JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah tengah menggodok konsep redistribusi aset atau reforma agraria. Harapannya program  redistribusi aset memiliki rumusan yang jelas dan bisa diterapkan kepada masyarakat dan bisa meningkatkan produktifitas sehingga dapat mengangkat  taraf hidup rakyat.  

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghendaki program tersebut bisa dilaksanakan secepatnya. Bahkan  menargetkan kepada jajaranya pembagian lahan itu bisa direalisasikan pada 24 April program. Alasan presiden memasang target program itu bisa diluncurkan pada 24 April karena pada hari itu akan digelar Kongres Ekonomi Umat. Ia berharap pada saat itu sudah ada yang bisa dibagikan.

"Ini nanti menjadi kewenangan dari Menteri BPN dan Menteri KLH, sehingga akan menjadi jelas. Pak Menko, ini sudah mepet, jadi kalau itu bisa, akan lebih baik," tekannya, Selasa (11/4), seperti disiarkan setkab.go.id.

Dalam Rapat Terbatas yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Mensesneg Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Menteri BUMN Rini Soemarno, Mendikbud Muhadjir Effendy, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menperin Airlangga Hartarto, dan Menteri Pariwisata Arief Yahya, presiden meminta untuk dirumuskan  konsep pelaksanaan program tersebut. Mulai dari cara pembagian, distribusinya  dan  siapa saja yang akan diberikan. Termasuk berapa hektar luasan yang akan dibagikan. Pihak apa saja yang berhak memperolehnya, apakah kelompok tani atau kelompok nelayankah, atau rakyat, atau pondok pesantren. "Sehingga semua itu menjadi jelas," ujarnya.

Presiden juga meminta ada kejelasan soal siapa saja  pihak-pihak yang harus mendampingnya serta bentuk skemanya. Sebab dirinya, menginginkan setiap aset yang telah dibagikan itu bisa menjadi produktif.  

Tak kalah penting Jokowi menekankan untuk dibuatkan skema agar lahan yang telah dibagikan itu tidak bisa diperjualbelikan. Selain minta untuk dibahas soal akses permodalan dan penguatan ketrampilan.  "Ini harus segera konkret, sehingga proses-proses pendataan dan penataan program ini betul-betul, terutama di redistribusi aset, betul-betul segera harus kita kerjakan," ujarnya.

Jokowi juga memberi arahan program diharapkan bisa menyasar 40 persen masyarakat yang selama ini masih berada di bawah garis kemiskinan. Untuk itu konsep digodok agar dapat tepat sasaran. Program itu menurutnya, juga akan terintegrasi dengan peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat bawah.

"Saya minta 9 juta hektar tanah yang akan ditata kepemilikannya lewat reforma agraria ini betul-betul jelas, di mana lokasinya, berapa luasnya, kondisinya seperti apa, siapa yang menjadi target, sudah langsung konkret saja," tegas Presiden.

Redistribusi aset atau reformasi agraria merupakan salah satu poin dalam program pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla dalam Nawa Cita. Program redistribusi aset adalah upaya menata kembali penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam bagi masyarakat tidak mampu agar bisa berproduksi dan meningkatkan kesejateraannya.

POKOK PERSOALAN AGRARIA - Pemerintah menyadari bahwa program redistribusi aset harus segera diwujudkan karena adanya berbagai persoalan terkait dengan ketimbangan ekonomi. Sebagian persoalan itu telah diidentifikasi pemerintah. Dalam situs presidenri.go.id. pemerintah mengidentifikasi tiga persoalan pokok agraria.

Antara lain, adanya  ketimpangan penguasaan tanah negara. Ketimpangan terjadi dampak dari kebijakan masa lalu.  Di mana tidak ada keseimbangan distribusi lahan antara pelaku kekuatan ekonomi raksasa dengan rakyat kelas bawah. Dimana pelaku ekonomi raksasa mendapatkan hak pengelolaan lahan dalam skala besar sementara rakyat kelas bawah makin kehilangan lahannya.

Indikator ketimpangan itu terlihat dari penguasaan hutan konsesi seluas 35,8 juta hektar yang dikuasai hanya oleh 531 perusahaan pemegang konsesi hutan. Sementara sebesar 56%, petani memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Di sisi lain ada  31.951 desa statusnya tidak jelas karena berada di kawasan hutan.

Persoalan kedua,  timbulnya konflik-konflik agraria, yang dipicu oleh tumpang tindih kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, di mana lahan-lahan negara yang diberi izin untuk dikelola. Ternyata tidak seluruhnya merupakan lahan negara yang bebas kepemilikan. Pada periode 2004-2015, tak kurang dari 1.772 konflik agraria terjadi akibat ketidakjelasan status tanah dan tumpang tindihnya peraturan di lapangan. Konflik ini setidak-tidaknya melibatkan sekitar 1,1 juta rakyat, dan luasan yang menjadi pokok konflik mencapai kurang lebih 6,9 juta hektar.

Persoalan ketiga, timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Krisis ini diindikasikan dengan makin terdegradasinya kualitas lahan pertanian di pedesaan, makin menyempitnya lahan untuk pertanian yang dimiliki petani. Selain itu makin berkurangnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor produksi pertanian, dan lebih banyak bertumpu pada pekerjaan di sektor jasa.

STRATEGI PEMERINTAH - Untuk merealisasikan program itu pemerintah sebelumnya telah menyiapkan langkah diantaranya, pembuatan kebijakan peta tunggal (one map policy), legalisasi sertifikat aset lahan, redistribusi tanah bagi rakyat, dan pemanfaatan kawasan hutan bagi rakyat. Strategi untuk menuju ke arah sana, salah satunya adalah membentuk gugus tugas pengendalian reforma agraria yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga.

Dalam konteks reforma agraria, pemerintah akan melakukan lima langkah yakni: (1). Penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria, (2). Penataan penguasaan dan pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), (3). Kepastian hukum dan legalisasi atas TORA, (4). Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan dan  pemanfaatan dan produksi atas TORA, dan (5) Penguatan kelembagaan pelaksana reforma agraria di pusat dan daerah.

Salah satu pendekatan dalam reforma agraria yang berbasis karakter sosial-ekologi desa adalah mengklasifikasi TORA yang berada di dalam wilayah desa untuk dikembangkan sesuai dengan karakter desa setempat, misalnya desa persawahan, desa pulau dan desa pesisir, desa perkebunan, desa hutan, desa adat, dan desa peri-urban.

Bahkan untuk menghindari terulangnya proses ketimpangan struktural dalam redistribusi lahan, dilakukan dengan menggerakkan kembali sistem-sistem produksi pertanian di pedesaan berbasis pada sistem pengelolaan model koperasi. Model ini diharapkan akan memperkuat sendi-sendi perekonomian di pedesaan, dan sekaligus menjawab banyak persoalan pokok yang sebelumnya dikhawatirkan oleh sebagian kalangan.


RESPONS SIGAP KPA - Rencana Presiden Jokowi menggelar program redistribusi aset dan reformasi agraria ditanggapi positif banyak kalangan. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) misalnya bahkan beberapa waktu lalu telah menggelar acara Konsolidasi Lokasi Prioritas Reforma Agraria Region Jawa-Bali. Acara yang menghadirkan 51 Organ-organ Tani anggota KPA se-Jawa dan Bali dimaksudkan untuk memetakan persoalan agraria di wilayah tersebut. Acara Konsolidasi Lokasi Prioritas ini difokuskan pada pembenahan data-data lokasi prioritas.

Hasil dari konsolidasi data lokasi-lokasi prioritas reforma agraria dari organisasi masyarakat sipil  tersebut rencananya akan diserahkan kepada Kementerian dan Lembaga terkait. Data tersebut diharapkan bisa untuk menyusun rencana aksi bersama dengan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, dalam rangka mempercepat implementasi reforma agraria di Jawa dan Bali.

Alasan penyusunan lokasi prioritas di Jawa dan Bali itu untuk menjawab anggapan pemerintah selama ini, bahwa reforma agraria hanya dianggap relevan diimplementasikan di luar Jawa dan Bali. Padahal implementasi reforma agraria di Jawa dan Bali juga perlu diprioritaskan, mengingat dari sisi subjek potensi penerima manfaat jumlahnya sangat besar, sementara dari sisi objek ada keterbatasan. "Implementasi Perpres Nomor 45 Tahun 2016 di Jawa dan Bali sangat penting mengingat Jawa dan Bali adalah konsentrasi ketimpangan agraria, kemiskinan di pedesaan, dan konflik agraria yang tak terselesaikan," tulis KPA dalam rilisnya.

Dalam laporannya KPA juga mengungkapkan timnya membagi Data Lokasi Prioritas ke dalam dua klasifikasi, yaitu lokasi prioritas yang berada di dalam kawasan hutan dan lokasi prioritas diluar kawasan hutan. Disebutkan jumlah data di dalam kawasan hutan mencapai 23 lokasi yang tersebar di 77 desa. Luasan konflik terbesar berada di provinsi Jawa Tengah yang mencapai 8.794 ha. Sedang lokasi prioritas di luar kawasan hutan mencapai 41 lokasi tersebar di 31 desa. Luas konflik terbesar di provinsi Jawa Timur yang mencapai 9.257 ha.

Sementara konflik agraria yang melibatkan pihak swasta terbesar berada di wilayah Jawa Timur mencapai 3.368 ha dan yang terendah di provinsi Banten 54 ha. Untuk konflik antara warga dengan PTPN terbesar berada di provinsi Jabar 5.688 ha dan terendah di provinsi Jateng 509 ha. Keseluruhan konflik agraria tersebut melibatkan 31.757 penggarap di kawasan hutan dan 27.615 penggarap di kawasan non hutan, dengan total hampir mencapai 60.000 ha.

BACA JUGA: