JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Kesehatan RI tergolong kementerian yang memperoleh alokasi anggaran terbesar dalam RAPBN Tahun 2017. Anggaran yang dirancang pemerintah untuk Kementerian Kesehatan mencapai Rp 58,3 triliun. Atau kelima terbesar dalam daftar anggaran untuk kementerian/lembaga pemerintah. Hanya saja capaian kinerja lembaga ini tak berbanding lurus dengan besarnya alokasi anggaran.   

Anggota Komisi IX DPR RI Okky Asokawati menilai kinerja menteri kesehatan Nilla F Moelok dianggap tidak memiliki terobosan dan hanya mengulang kebijakan-kebijakan lama. Okky menganggap besaran anggaran kesehatan yang telah dikeluarkan pemerintah tidak berbanding lurus dengan capaian di bidang kesehatan. Padahal menurutnya, pemerintah telah memenuhi alokasi anggaran bidang kesehatan sebagaimana amanat Undang-undang, yakni sebesar 5 persen dari APBN.

"Ini dapat dibuktikan dengan tingginya angka penderita kekurangan gizi yang mencapai 30 persen," ujar Okky, Senin (24/11).

Padahal menurut badan kesehatan PBB (WHO), angka ideal balita penderita kekurangan gizi harus di bawah 20 persen. Tak hanya soal gizi buruk. Tingginya laju pertumbuhan penduduk juga menjadi indikator bahwa Menteri Kesehatan gagal menekan laju jumlah penduduk di Indonesia.

Selain itu perlu diketahui, Kemenkes saat ini masih memiliki tunggakan soal pembentukan aturan  turunan pelaksana UU berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang belum tuntas. Misalnya saja, turunan UU Kesehatan Jiwa, PP terkait UU Rumah Sakit tentang RS yang menolak pasien,  PP tentang  Dokter Layanan Prima (DLP). Regulasi yang tertunda itu pada akhirnya membuat kinerja di sektor kesehatan pemerintahan Jokowi tidak maksimal.

"Semestinya Presiden dapat mengontrol para pembantunya untuk bergerak cepat dalam kerja legislasi," ujar Okky

Dari sisi kebijakan, Menteri Nila sampai saat ini juga belum memiliki terobosan yang berarti. Bahkan program - program yang menonjol dari Kementerian Kesehatan adalah program yang meneruskan kebijakan lama. Semestinya menurut Okky, dengan alokasi anggaran yang meningkat, terdapat kebijakan terobosan yang memiliki daya ubah yang nyata.

Salah satu persoalan yang cukup pelik adalah masalah pelayanan BPJS Kesehatan. Ia mencontohkan, seperti   pasien ditolak di Rumah Sakit, yang salah satunya disebabkan paket INA CBGs (sistem pembayaran dengan sistem paket, berdasarkan penyakit yang diderita) yang dinilai tidak menguntungkan pihak Rumah Sakit, sejauh ini tak ada solusi.

"Pemerintah semestinya melakukan terobosan misalnya dengan memberi insentif pajak bagi RS yang menjadi mitra BPJS," ujarnya.

PERIODE PALING BURUK - Hal senada juga diungkapkan Pengamat kesehatan Dokter Marius Widjajarta. Ia mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan seharusnya menjadi atasan BPJS Kesehatan, hanya saja saat ini keadaannya terlihat bahwa Kemenkes berada di bawah BPJS Kesehatan.

"Seharusnya BPJS Kesehatan hanya menjalankan peraturan Kemenkes, akan tetapi ini malah BPJS kebablasan," ujar  Marius Widjajarta kepada gresnews.com, Senin (24/10).

Ia juga melihat, Kementerian Kesehatan yang dipimpin Nilla F Moelok adalah periode paling buruk dibanding sebelumnya. Menurutnya anggaran yang dimiliki Kemenkes sudah sangat berlebih, akan tetapi program-program yang dilakukan tidak berguna. Bahkan bisa dibilang program yang dikerjakan malah merugikan dan menghamburkan uang.

Ia mencontohkan seperti program dokter layanan primer. Menurutnya program tersebut selain hanya menghamburkan uang dengan anggaran sebesar Rp500 miliar, program tersebut juga dirasakan sangat merugikan pekerja kesehatan seperti dokter. Padahal program dokter layanan primer tersebut juga belum memiliki peraturan pemerintah.

"Bukannya duduk bareng dengan para dokter tetapi Kemenkes malah membuka program baru diploma komisaris setara layanan primer," ujarnya.

Sampai saat ini, Marius menyatakan, Indonesia belum memiliki Standard Pelayanan Medik Nasional. Padahal tahun 2002 WHO telah mengadakan pertemuan dengan 197 negara termasuk Indonesia untuk mendeklarasikan 4 pilar yang harus dimiliki pelayanan kesehatan pada setiap negara dan harus difasilitasi oleh pemerintah dalam hal ini Kemenkes.

"Kesehatan masyarakat semakin memburuk, mutu dokter semakin jatuh. Jadi jelas bahwa Menteri Kesehatan adalah menteri terburuk di era Jokowi," ujarnya.

Dalam laporan berjudul The Killer Gap: A Global Index of Health Inequality for Children, World Vision organisasi kemanusiaan internasional mengkaji 176 negara di seluruh dunia mengacu pada besarnya kesenjangan yang terjadi, antara masyarakat yang dapat mengakses layanan kesehatan dengan baik dan masyarakat yang masih sulit mengaksesnya. Indonesia berada pada peringkat ke-100 pada indeks global ini.

Sepuluh negara dengan kesenjangan terkecil, menurut Indeks World Vision adalah Perancis, Denmark, Norwegia, Luxemburg, Finlandia, Jerman, Swedia, Slovenia, Kuba dan Swiss. Sedangkan 10 negara dengan kesenjangan terbesar adalah Chad, Sierra Leone, Guinea, Mali, Equatorial Guinea, Nigeria, Kongo, Afghanistan, Kamerun dan Pantai Gading (Cote d´Ivoire). Tujuh dari 10 negara dengan kesenjangan kesehatan terbesar berada pada kelompok negara-negara termiskin di dunia, dan tiga diantaranya merupakan negara berpendapatan menengah.

Hanya saja saat dikonfirmasi soal penilaian ini, Humas Kementerian Kesehatan Hendy Yudistira menolak memberikan keterangan apapun terkait tudingan Okky. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki kapasitas untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Kirim saja surat permohonan wawancara, nanti saya diskusikan dengan pihak yang berwenang untuk menjawab karena saya cuma humas," ungkapnya kepada gresnews.com, Senin (24/11).

BACA JUGA: