JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para buruh masih terus mempermasalahkan langkah pihak kepolisian yang menersangkakan 23 buruh, 1 mahasiswa dan 2 pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang melakukan aksi demonstrasi menolak PP 78 Tahun 2015 di kawasan Monumen Nasional pada 30 Oktober 2015 lalu. Terlebih, kasus ke-26 orang aktivis buruh itu kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan dan kini mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pimpinan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Ilham Syah yang sembilan anggotanya dijadikan tersangka kasus kerusuhan dalam demo buruh itu mengatakan, tindakan polisi menersangkakan dan kemudian memproses hukum kasus itu, merupakan tindak kriminalisasi terhadap aksi demonstrasi buruh. "Dalam konteks kriminalisasi ini, kita melihat sebagai upaya membungkam suara rakyat yang coba mengkritisi kebijakan pemerintah dalam rangka menjamin pemodal," kata Ilham kepada gresnews.com, Rabu (23/3).

Dia menilai, buruh yang melakukan aksi demonstrasi menuntut kesejahteraan adalah merupakan pengejawantahan hak buruh. Dia menyangkal buruh telah bertindak anarkis dalam aksi itu. Kemudian, dua advokat LBH yang hadir dalam aksi itu, kata Ilham, juga memiliki hak imunitas sesuai aturan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. "Tapi kenapa ikut juga diseret ke meja hijau oleh pihak kepolisian?" katanya.

Ilham bercerita, saat kejadian, para buruh yang didampingi advokat LBH dan juga didukung elemen mahasiswa, berdemonstrasi secara tertib. Bahkan, kata dia, saat itu Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri sempat menemui para buruh dan mencoba memberikan penjelasan terkait PP Pengupahan. Hanya saja, para buruh merasa penjelasan Hanif kurang memuaskan, sehingga para buruh melakukan rembuk yang menghasilkan kesepakatan tetap melakukan aksi sambil menunggu untuk bertemu dengan Presiden Jokowi.

Sampai batas waktu pukul 18.00 polisi kemudian membuat pengumuman yang menyarankan massa buruh untuk membubarkan diri, buruh yang bertahan dengan alasan menunggu Jokowi kemudian dibubarkan paksa oleh Polisi. Massa buruh, kata Ilham, kemudian mundur tanpa melakukan tindakan anarkis, tetapi secara tiba-tiba barisan polisi yang menggunakan seragam TURN BACK CRIME, bergerak memecah massa buruh dan menangkapi beberapa buruh yang ada diatas mobil komando, dan juga 2 advokat LBH Jakarta yang sudah mengenalkan identitasnya kepada polisi tetapi tetap ditangkap oleh pihak kepolisian.

Karena itu, Ilhamsyah menilai, aksi polisi itu merupakan upaya kriminalisasi rejim Jokowi melalui aparatur negaranya terhadap aksi demonstrasi buruh. Rejim Jokowi, kata Ilham, melakukan itu karena sangat bergantung kepada investor asing. Kebijakan dan tindakan yang diambil pemerintah selain harus menguntungkan pemodal, dia juga harus menjamin keamanan pemodal yang berinvestasi di Indonesia.

"Mereka saat ini sedang getol-getolnya menarik pemodal asing untuk berinvestasi di Indonesia, sehingga Jokowi harus membuat aturan dan tindakan yang melindungi pemodal," ujarnya.

Alasan utama polisi menangkapi buruh termasuk advokat, karena buruh dipandang melawan aparat dengan tidak mau membubarkan diri pada pukul 18.00 sesuai batasan waktu demostrasi yang diatur dalam Peraturan Kapolri, dinilai Ilham mengada-ada. Menurut Ilham Syah, dalam UU terkait penyampaian pendapat di muka umum, tidak dikenal adanya pembatasan waktu.

"Perkap itu kan tidak bisa untuk mengkriminalkan, Perkap kan tidak memiliki sanksi hukum. selain itu masa kedudukan Perkap berada di atas UU," katanya.

Pada gelaran pertama sidang kasus buruh di PN Jakarta Pusat, Selasa (22/3) kemarin, tim hukum yang mendampingi buruh menyatakan menolak persidangan ini. Dalilnya, karena panggilan kepada para terdakwa dinilai tidak layak. Hal ini dilihat dari surat panggilan yang tidak menyebutkan pasal apa dan kasus apa yang disematkan kepada para buruh.

Panggilan hanya berisi pemanggilan terhadap buruh sebagai terdakwa. Majelis hakim yang memimpin sidang pun akhirnya memutuskan untuk menunda sidang dan meminta jaksa penuntut umum untuk memperbaiki dan membuat surat panggilan yang benar.

Ilham Syah mengatakan, pihaknya akan mendesak kepada hakim agar terbuka mata hatinya, bahwa ini adalah kriminalisasi dan merupakan upaya pemerintah membungkam rakyatnya yang kritis terhadap kebijakan. "Kita akan terus mengawal dan memobilisasi massa, sampai dibebaskan dari semua dakwaan," pungkasnya.

INSIDEN BURUK DEMOKRASI - Sementara itu, terkait diperkarakannya dua advokat dari LBH yang mendampingi aksi buruh, dinilai merupakan pelanggaran terhadap hak imunitas advokat dalam menjalankan tugasnya yang dilindungi oleh undang-undang. Direktur LBH Jakarta Alghifari Aqsa mengatakan, hal ini menjadi catatan buruk bagi rezim Jokowi, dimana kebebasan menyampaikan pendapat di depan umum dipidanakan.

Padahal, kata dia, sebelumnya sudah ada kesepakatan dengan Kepala Polres Jakarta Pusat sebagai pemegang komando, terkait aksi buruh 30 Oktober 2015. "Seharusnya demonstrasi dibubarkan saja, dan itu pun sudah dibubarkan, kenapa harus dipidanakan?" katanya kepada gresnews.com, Rabu (23/3).

Terkait pemidanaan terhadap dua advokat LBH Jakarta oleh polisi, kata Alghifari, sementara ini LBH Jakarta menghentikan aduan dari masyarakat dan memusatkan tenaganya untuk menghadapi permasalahan ini. Dia menilai, proses hukum terhadap 23 buruh, dua advokat dan satu mahasiswa ini cacat hukum.

Karena itulah, LBH Jakarta menolak persidangan tersebut. Jaksa dipandang tidak membuat surat penggilan secara patut, dan telah menyalahi ketentuan Pasal 146 KUHAP, dimana didalam surat panggilannya tidak ada kejelasan pasal apa yang didakwakan kepada 23 buruh, dua advokat dan satu mahasiswa ini.

Sementara itu, Sekretaris Presidium Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia Ramses, yang turut hadir di persidangan mengatakan, kebebasan demokrasi harus dijamin oleh negara. "Tidak ada dasar hukumnya kebebasan demokrasi itu bisa dikriminalisasi, hal ini sudah diatur dalam UU," tegasnya.

Menyikapi permasalahan ini, Ramses menyerukan kepada segenap elemen masyarakat untuk bersatu padu melawan segala bentuk pemberangusan ruang demokrasi. "Dipidanakannya buruh yang sedang memperjuangkan haknya, merupakan langkah mundur pemerintahan rezim Jokowi," tegasnya.

Menurutnya, semua peraturan yang bisa dijadikan alat mengkriminalisasi harus segera dihapus. Apalagi, tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh rezim Jokowi terhadap buruh tidak hanya ini. Sebelumnya ada juga seorang karyawan kontrak dikriminalisasi dengan menggunakan Pasal 27 UU ITE. "Kita akan melakukan aksi-aksi mendesak pemerintah, untuk menghapus aturan-aturan yang tidak adil kepada rakyat," katanya.

Ramses mengatakan, kedepannya PPRI akan terus melakukan perlawanan terhadap kasus-kasus yang bertentangan dengan keadilan, dan bentuk-bentuk pemberangusan ruang demokrasi. "Kedepannya kami akan terus melakukan perlawanan kepada segala bentuk ketidakadilan dan pemberangusan ruang demokrasi yang dilakukan oleh rezim manapun," pungkasnya  
 
PENETAPAN TERSANGKA JANGGAL - Sebelumnya, sejumlah organisasi yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Melawan (Geram) kriminalisasi menyatakan penetapan status tersangka terhadap 23 buruh, satu mahasiswa dan dua Advokat LBH yang mendampingi buruh saat demonstrasi terdapat kejanggalan.

Aktivis Perempuan Mahardhika Mutiara Ika Pratiwi mengatakan, aksi buruh di kawasan Monas menentang pemberlakuan PP 78/2015 bukan merupakan tindak pidana. Apalagi sudah ada izin dari pihak kepolisian untuk menggelar aksi itu.

Kerusuhan yang terjadi dalam aksi, kata Ika, justru muncul karena tindakan polisi sendiri. "Awalnya sudah ada komunikasi yang baik dengan pihak kepolisian. Tiba-tiba Polisi mengeluarkan water cannon dengan mengerahkan pasukan. Saat sedang ada upaya untuk menyelesaikan aksi kemudian secara brutal pihak kepolisian mendatangi mobil komando lalu menyeret teman-teman yang ada di atas mobil komando," terang Mutiara.

"Ada juga pemukulan-pemukulan kepada kawan-kawan aksi. Mobil komando dihancurkan, mereka yang berhasil ditangkap dibawa ke mobil," tambah Mutiara.

Tigor Hutapea, salah seorang pengacara LBH yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya, menyatakan hal yang sama. Dalam penilaian Tigor, kepolisian melakukan kriminalisasi kepada pengacara yang dilindungi secara hukum. "Kami menyimpulkan ada rekayasa kasus kriminalisasi terhadap pengacara publik," tegas Tigor.

Tigor mengungkapkan bahwa penetapan dirinya sebagai tersangka merupakan rekayasa kasus oleh pihak kepolisian. Karena penetapan itu, lanjut Tigor, polisi tidak memiliki alat bukti yang kuat untuk menetapkan dia dan kawan buruh lainnya sebagai tersangka.

"Tanggal 30 Oktober kita ditangkap lalu diperiksa sebagai saksi setelah itu dinaikkan statusnya sebagai tersangka. Padahal sebagai pengacara kita dilindungi oleh UU Advokat, Pasal 16 dan UU Bantuan Hukum yang menyatakan bahwa tugas advokat tidak bisa dituntut secara pidana atau perdata ketika menjalankan tugas," ungkap Tigor.

Tigor mengaku memang di dalam UU Nomor 9 tahun 1998 diatur, sudah menjadi kewenangan polisi melakukan pembubaran aksi demonstrasi, namun bukan dengan cara penangkapan. Padahal, pada pukul 18.00 massa aksi sudah mulai melakukan pembubaran secara perlahan.

Selain itu, Tigor menilai proses hukum penetapannya sebagai tersangka juga dianggap janggal. Dia menilai kepolisian tidak profesional dalam menetapkannya dan kawan-kawan buruh serta mahasiswa sebagai tersangka karena menurut Tigor penetapannya hanya berdasarkan pada saksi dari kepolisian dan tidak pernah di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan-red) sebagai tersangka.

"Prosesnya sampai ke pengadilan juga tidak transparan. Polisi bekerja secara sepihak. Karena saksi dari polisi, pelapor dari polisi, penangkapnya dari polisi, jadi tidak alat bukti yang lain. Tidak di-BAP sebagai tersangka kecuali sebagai saksi," katanya.

Pasal yang diterapkan kepada Tigor cs adalah melanggar Pasal 216 dan Pasal 218 KUHP. "Pasal yang diterapkan 216 dan 218 KUHP tentang tidak menuruti perintah dan tidak membubarkan diri. Padahal itu pasal kolonial yang tidak pantas diterapkan di negara demokrasi saat ini," pungkas Tigor. (Gresnews.com/Nda Waluyo/Armidis Fahmi)

BACA JUGA: