28 miliar fasilitas pinjaman dan penjaminan sejak tahun 2010.

Bank-bank besar yang mendanai 8 perusahaan ini diantaranya, Sumitomo Mitsui Financial Group, Mizuho Financial, Mitsubishi UFJ Financial, China Development Bank, RHB Banking, CIMB Group dan HSBC. Japan’s Government Pension Investment Fund, Vanguard, Employees Provident Fund, BlackRock, dan Dimensional Fund Advisors juga tercatat sebagai investor terbesar 8 perusahaan tersebut.

Skandal sosial dan lingkungan jelas terjadi di rantai pasok perusahaan, meskipun 8 perusahaan ini sudah memiliki beberapa komitmen dan kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi masalah sosial dan lingkungan dalam lingkup operasional mereka. Beberapa perusahaan bahkan telah menjadi anggota dan memiliki sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

"Bankir dan investor harus berhenti menutup mata pada masalah ini, dan mengakui dari mana sebenarnya sumber bonus dan keuntungan jutaan-dollar mereka," ujar Picken.
"Berbagai usaha nasional dan internasional untuk menegakkan hukum perlindungan hutan, mencegah perubahan iklim, dan menghentikan penyalahgunaan wewenang oleh perusahaan akan terus tergerus hingga sektor keuangan berkomitmen untuk menghentikan kucuran kredit mereka pada perusahaan bermasalah," tambahnya.

Dalam laporannya itu, RAN mendesak agar investor dan bank mengembangkan kebijakan pembiayaan sektor kehutanan bagi semua perusahaan yang terkait dengan produk komoditas yang berasal dari hutan tropis dan rantai pasok hilir yang berisiko. Kebijakan tersebut juga harus mampu mengidentifikasi dan memantau risiko spesifik terkait deforestasi dan pelanggaran hak.

"Investor dan bank juga harus melakukan proses seleksi kelayakan yang disempurnakan, hingga memastikan pemantauan independen terhadap operasional perusahaan dan berkomitmen untuk menghentikan pendanaan pada perusahaan yang gagal menjalankan bisnis secara bertanggung jawab," tegas Picken.

MERUSAK GAMBUT - Deforestasi, isu sosial dan dampak terhadap pasar menjadi isu materialitas bagi investor. Sejak tahun 2000 sampai 2012, hutan hujan tropis seluas hampir tiga kali ukuran luas Jepang hilang di seluruh dunia, dengan angka kehilangan tertinggi terjadi di Asia Tenggara. Tekanan pada hutan ini sebagian besar berasal dari meningkatnya permintaan perusahaan dunia pada minyak kelapa sawit, bubur kertas, kayu, karet dan komoditas lunak lainnya.

Laporan RAN menekankan bagaimana sektor keuangan, melalui bentuk penyediaan pinjaman miliaran-dolar setiap tahunnya, menjadi aktor yang berpengaruh dalam sektor komoditas hutan dengan memberikan jaminan dan investasi kepada sektor komoditas hutan yang berisiko. "Hampir setengah dari deforestasi hutan tropis disebabkan oleh konversi hutan ilegal untuk perkebunan komersial, setengahnya merupakan akibat langsung dari konversi ilegal untuk pasar ekspor," ujar Picken.

Sebelumnya, Tim Investigasi RAN juga berhasil mengungkap kasus perusakan hutan di kawasan primer Ekosistem Leuser. Perusakan itu dilakukan oleh sebuah perusahaan kelapa sawit yang dikenal dengan PT Agra Bumi Niaga (ABN). Tim investigasi RAN menelusuri perkebunan kelapa sawit di sekitar pabrik pengolahan minyak sawit mentah yang dioperasikan oleh PT Koperasi Prima Jasa (KPJ).

Perusahaan pengolahan ini telah memasok minyak kelapa sawit ke kilang minyak milik Wilmar Internasional, yang mengirimkan “Kelapa Sawit Berkonflik” ini ke seluruh dunia hingga digunakan oleh perusahaan-perusahaan ternama yang memproduksi barang kebutuhan sehari-hari. Pengguna produk Wilmar diantaranya adalah PepsiCo, McDonalds, Nestle, Unilever dan Procter and Gamble.

"Kehilangan tragis habitat penting satwa liar yang terancam punah ini merupakan tindakan pembangkangan oleh perusahaan nakal yang telah diawasi sebelumnya oleh pemerintah untuk secara ilegal menghancurkan hutan hujan Ekosistem Leuser," ujar Direktur Kampanye Agribisnis untuk Rainforest Action Network Gemma Tillack.

Gemma mendesak, pemerintah harus segera melakukan segala bentuk intevensi yang diperlukan untuk menghentikan pembukaan hutan dan membatalkan izin perusahaan. "Selain itu, pemasok dan konsumen minyak kelapa sawit global seperti Wilmar dan PepsiCo harus mengumumkan kebijakan untuk tidak membeli dari PT ABN, pabrik pengelolaan Koperasi Prima Jasa (KPJ) dan pabrik pengelolaan lain yang terkait dengan perusahaan kontroversial ini hingga pelanggaran bisa sepenuhnya benar-benar diselesaikan," tegasnya.

Laporan RAN menunjukkan bagaimana perusahaan perkebunan PT Agra Bumi Niaga telah mempercepat pembukaan ratusan hektare hutan habitat gajah, harimau dan orangutan Sumatera yang terancam punah selama enam bulan terakhir. Bukti ini hadir hanya dalam beberapa bulan setelah kerusakan akibat pembukaan lahan dan pengeringan hutan lahan gambut oleh perusahaan kontroversial lainnya, PT Dua Perkasa Lestari (DPL) terungkap di kawasan Tripa, Ekosistem Leuser.

Pembukaan hutan ilegal yang dilakukan oleh PT ABN berlangsung di daerah resapan air Peureulak dan dapat mengakibatkan kerusakan yang berbahaya bagi masyarakat yang tinggal di hilir. Perluasan kegiatan tersebut akan menimbulkan kerusakan untuk habitat gajah Sumatera yang kian kritis hingga menimbulkan tingginya konflik antara gajah dengan manusia pada masyarakat dan menjadi ancaman serius bagi pertanian serta kesehatan dan kelangsungan hidup gajah.

 

BACA JUGA: