JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti "mengobarkan perang" melawan Illegal Fishing sebagai kejahatan transnasional terorganisir di kancah internasional. Untuk melawan kejahatan ini mengajak negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan praktik illegal fishing sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir (transnational organized crime).

Desakan itu disampaikan Susi dalam Konferensi Kelautan PBB: Transnational Organized Crime in Fisheries Industry bersama Norwegia, The International Police Organization (Interpol), dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), di New York, 13 Juni lalu.

Susi menyebut bahwa Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing itu  terkait dengan kejahatan transnasional. Bahkan operasinya kerap didukung oleh kelompok terorganisir.

Indonesia menurutnya telah menjadi saksi adanya pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari perdagangan manusia, perbudakan anak, hingga pelecehan fisik dan seksual yang terjadi di kapal penangkap ikan. Kejahatan di lautan juga meliputu penyelundupan bahan pangan seperti beras, bawang, pakaian obat-obatan terlarang, alkohol, dan narkotika. "Bahkan mereka juga menyelundupkan satwa liar yang terancam punah, seperti burung beo, burung surga, dan armadillo," ungkap  Susi.

Untuk itu Susi menghimbau setiap negara anggota PBB tidak membiarkan praktik illegal fishing di negara masing-masing. Sebab dampak dari praktik ilegal Fishing tak hanya berdampak pada berkurangnya stok ikan di lautan, tetapi juga telah mengancam punahnya beberapa spesies-spesies laut lainnya.

Susi melihat bahwa praktik illegal fishing akan berdampak pada ekonomi dalam negeri, di mana barang atau spesies selundupan akan dijual dengan harga murah, sehingga memungkinkan terjadinya kompetisi yang tidak sehat.

DUKUNGAN PBB - Menanggapi seruan Menteri Susi, Presiden Sidang Majelis Umum PBB Peter Thompson menyatakan memberikan dukungannya. Peter mengatakan, dirinya menyambut baik upaya Indonesia menjadikan illegal fishing sebagai kejahatan transnasional. "Kami berusaha keras melalui konferensi laut (PBB) ini, tetapi ini (persetujuan) juga tergantung pada semua orang, bukan pribadi," ujar Peter seperti dikutip kkp.go.id.

Dukungan juga datang dari Norwegia dan Interpol. Norwegia bahkan, menegaskan pentingnya aspek fisheries agriculture dalam memberantas praktik illegal fishing. Permanent Representative of Norway to The United Nations, Geir O Pedersen, menyebut 40 persen tindakan kriminal sektor perikanan yang terjadi telah menghabiskan sumber daya ikan yang ada. Oleh karena itu, Ia berharap sektor perikanan mulai memperhatikan keberlanjutan agar sumber daya laut dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.

"Saya rasa, sangat penting untuk memerangi illegal fishing sebagai transnational organized crime demi masa depan kita bersama," ungkap Geir.

Dalam kesempatan itu Susi juga meyakinkan Dewan PBB, bahwa Indonesia pernah mengalami kekurangan stok ikan laut akibat praktik illegal fishing.

"Sebelum menjadi menteri, saya memiliki pengalaman 30 tahun sebagai pedagang makanan laut di sebuah kota kecil di Jawa Barat, dekat Samudra Hindia. Selama tahun-tahun itu, saya menyaksikan dan mengalami langsung penurunan tangkapan ikan nelayan lokal akibat kapal-kapal penangkap ikan ilegal yang umumnya berasal dari negara lain. Saya menyaksikannya sendiri saat di mana tangkapan lobster yang biasanya 2 ton per hari berkurang menjadi hanya 10-50 kg per hari," kenang Susi.

Untuk itu begitu ditunjuk sebagai Menteri pada 2014 lalu, ia langsung menetapkan perang melawan IUU Fishing sebagai prioritas untuk membangun kembali sektor kelautan dan perikanan Indonesia, dengan tiga pilar yaitu kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.

Untuk mencapai ketiga pilar tersebut. Menteri Susi juga membeberkan kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya, di antaranya moratorium kapal perikanan eks-asing untuk mempelajari pola dan modus operandi IUU Fishing; penenggelaman kapal perikanan illegal untuk memberikan efek jera; larangan transshipment atau bongkar muat di tengah lautan karena umumnya kegiatan IUU Fishing terjadi di tengah lautan; larangan penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut; mempromosikan pengelolaan kelautan dan perikanan yang transparan dengan membuka akses kepada publik, dan; membuat regulasi terkait hak asasi manusia untuk melindungi nelayan dari kejahatan perdagangan manusia dan perbudakan.

Menurutnya kebijakan itu telah menunjukkan angka yang luar biasa selama dua tahun terakhir. Nelayan Indonesia dapat menikmati peningkatan daya beli dari 104,63 pada tahun 2014 menjadi 109,85 pada bulan Januari 2017. Maximum Sustainable Yield (MSY) naik dari 7,3 juta ton pada tahun 2015 menjadi 12,5 juta ton pada tahun 2017. Studi yang dilakukan Universitas California Santa Barbara juga menunjukkan ada penurunan eksploitasi 30-35% di Indonesia dalam satu tahun (2015-2016). "Ikan semakin dekat ke pantai, dimana nelayan lokal kita sekarang bisa menangkap yellowfins, anchovy, dan king prawn," jelas Menteri Susi.

"Sekali lagi, saya meminta dukungan dan komitmen PBB untuk menetapkan IUU Fishing ini sebagai kejahatan transnasional yang terorganisir. PBB diharapkan dapat memberikan pemahaman yang dapat kita sebarluaskan agar praktik IUU Fishing ini dapat diberantas secara luas, demi masa depan laut kita," paparnya.

BACA JUGA: