JAKARTA, GRESNEWS.COM - Status "awas" Gunung Agung di Karangasem, Bali, sudah ditetapkan sejak 9 hari lalu. Namun Gunung berketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut itu, belum juga erupsi. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) tengah berupaya keras memahami gunung yang masih misterius ini.

"Mungkin orang yang sering naik gunung mengaku sudah biasa melihat asap sulfatara, tapi bagi kami itu aneh. Kalau ada lubang yang bisa ditembus kemungkinan gas terbuang besar. Pertanyaannya, ada kemungkinan tidak meletus? Bisa," kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil di Pos Pengamatan Gunung Agung, Karangasem, Bali, Minggu (1/10).

Devy menambahkan, kemungkinan bisa meletus itu tergantung seberapa besar tekanan di dalam perut gunung tersebut. Namun, tekanan yang bersumber dari gas tersebut perlahan keluar melalui retakan dan hotspot di kawah Gunung Agung.

"Kalau yang keluar lebih banyak maka tidak terjadi letusan. Jadi, kalau kita lihat asap yang keluar itu sedikit. Justru itu waswas kita karena gasnya tidak dikeluarkan. Kita inginnya gasnya keluar terus," ujar Devy.

Tekanan gas tersebut dianalogikan Devy dengan makanan sebagai sumber energi makhluk hidup. Dengan perut penuh, maka manusia bisa bekerja dan mulai merasa letih ketika tak ada asupan makanan yang cukup untuk energi.

"Anggaplah energinya itu magma, dan gempa-gempa yang kita rasakan selama ini kinerjanya. Jadi magma berusaha menghancurkan patahan mencari jalan keluar, terjadi gempa itu, terkumpul lagi energinya, gempa lagi. Nah, misalkan yang mau dihancurkan tinggal sedikit, apalagi yang mau dihancurkan?" ucap Devy.

"Tidak akan muncul gempa-gempa itu. Sebelum meletus, Merapi tidak ada gempa pada 2010 lalu. Jadi bukan berarti energi magmanya hilang, yang hilang itu energi gesekannya," pungkasnya.

Devy kemudian menyimpulkan jumlah gempa yang menurun bukan berarti Gunung Agung berangsur normal. Sementara status aman yang dimaksud adalah kondisi stabil dari gunung berapi tersebut.

"Gambarannya kalau kita naik mobil jalan datar kan itu aman. Kalau kondisi tanjakan kita malah lebih hati-hati dan melamban, apalagi kalau turunan. Jadi ini masih dalam kondisi tidak stabil," ungkap Devy.

Kondisi kawah Gunung Agung sendiri, tertangkap satelit mengalami retakan sepanjang 80 meter. Rekahan tersebut mulai terbakar pada bagian atasnya, pertanda keluarnya gas dalam jumlah besar.

Rekahan sepanjang 80 meter tersebut ditemukan melalui foto satelit tertanggal 27 September 2017. Selain rekahan, hotspot seluas 120 meter persegi juga tampak di dalam foto dan menjadi ventilasi keluarnya asap putih.

"Ini kawah, kalau kita lihat dari atas itu di tengah ada retakan. Tidak jauh dari situ sudah mulai terbakar, tepatnya di bagian atasnya," kata Devy Kamil.

Devy menyatakan terbakarnya kawah itu karena ada gas yang keluar membentuk steaming jet yang telah terjadi sejak sepekan lalu. Namun PVMBG tengah menantikan gambar terbaru dari satelit untuk mempelajari jumlah gas yang keluar dari rekahan tersebut.

"Steaming jet itu merupakan suara gas yang berusaha keluar ke permukaan. Sebetulnya, kekuatan letusan itu bukan magma tapi gasnya. Semakin banyak kandungan gasnya maka semakin eksplosif letusannya," ujar Devy.

Selain mempelajari tekanan gas yang ada di dalam perut Gunung Agung, para peneliti PVMBG juga tengah mencari tahu kandungan dan konsentrasinya. Namun untuk mengetahui hal itu, sebuah alat khusus digunakan untuk mengukur panjang gelombang volume konsentrasi gas digunakan tapi terkendala cuaca berawan.

"Nah, kita tidak berani ukur ke sana (kawah), kita hanya bisa menembak dari jauh tapi belum berhasil karena berawan gunungnya. Alat itu bisa menangkap volume konsentrasi gas dengan memanfaatkan sinar ultraviolet. Kita karakterisasi perubahan panjang gelombangnya dari sensor," ucap Devy.

Oleh karena itu, Devy menyatakan, tim PVMBG tengah mencari waktu tepat untuk menggunakan alat tersebut. Sehingga kandungan sulfur dari gas dapat diperkirakan sehingga bisa diketahui konsentrasi gas di dalam gunung berapi yang sudah berstatus awas selama 9 hari itu. "Permasalahannya dengan peralatan geo-kimia ini, dia butuh langit yang cerah. Itu untuk kita mengukur kandunga gas," ungkap Devy.

ZONA HANCURAN MELUAS - Devy Kamil juga menyatakan tim sudah meneliti zona hancuran di dalam Gunung Agung. Sejak berstatus awas 9 hari lalu, zona hancuran diperhitungkan sudah meluas.

"Kita sudah lihat zona hancuran di bawah Gunung Agung sudah semakin banyak. Itu dapat dari pengukuran kecepatan rambat gelombang di bawah gunung tiba-tiba menurun," kata Devy.

Devy menggambarkan jika susunan sedimen keras hancur oleh tekanan magma maka terjadi gempa baik vulkanik maupun tektonik. Jika jumlah gempa menurun, hal ini menandakan sedimen-sedimen keras di dalam Gunung Agung telah hancur. "Kalau sudah gembur, misalnya seperti pasir, kita pukul dan gelombangnya untuk sampai ke suatu tempat responnya lambat. Artinya, sudah ada zona hancuran," ujar Devy.

Dijelaskan oleh Devy, hal ini terjadi karena Gunung Agung terakhir meletus pada 1963. Sehingga susunan bebatuan atau sedimen di dalamnya telah mengeras dan padat.
"Dia (magma) dulu nggak punya jalan, sekarang sudah punya jalan. Sekarang pertanyaannya, apakah dia masih punya kekuatan atau tidak untuk melempar material vulkanik ke atas?" ujar Devy.

Walau sudah ada zona hancuran, masih belum diketahui berapa luasnya. Devy menyatakan hal tersebut tergantung pada gas magmatik, jika gas tersebut masih tertahan oleh bebatuan padat maka besar kemungkinan terjadi ledakan yang memicu erupsi.

"Jadi adanya lubang itu bisa mengindikasikan dua hal. Pertama, dia bisa mengurangi tekanan magma di perut Gunung Agung. Kedua, kalau misalnya kekuatannya besar sekali tertahan, dia bisa menjadi letusan. Meski gas sudah keluar, tapi kita tidak melihat berapa banyak. Kalau kita lihat kan asapnya sedikit," ucap Devy.

Sebagai peniliti mitigasi vulkanologi, Devy berharap banyak gas yang keluar dari dalam Gunung Agung melalui rekahan 80 meter dan hotspot. Sehingga tekanan di dalam perut gunung berkurang untuk menghindari terjadinya letusan.

"Tapi masih terjadi gempa, hingga hari ini, 12 jam terakhir terjadi 500-an gempa. Itu artinya tekanannya masih kuat. Gempa itu terjadi karena ada kelebihan tekanan, artinya energinya masih kuat. Asap putih paling tinggi itu 600 meter pada tanggal 26 September 2017, tapi rata-rata ketinggiannya antara 50-200 meter," ungkap Devy.

Gempa-gempa yang terjadi dari aktivitas Gunung Agung, terutama tektonik lokal, menandai energi magma yang bergerak menghancurkan patahan yang labil. "Magma itu keluar bukan terpisah-pisah, tapi satu kesatuan dan masif bergeraknya. Dia terus mencari celah rapuh untuk keluar," kata Devy Kamil.

Devy kemudian menjelaskan gempa tektonik lokal terjadi karena struktur patahan hancur oleh pergerakan magma. Patahan-patahan yang hancur merupakan patahan yang labil untuk bergerak sehingga teraktivasi oleh tekanan magma. "Makanya terjadi gempa terasa sedemikian banyak. Terbayang tidak berapa banyak magma yang bergerak?" ujar Devy.

Dijelaskan oleh Devy, jumlah gempa tektonik lokal dan kekuatannya mengindikasikan adanya 15 juta meter kubik magma yang bergerak. Namun angka itu bukan keseluruhan dari volume magma yang berada di dalam Gunung Agung.

"Estimasi analisis kita sudah ada lebih dari 15 juta meter kubik magma yang bergerak. Itu hanya material yang menghasilkan gempa. Lebih dari itu yang kita dapat tapi bukan merepresentasikan volume seluruh magma," ucap Devy.

Angka tersebut didapatkan dari konversi magnitude gempa tektonik lokal yang berasal dari Gunung Agung. Sehingga PVMBG mampu menganalisa kekuatan dari tekanan magma di dalam perut gunung.

"Magnitude itu akan bisa mengestimasi berapa jumlah energi yang bisa kita kumpulkan atau hasilkan. Energi yang dihasilkan untuk menciptakan gempa-gempa itu sekitar 15 juta meter kubik," ungkap Devy. (dtc)

 

BACA JUGA: