JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung memeriksa mantan Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang dalam kasus dugaan korupsi penyediaan dan operasi kapal Anchor Handling Tug Supply (AHTS) Kapal Transko Andalas dan Kapal Tranko Celebes tahun anggaran 2012-2014. Ahmad Bambang diperiksa sebagai dalam kapasitas Direktur Utama PT Pertamina Transkontinental (PT PTK) setelah beberapa kali dipanggil Kejagung.

Ahmad Bambang diperiksa hampir sembilan jam. Datang ke Gedung Bundar sekitar pukul 10.00 WIB dan baru keluar sekitar pukul 19.00 WIB. Usai diperiksa, Ahmad Bambang berbicara pada media yang menunggunya sejak siang.

Ahmad Bambang menyampaikan, dirinya diperiksa sebagai saksi kasus pengadaan kapal di PT PTK. Dia mengaku disoal seputar bisnis PT PTK saat itu menguntungkan atau tidak. ‎"Proses pengadaan kapal gimana, bisnis ini apakah menguntungkan atau tidak," katanya di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (20/2).

Lebih jauh Bambang membantah, pengadaan itu dikatakan ada pelanggaran prosedur atau tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku berdasarkan audit dari BPK. Termasuk adanya temuan kerugian negara yang mencapai ratusan miliar rupiah.

"Enggak ada itu, baca saja laporan resmi BPK, draf itu kan belum dikonfirmasikan ke kita belum kita counter dengan data, dan kalau mau baca saran saya yang final (hasil akhir auditnya)‎," jelasnya.

Ahmad Bambang juga membantah memerintahkan untuk menghapuskan denda keterlambatan kontrak. ‎"Saya enggak minta, itu masuk materi, biar pemeriksaan jalan dulu yah,‎" tegasnya.

Yang jelas, Bambang meminta para awak media dan publik ‎untuk membaca hasil akhir audit BPK bukan draf BPK. "Bacalah hasil finalnya, kalau draf itu dia baru lihat dari data, dokumen terus ngambil kesimpulan, lihatlah finalnya," tandasnya.

Sementara itu Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah menegaskan, pemeriksaan terhadap Ahmad Bambang adalah dalam kapasitasnya sebagai saksi bukan tersangka. Saat ini kasusnya memang sudah masuk tahap penyidikan umum, namun penyidik belum menetapkan tersangka. "Iya dia kita periksa sebagai saksi kasus pengadaan kapal sebagai saksi," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (20/2).

Dia menjelaskan untuk mengungkap adanya dugaan praktik tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan ini, penyidik sudah memeriksa belasan saksi termasuk Wakil Direktur PT Pertamina, Ahmad Bambang. Disoal hasil pemeriksaan Ahmad Bambang akan dibawa ke dalam forum ekspose untuk menetapkan tersangka, Armin meminta media bersabar. "Eksposenya nanti saja, pokoknya masih penyidikan‎," kata Armin.

Pekan lalu, penyidik memeriksa delapan saksi dari PT PTK. Mereka adalah Endang Sri Siti selaku mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Transkontinental, Joni Harsono selaku mantan Direktur Operasional PT Pertamina Transkontinental, Adam Marselan selaku Manager Keuangan PT Pertamina Transkontinental/ Anggota Tim Pengadaan Kapal dan Gita Dewi Aprilia selaku Manager Legal dan Compi Lancance PT Pertamina Transkontinental.

Lainnya adalah Nurkasa Siregar selaku Corporate Secretary PT Pertamina Transkontinental, Ahmad Zainullah Santoso selaku mantan Sekretaris Pengadaan Kapal PT Pertamina Transkontinental. Kemudian ada Ana Yuliati selaku mantan Manager Akunting PT Pertamina Transkontinental dan Ginik Windaryati selaku Manager Treasury PT Pertamina Transkontinental.

AUDIT BPK - Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan proses pengadaan kapal AHTS tersebut bermasalah. PT PTK berdasar persetujuan direksi menunjuk anak usaha PT Pertamina (Persero) PT Vries Marine Shipyard (VMS). PT VMS ini sesuai laporan BPK disebut tak kredibel dan dianggap kurang berpengalaman.

Selain masalah kredibilitas pemegang tender, nilai proyek pengadaan kapal AHTS Transko Andalas dan Celebes yang mencapai US$28 juta dianggap terlalu mahal. Padahal menurut audit itu, harga per unit kapal hanya sekitar US$7 juta. Sehingga untuk dua kapal jumlah anggaran seharusnya senilai US$14 juta.

Hal serupa juga terjadi dalam pengadaan dua kapal lainnya yakni kapal AHTS Balihe dan Moloko, yang nilai proyeknya juga mengalami kemahalan senilai US$14 juta. Adapun, dalam hal itu, BPK menengarai, potensi kemahalan yang berimplikasi pada dugaan kerugian negara tersebut disebabkan, oleh perhitungan yang tidak berjenjang dan sumber harga yang digunakan sebagai parameter tak jelas.

Selain masalah pengadaan tender, potensi kerugian negara lainnya juga disebabkan oleh kerusakan dan ketiadaan kapal pengganti. Akibatnya, anak usaha perusahaan pelat merah itu mengalami kerugian senilai US$277,221.

Dari hasil audit BPK terungkap, sistem Manajemen Pengadaan Kapal PTK tahun 2012-2014 tidak mencerminkan aspek compliance dan efektivitas. Seperti tidak ada batasan nilai untuk menentukan metode pengadaaan yang akan digunkaan dalam pengadaan kapal baru atau bekas dalam pedoman pengadaan barang dan jasa 2012.

PTK juga diketahui tidak memiliki TKO penyusunan HPS (harga perkiraan sendiri) untuk pengadaan kapal baru, kapal bekas dan kapal under contruction. PTK juga tidak memiliki daftar mitra usaha terpilih untuk pembangunan kapal. Tim teknis dan pengadaan kapal secara kolektif tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam kontruksi kapal dan pengadaan kapal. Dan semua kesalahan tersebut telah diakui oleh direksi PTK.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga telah menyerahkan 50 dokumen sebagai bukti penyimpangan dalam pengadaan kapal AHTS senilai US$28,4 juta di PTK. Dalam investigasinya ICW menemukan beberapa kejanggalan pada pengadaan pembelian kapal tersebut, salah satu yakni adanya keterlambatan penyerahan kapal senilai US$5 ribu.

Dalam kontrak pengadaan PT PTK dan PT VMS dilakukan pada 2 Febuari 2012. Kapal pertama (Trans Andalas) seharusnya diserahkan di Batam 25 Mei 2012 dan ‎kapal kedua (trans celebes) diserahkan 25 Juni 2012. Namun ternyata kedua kapal diserahkan terlambat dari jadwal tersebut, yakni diserahkan 10 Agustus 2012 dan 8 oktober 2012.

"ICW menghitung keterlambatan penyerahan kedua kapal berdasarkan tanggal kontrak mencapai 175 hari, dengan demikian terdapat denda US$ 875 ribu yang tidak ditagih oleh PT PTK pada PT VMS," kata Koordinator Divisi Investigasi ICW, Febri Hendri, Rabu (8/2).

Denda keterlambatan kemudian dikompensasi pada penambahan pelayaran kapal senilai Rp322 juta dan US$2.200. Kompensasi dengan tidak diatur dalam kontrak. Kontrak ini juga tidak diamandemen sesusai dengan masalah ini. Dengan demikian PT PTK dan PT VMS membuat aturan yang tidak diatur dalam kontrak sekaligus melanggar isi kontrak.

"Direksi PT PTK memundurkan tanggal amandemen kontrak, amandemen kontrak tertanggal 3 Oktober 2012 sebelum penyerahan kapal kedua tapi sebenarnya kontrak tersebut ditandatangani pada bulan November 2012," tegas Febri.

BACA JUGA: