JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) tengah mencari rumusan  kerangka regulasi tentang danau sebagai upaya meningkatkan kualitas pengelolaan danau berkelanjutan. Diketahui danau selain sebagai sumber air minum dan keperluan sehari-hari, danau juga sebagai sumber air baku industri, sarana transportasi air, energi, irigasi, pariwisata, dan perikanan.

Dalam rangka mencari rumusan ini  Bappenas bekerja sama dengan sejumlah pihak menggelar Lokakarya Nasional bertema "Pengelolaan Danau Berkelanjutan: Sinergi Program dan Peran para Pemangku Kepentingan" di Jakarta pada  9-10 Mei 2017.

Pertemuan itu membahas sejumlah isu strategis berkaitan persoalan danau, antara lain soal pencemaran air akibat aktivitas di dalam dan sekitar kawasan danau, tata ruang penggunaan wilayah kawasan danau yang holistik, peraturan dan manajemen yang terintegrasi dan sinergi dalam pengelolaan danau berkelanjutan, serta pemanfaatan kawasan danau untuk aktivitas pariwisata.

Pertemuan yang digelar di Hotel Aryaduta itu juga sempat menghadirkan sejumlah kepala daerah yang wilayahnya memiliki danau. Seperti  Bupati Toba Samosir, Bupati Agam, Bupati Gorontalo, dan Bupati Semarang. Mereka diminta memaparkan kondisi dan  permasalah dalam pengelolaan empat danau, yaitu Danau Toba, Danau Maninjau, Danau Limboto, dan Danau Rawa Pening.

Tak kalah menarik sejumlah kementerian yang bersinggungan dengan isu ini juga sempat dihadirkan diantaranya Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Negara Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono, Menteri Pariwisata Arief Yahya. Mereka duduk bersama membahas solusi kebijakan meliputi sisi perencanaan, kelembagaan, hingga regulasi pengelolaan danau.

Disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, ketahanan air, termasuk eksistensi danau, adalah salah satu prioritas pembangunan. Tiga permasalahan yang umum terjadi pada danau-danau di Indonesia, adalah soal peningkatan kadar limbah, pendangkalan, dan pencemaran.

Sejauh ini ada 15 danau yang perlu pengawasan karena kerusakannya yang kian mengkhawatirkan. Untuk itu pengelolaannya harus menjadi prioritas. Danau-danau itu adalah Danau Rawapening di Jawa Tengah, Rawa Danau di Banten, Danau Batur di Bali, Danau Toba di Sumatera Utara, Danau Kerinci di Jambi, Danau Maninjau, Danau Singkarak di Sumatera Barat, Danau Poso di Sulawesi Tengah, Danau Cascade Mahakam-Semayang, Danau Melintang dan Danau Tondano di Sulawesi Utara, Danau Tempe dan Danau Matano di Sulawesi Selatan, Danau Limboto di Gorontalo, Danau Sentarum di Kalimantan Barat, Danau Jempang di Kalimantan Timur, dan Danau Sentani di Papua.

Indonesia sendiri sebenarnya total memiliki 840 danau dengan  tipologi yang bervariasi. Sebagian besar danau di Indonesia merupakan danau alami. Luas seluruh danau mencapai 7.103 kilometer persegi. Danau-danau tersebut tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali, Sulawesi, serta Papua. Danau-danau itu berada di Sumatera sebanyak 170 danau dengan luas sekitar 3.700 kilometer persegi, kemudian Kalimantan sebanyak 139 danau luasan 1.142 kilometer persegi, Jawa dan Bali sebanyak 31 danau luasan 62 kilometer persegi, Sulawesi 30 danau luasan 1.599 kilometer persegi
dan Papua sebanyak 127 danau dengan luasan 600 kilometer persegi.

Pemanfaatan ekosistem danau itu saat ini telah meningkat, sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Namun, pemanfaatan danau dan lingkungan sekitarnya yang kurang terkendali menyebabkan kondisi ekosistem danau mengalami degradasi.

Atas gambaran situasi itu pemerintah perlu melakukan terobosan untuk mengatasi permasalahan lingkungan di kawasan ekosistem danau. Sehingga pemanfaatannya selaras dengan pembangunan berkelanjutan.  

"Untuk itu, diperlukan pengelolaan danau terpadu yang berbasis pada pendekatan holistik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, tata ruang, dan lingkungan," ujar Menteri PPN/Bappenas Bambang Brojonegoro dalam lokakarya tersebut.

Namun Bambang menegaskan pengelolaan danau berkelanjutan tidak hanya dikerjakan oleh satu lembaga/institusi secara eksklusif.  Namun membutuhkan upaya bersama berbagai pihak, baik swasta maupun masyarakat.

Oleh karena itu, menurutnya, kendati para pemangku kepentingan memiliki tujuan berbeda, namun dalam upaya optimalisasi potensi danau, aksi kolektif (collective goals) untuk tujuan bersama (common goals) pengelolaan danau yang berkelanjutan harus menjadi prioritas.

"Kunci keberhasilan aksi kolektif tersebut adalah koordinasi yang baik dari seluruh pemangku kepentingan," tambah Bambang, seperti dikutip kominfo.go.id.

Hanya saja hingga kini, baik secara regulasi maupun kelembagaan, belum ada institusi yang bisa disebut sebagai leading sector untuk pengelolaan danau. Selama ini danau dikelola terbatas dan parsial sebagai  tugas masing-masing institusi negara, baik di level pusat maupun daerah sesuai regulasi sektoral.

Diakui Bambang,  pemerintah pernah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Danau sebagai turunan dari Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Namun, belakangan undang-undang tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 85/PUU-XI/2013, akibatnya proses penyusunan peraturan danau itu pun terhenti karena payung hukum yang digunakan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Untuk itu saat ini pemerintah kembali membahas kerangka regulasi danau sebagai bagian upaya pengelolaan danau berkelanjutan. lokakarya tersebut disebutkan akan menjadi dasar atau pijakan penyusunan kebijakan dan peraturan, serta untuk membangun sinergi antara berbagai pemangku kepentingan.

Ia juga mengusulkan perlu dipikirkan pembuatan peraturan presiden sebagai jalan keluar untuk mempercepat pembangunan danau yang berkelanjutan. Hal itu mengingat belum ada rancangan peraturan pemerintah.

"Kami akan membuat sebuah perencanaan terintegrasi terkait dengan masalah danau. Dengan adanya kebijakan dan peraturan yang jelas, pemerintah dapat merancang perencanaan dan kelembagaan yang mapan untuk pengelolaan danau," pungkas Bambang.

Menanggapi persoalan danau ini Menteri Pariwisata Arief Yahya menyarankan ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mengelola 15 danau kritis tersebut. Menurutnya, danau itu harus dikelola oleh satu manajemen, integrated planning. Termasuk zonasi dan destinasi, pembangunan infrastruktur, dan menggunakan konsultan kelas dunia.

Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya lebih menyarankan untuk melakukan penguatan kelembagaan dan sinkronisasi program dalam pengelolaan danau. Sebab menurutnya, dalam perspektif kelembagaan, ada sistem nilai yang harus dilihat dalam pengelolaan danau kritis. "Sebagai landscape, danau ada sejarah sosial, proses evolusi, suksesi struktur dinamika manusia, serta sebagai social-natural evolutionary history," katanya.


KRITISNYA DANAU-DANAU BESAR - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan danau bukan hanya sekadar bagian dari alam, tapi juga memiliki manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang luar biasa. Sayangnya, masih banyak hal-hal yang belum didalami tentang keberlanjutan danau.

Banyak pihak melihat danau hanya sebagai halaman belakang rumah sehingga tidak terlindungi dan dirawat secara maksimal. "Selama ini, kita hanya berfokus ke wisata pantai, gunung, bangunan kuno, dan jarang ke danau," ujarnya dalam acara lokakarya tentang Danau di Hotel Arya Duta, Jakarta, Rabu, 10 Mei 2017.

Ia juga mengungkap adanya 15 danau yang perlu perhatian serius pemerintah karena kondisinya yang semakin rusak. Dalam lokakarya itu sejumlah kepala daerah memaparkan seluk beluk kondisi danau- danau mereka.

Antara lain, Bupati Agam Indra Catri yang wilayahnya memiliki danau Maninjau. Ia pun memaparkan permasalahan yang dihadapi Danau Maninjau diantaranya hilangnya ekosistem endemik, meningkanya level air danau, banyaknya aktivitas perikanan keramba, juga rusaknya daerah tangkapan air, dan pencemaran air dan blooming algae. Ia menyebut potensi lahan krisis di kawasan danau itu mencapai 48,84 persen dengan jumlah sedimentasi danau dari sungai mencapai 1,3 juta ton per hari.

Kondisi yang sama juga diungkapkan Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo atas menurunnya daya dukung lingkungan di Danau Limboto. Menurutnya sedimentasi di danau ini mencapai 5 juta ton per tahun sehingga kedalamannya berkurang dari 30 meter menjadi 2,5 meter. Vegetasi air, seperti enceng gondok, terus memenuhi danau ini dari tahun ke tahun. Tahun  2016, disebutkannya vegetasi air sudah menyebar sampai ke bagian tengah danau.

Demikian juga dengan paparan Bupati Semarang Mundjirin yang mengeluhkan semakin kritisnya Danau Rawapening. Saat ini, 18,45 persen dari luasan danau sudah ditutupi enceng gondok, 7,69 persen Hydrilla, dan 15,38 persen Salvinia. Keberadaan budi daya jaring keramba apung yang menjamur di danau itu, bahkan mempercepat populasi enceng gondok. Di samping persoalan lain seperti erosi dan sedimentasi danau yang menyebabkan pendangkalan. Padahal, danau ini memiliki fungsi sebagai sumber air minum dan pengendali banjir.

Kegelisahan yang sama diungkapkan Wakil Bupati Toba Samosir Hulman Sitorus terkait kondisi Danau Toba. Menurutnya Danau Toba saat ini mengalami kemerosotan kualitas air akibat pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah domestik, seperti pakan ikan, pestisida, dan pertanian. Ketinggian muka air juga mengalami penurunan hingga 2-2,5 meter. Lahan kritis untuk tangkapan air juga kian meluas.

BACA JUGA: