JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana pengangkatan rektor perguruan tinggi ditentukan oleh Presiden menuai polemik. Wacana yang disampaikan Mendagri Tjahjo Kumolo itu mengundang reaksi sejumlah pihak, sebagian menyatakan tak setuju atas gagasan tersebut.

Gagasan penentuan pemilihan rektor oleh presiden menurut  Mendagri Tjahjo Kumolo ini dilatarbelakangi oleh tanggung jawab rektor dalam proses penyeragaman. Penyeragaman itu dikarena  kekhawatiran adanya ideologi selain Pancasila yang dapat menyusup ke perguruan tinggi. Untuk itu pemerintah perlu merangkul semua perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta agar memiliki komitmen yang sama.

"Salah satunya itu,  gerakan-gerakan aktualisasi kampus ini memang harus dicermati,  untuk penyeragaman, saya kira (pemilihan rektor) harus bapak presiden," kata Tjahjo di kantor Kemendagri,  Jakarta Pusat, Kamis (1/6).

Wacana itu menurutnya, juga muncul dari semangat dan keinginan kerja sama antara kementerian untuk membumikan Pancasila. Serta nilai-nilai kebangsaan dan ideologi Pancasila di lingkungan pendidikan.

"Pelajaran Pancasila, wawasan kebangsaan, bela negara oleh Kemenhan itu termasuk bagian dari revolusi mental. Bagi kami ini masalah membumikan Pancasila, termasuk pemahaman NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945," ujar Tjahjo.

Menurutnya hal yang sama juga dilakukan Menteri Agama yang akan bekerjasama dengan pondok pesantren dan organisasi keagamaan. Serta Menkominfo dengan Dewan Pers, KPI, itu saja.

Lebih jauh, Tjahjo menjelaskan, pemilihan rektor perguruan tinggi harus melalui konsultasikan presiden, karena rektor memiliki jabatan strategis dan sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran mahasiswa, termasuk penanaman ideologi.

"Rektor adalah jabatan strategis yang dipilih Senat Perguruan Tinggi dan Pemerintah melalui Mendikti," ujarnya.

Menurutnya pemilihan rektor sama seperti pejabat eselon I dan Sekda Provinsi, dimana nama-nama calon akan dikonsultasikan kepada tim penilai akhir (TPA) yang dipimpin presiden. Jika hasil cek TPA dan KSN plus MenPAN dinyatakan clear, langsung disetujui Presiden. Mekanisme yang sama juga diusulkan untuk diterapkan pada pemilihan rektor.
 
Menurutnya melalui Pembantu Presiden yakni Menristek DIKTI, hasilnya dilaporkan kepada  presiden, sehingga  presiden tahu siapa Rektor Perguruan Tinggi karena dipilih Senat Perguruan Tinggi dan usul Pemerintah lewat Mendikti.

Tjahjo mengaku telah menyampaikan wacana tersebut kepada para rektor melalui forum yang diadakan di Kemendagri. Tjahjo menambahkan akibat usulan tersebut, pelantikan rektor perguruan tinggi juga akan dilaksanakan di Istana Negara.

Namun Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), Asep Saefuddin justru menyatakan, tak setuju jika  pemilihan rektor hasrus melibatkan presiden. Ia beralasan,  dalam pemilihan rektor saat ini telah ada ketelibatan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti).

Disini menteri telah mendapat arahan dari presiden, meski tidak secara tertulis, hal itu tak menjadi masalah. Sehingga tak perlu ada peraturan bahwa pemilihan harus melalui tangan presiden langsung.

Menurutnya  dalam Permendiknas Nomor 24 Tahun 2010 tentang  tata cara pemilihan rektor yang melibatkan suara menteri dan anggota senat. Dimana perbandingan suaranya, yakni 35 persen menteri dan 65 persen anggota senat yang terdiri atas rektor, para wakil rektor, dekan, para wakil guru besar, wakil bukan guru besar, dan ketua lembaga dalam masalah akademik.

Mekanisme selanjutnya perguruan tinggi menyerahkan tiga nama calon rektor pada kementerian untuk dilakukan penelusuran rekam jejak. Dalam menelusuri rekan jejak ini  dilibatkan Irjen dan Dirjen terkait. Sementara jika melalui presiden, mekanismenya juga sama akan melalui menteri juga.

PENOLAKAN DPR - Suara ketidak setujuan juga disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih.  Ia berpendapat sudah saatnya pemerintah memberikan urusan berdemokrasi pemilihan rektor tersebut ke internal perguruan tinggi.

"Mestinya, pemerintah semakin menyerahkan urusan seperti ini ke internal perguruan tinggi. Beri kepercayaan perguruan tinggi agar lebih mandiri, dan agar bisa terus mengkonsolidasikan kehidupan demokrasi di kampus." ujar Abdul seperti kutip, dpr.go.id, Jumat, (02/06).

Apalagi Politisi PKS ini melihat, ada persoalan terkait praktek berdemokrasi di kalangan civitas akademika di perguruan tinggi. Dengan adanya regulasi pemilihan rektor, dimana 30 persen proses pemilihan menjadi hak Menristekdikti.

Akibat aturan ini, orang yang terpilih secara demokrasi dengan suara tertinggi diinternal  pemilihan rektor, bisa saja tidak terpilih karena tidak mendapat dukungan menteri.

"Dengan diambil alihnya pemilihan rektor oleh presiden, alih-alih menghentikan kemelut di internal perguruan tinggi, bisa menjadi semakin runyam. Sebab, birokrasi menjadi semakin panjang sampai ke presiden," ujar legislator asal dapil Jawa Tengah IX ini.

Ia mengatakan selama ini persoalan pemilihan rektor yang hanya ditangani Menristekdikti saja berlarut sangat lama. Apalagi, jika pemilihan rektor ditentukan oleh presiden yang urusannya banyak, maka diprediksi polemik itu makin bertambah lama.

Menanggapi wacana pemilihan rektor ini Komisi X DPR berencana memanggil Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir.

Menurut Ketua Komisi X DPR-RI Teuku Riefky Harsya pemanggilan terhadap Menristekdikti dalam rangka  meminta penjelasan terkait rencana kebijakan tersebut.

"Pemanggilan tersebut berupa undangan  rapat kerja yang diagendakan dua minggu mendatang. " ujar Sabtu (3/6)

Selain meminta penjelasan menurut  Teuku ,  pihaknya juga akan meminta pemerintah membuka dialog antara pemerintah dan pemangku kepentingan di perguruan tinggi, khususnya kepada Majelis Rektor PTNI (Perguruan Tinggi Negeri Indonesia). (dtc)

BACA JUGA: