JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi II DPR RI menyatakan status quo terhadap lahan seluas 791 hektar  di Desa Margakaya, Margamulya, dan Wanajaya,  Kecamatan Telukjambe, Karawang yang disengketakan antara PT Pertiwi Lestari, Perhutani dan masyarakat. Kesepakatan untuk menetapkan status quo lahan tersebut dilakukan setelah Tim Komisi II DPR bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kemenhut dan Perhutani serta Wakil Bupati Karawang melakukan peninjauan lokasi. Dari hasil peninjauan lokasi itu, mereka sepakat ada pelanggaran yang dilakukan pihak perusahaan PT Pertiwi Lestari.

Penegasan itu disampaikan Ketua Tim  Kunker Spesifik (Kunspek) Komisi II Sareh Wiyono usai melakukan peninjauan lokasi dan mendengarkan masukan sejumlah pihak, Senin (17/4).

Menurut anggota tim lainnya, Arteria Dahlan, dengan posisi status quo itu siapapun tak boleh merasa memiliki lahan tersebut. "Selain itu siapapun tak boleh menggunakan alat negara untuk mengusir masyarakat dari lokasi," ujarnya seperti dikutip dpr.go.id.

Dalam kunjungan itu, Tim Komisi II secara khusus juga menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak terkait membahas persoalan sengketa tanah yang telah berlarut-larut. Akibat sengketa itu ratusan petani  menjadi korban karena mereka terusir dari lahan garapan dan tempat tinggalnya.


Adanya status quo itu, DPR juga meminta Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang kembali membuka akses yang selama ini ditutup PT Pertiwi Lestari dengan membongkar pemasangan portal.

DPR juga memerintahkan PT Pertiwi Lestari untuk kembali membuka fasilitas sosial dan umum baik pendidikan maupun kesehatan bagi warga masyarakat sekitar termasuk warga Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Sedangkan rumah - rumah warga yang sudah dihancurkan harus diusahakan dibangun secara sosial dengan melibatkan Pemkab Karawang.

"Juga meminta Pemkab Karawang untuk mendesak PT. PL mengembalikan apa yang sudah menjadi hak-hak Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI)," ujar Arteria  dari PDI Perjuangan ini.

Selanjutnya, disampaikan Arteria, DPR akan mencoba penyelesaian kasus tanah yang telah berlarut-larut ini pada masa persidangan ke-IV DPR. DPR Rencananya akan memanggil semua pihak yakni Kementerian Agraria, Kementerian Kehutanan, Pemkab Karawang, bahkan Gubernur Jabar, Kapolda serta Pangdam untuk merumuskan solusi terbaik masalah itu di DPR. Pihaknya tidak akan mengedepankan persoalan hukum, sebab kalau soal hukum rakyat pasti kalah.

"Pada pertemuan itu Komisi II DPR akan melibatkan semua pihak termasuk pemilik PT PL," ujarnya  

Menurut Arteria, dalam kasus tersebut, ia melihat ada pelanggaran hukum oleh  Perusahaan termasuk pelanggaran nilai kemanusiaan. Untuk itu ia meminta aparat untuk mengusut kasus tersebut. Juga perlu diusut kembali proses keluarnya HGU hingga diubah menjadi HGB. Sebab menurutnya keberadaan rakyat sudah ada jauh sebelum kehadiran pihak kehutanan maupun perusahaan-perusahaan di lokasi ini. Namun konflik yang melibatkan "segi tiga" antara rakyat, Perhutani dan Perusahaan PT Pertiwi Lestari telah berlangsung lama dan tidak kunjung terselesaikan.

Dalam Kunjungan itu Tim Kunspek Komisi II juga tak mudah untuk menjangkau lokasi. Tim Sempat dihadang oleh puluhan petugas keamanan PT. Pertiwi Lestari digerbang pintu masuk. Namun setelah salah seorang anggota DPR RI, Dadang.S.Muchtar yang juga mantan Bupati Karawang ini mendesak agar petugas keamanan tak menghalangi tugas pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya, mereka akhirnya memberi jalan.

Di lokasi, Tim sempat mendatangi 3 lokasi yang disengketakan yaitu di Kampung Cijambe Desa Margakaya, Kampung Wanajaya Desa Wanajaya, Kampung Cisadang Desa Wanajaya. Di lokasi-lokasi itu Tim melihat langsung masyarakat yang terusir.Batas lahan mereka telah dipagar beton dan sebagian tanah telah dibuldozer.


SALING KLAIM - Sengketa lahan antara PT Pertiwi Lestari dengan warga dan Perhutani berawal dari klaim perusahaan pengembang itu atas lahan seluas 791 hektare  di wilayah Telukjambe Barat, Kabupaten Kerawang. Klaim kepemilikan itu didasarkan atas kepemilikan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan Kantor Pertanahan Karawang tahun 1998. Yakni sertifikat HGB Nomor 5 desa Margamulya, sertifikat HGB Nomor 11 desa Wanajaya dan sertifikat HGB Nomor 30 desa Wanajaya.

Sementara itu pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut  dari lahan seluas 791 hektare  yang diklaim dimilik PT Pertiwi sekitar 350 hektare tanah diantaranya merupakan kawasan hutan yang harus dikembalikan kepada negara.  Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) San Afri Awang kepada media awal Maret lalu menjelaskan, temuan itu didapatkan dari hasil survei yang telah dilakukannya.  

"Kawasan kami yang masuk wilayah Pertiwi ya plus minus 350 hektare. Sehingga akan kami ambil kembali," ujar San Afri, saat itu.  

Menurutnya kawasan itu telah ditetapkan sebagai kawasan hutan sejak tahun 76. Bahkan menurutnya, kawasan itu sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan sejak tahun 1954 dan pada tahun 1976 ditetapkan sebagai kawasan hutan. Jadi menurutnya, penetapan lahan tersebut sebagai kawasan hutan telah jauh ditentukan dari HGB yang didapat PT Pertiwi sekitar tahun 2000-an. Sehingga ia bertekad untuk mengembalikan lahan tersebut ke negara.  

Untuk itu pihaknya telah mengambil langkah melakukan survei terhadap posisi lahan tersebut. Bahkan survei tersebut dilakukan dengan menggandeng lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dilibatkannya KPK dalam survei tersebut, karena pihaknya menduga ada korupsi dalam proses pemberian HGB lahan tersebut.     

KLHK sendiri menurut San Afri, telah berkirim surat  meminta kepada Kementerian Agraria, untuk mencabut HGB atas lahan yang disengketakan dengan KLHK. Ia juga menambahkan hasil survei tersebut akan ditidaklanjuti berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan perusahaan. Hasil survei itu jika perlu  akan ditindaklanjuti lewat proses hukum.

Menteri KLHK Siti Nurbaya juga telah lebih dulu berkirim surat kepada Menteri Pertanahan Kepala BPN Sofjan Djalil. Ia  meminta pencabutan atas sertifikat di lahan sengketa Telukjambe. Alasannya sebagian yang menjadi obyek sengketa adalah hutan. Surat bertanggal 7 November 2016 itu, juga ditembuskan kepada Ketua KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung.

Sementara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengaku masih membahas permintaan pencabutan sertifikat atas lahan Telukjambe itu.

Direktur Sengketa dan Konflik Tanah dan Ruang Wilayah I Kementerian ATR/BPN Supardy Marbun, mengaku masih membahasnya. Diakui Marbun ada perbedaan persepsi terhadap lahan yang diklaim sebagai kawasan hutan itu. Tetapi menurut sepengetahuannya, lahan yang diklaim tersebut adalah lahan bekas Belanda atau partikelir yang memiliki HGU.

Ia menyebut tanah itu dulunya bekas Hak Erpah,  bekas Belanda (partikelir) kemudian sepertinya itu bisa jadi kawasan hutan. Tetapi Erpah itu juga bisa dikonversikan menjadi HGU, dari HGU kemudian diubah menjadi HGB. "Tapi itu masih pembahasan," ujarnya Maret lalu.

BACA JUGA: