JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembangunan, khususnya dalam bidang pertambangan ternyata telah banyak menimbulkan sisi negatif keberlangsungan hak hidup dan tumbuh kembang anak. Pasalnya, anak-anak di Indonesia telah menjadi korban berlapis dari pembangunan. Selain menjadi korban nyawa, para anak juga seringkali dipekerjakan oleh perusahaan tambang.

Belum lama ini, terdengar peristiwa memprihatinkan dari Samarinda. Seorang anak bernama Reyhan (10 tahun) meregang nyawa akibat bekas lubang tambang yang tak ditutup perusahaan. Sebelumnya lubang-lubang bekas tersebut juga telah merenggut nyawa delapan orang anak lainnya.

"Apa yang dialami oleh Reyhan dan anak-anak lainnya di Indonesia merupakan bentuk kejahatan struktural negara yang berkolaborasi dengan korporasi," kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kepada Gresnews.com, Minggu (1/3).

Selama tiga hari, Walhi dan beberapa organisasi lainnya telah menemani orangtua korban mengadukan hal tersebut kepada instansi terkait. Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, setidaknya sudah 9 anak yang kehilangan masa depannya akibat dari praktik buruk bisnis tambang batubara.

Di tempat lain, di industri tambang timah di Bangka Belitung misalnya, anak-anak dieksploitasi sebagai menjadi pekerja anak. "Mereka putus sekolah dan kesehatannya terganggu akibat pencemaran yang ditimbulkan dari dampak bencana ekologis penambangan," kata Abetnego.

Dia mengatakan, hampir seluruh praktik ekonomi dan pembangunan dunia yang berwatak kapitalistik, akan selalu menempatkan kelompok rentan sebagai korban dari pembangunan. Kelompok rentan yang dimaksudkan bukan hanya diartikan sebagai kelompok yang terdampak, namun juga kelompok yang tidak "dihitung" atau termarginalkan dalam proses pengambilan keputusan dalam sebuah pembangunan.

Karena kasus-kasus ini merupakan kejahatan struktural dan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi anak. Maka negara harus mengambil langkah-langkah struktural dan segera untuk memastikan jaminan perlindungan terhadap hak anak. "Pastikan melalui berbagai kebijakan yang memastikan hak asasi anak bisa dipenuhi oleh negara sebagaimana tanggungjawabnya," kata Abetnego.

Negara, kata Abetnego, harus mengoreksi kebijakan pembangunan dan ekonomi, khususnya terkait dengan sumberdaya alam yang mengakibatkan hak asasi anak dilanggar. "Dalam UU PA sebagaimana yang diatur dalam konvensi yakni hak untuk hidup kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan untuk diakui pendapatnya harus diterapkan," ujarnya.

Dalam hal penegakan hukum seperti yang dialami oleh anak-anak di Samarinda, aparat penegak hukum tidak cukup menggunakan KUHP. Namun juga menggunakan UU PPLH dan UU PA sebagai instrumen hukum pokok untuk menjerat tindak kejahatan lingkungan hidup dan tindak kejahatan terhadap anak yang dilakukan oleh korporasi, khususnya industri tambang.

"Jika negara membiarkan pelanggaran terhadap hak asasi anak terus terjadi pada praktek eksploitasi sumberdaya alam, maka negara pun dapat dikenakan sanksi hukum akibat pengabaian tersebut," pungkas Abetnego.

Terkait hal ini, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal pekerja anak di aspek manapun telah dibatasi waktu dan umurnya. "Apalagi khusus pada pekerja yang memiliki muatan buruk bagi anak, seperti tambang jelas dilarang," katanya kepada Gresnews.com, Minggu (1/3).

Korporasi manapun, dilarang mempekerjakan anak di bidang tambang dan diharuskan memperhatikan aspek produksi yang aman bagi anak. Sebab, kegiatan tambang amat berpengaruh pada perkembangan anak.

"Apalagi kasus spesifik hingga ada korban jiwa, perusahaan melakukan kesalahan dobel, berproduksi tidak sesuai aturan dan tak memastikan anak aman dalam lingkungan perusahaan," katanya.

BACA JUGA: