JAKARTA, GRESNEWS.COM - Praktik-praktik intoleransi masih membayangi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia di sepanjang tahun 2017 ini. Beberapa catatan terjadinya kasus gangguan terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) sepanjang tahun 2015-2016, menjadi pertanda aparat penegak hukum dan elemen civil society lainnya belum memberi pengaruh signifikan untuk menekan tingkat kasus intoleransi di Indonesia.

Koordinator Desk Beragama dan Berkeyakinan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jayadi Damanik mencatat 87 pengaduan soal pelanggaran hak atas KBB sepanjang 2015. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya 2014 yaitu 74 kasus. Ada pun bentuk pelanggarannya sangat beragam mulai dari melarang beribadah, merusak rumah ibadah, menganggu aktivitas keagamaan, diskriminasi atas dasar keyakinan, intimidasi, pemaksaan keyakinan, pembiaran, kekerasan fisik, menutup lembaga keagamaan, melarang ekspresi keagamaan, dan kriminalisasi.

Meski belum merilis angka kasus KBB sepanjang 2016, Jayadi memastikan angka tersebut meningkat dari tahun 2015 lalu. Peningkatan kuantitas kasus tersebut menunjukkan kinerja penegak hukum untuk menindak KBB belum memenuhi ekspektasi publik.

"Pelakunya tidak hanya kelompok masyarakat tetapi dilakukan juga oleh pemerintah termasuk pemerintah daerah," kata Jayadi dalam sebuah diskusi bertajuk "Potret Toleransi di Indonesia tahun 2017" di Balai Kartini, Kamis (5/1) Jalan Jenderal Gatot Subroto Jakarta Selatan.

Dia meminta pemerintah segera merespons kasus-kasus KBB yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jayadi menegaskan, mesti ada jalan penyelesaian yang efektif untuk menekan peningkatan kasus itu oleh pemerintah kalau tidak ingin kasus serupa semakin meningkat. "Dari data itu kalau pemerintah tidak memiliki strategi jitu mengatasinya, dimasa depan akan terus meningkat," ujar.

Kepala Bagian Mitra Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Kombes Pol Awi Setiyono mengungkap data yang berbeda dari Komnas HAM. Menurut Awi, ada 25 kasus intoleransi beragama sepenjang tahun 2016 dengan bentuk tindakan yang hampir serupa dengan data Komnas HAM. "Kasus demikian kita akui masih memprihatinkan. Ada sekitar 25 kasus bahkan bisa lebih ya dibanding data teman yang lain," ujar Awi.

Awi menyebut, marak aksi intoleransi keagamaan penyebabnya tidak tunggal. "Ada empat faktor yang dapat memicu konflik," ujar Awi.

Faktor pertama adalah perbedaan dalam memahami ajaran secara tekstual. Hal ini menghasilkan pengamalan yang berbeda dalam internal keagamaan. "Ada yang menganggap kelompoknya paling benar, menganggap yang lainnya sesat," imbuhnya.

Aksi-aksi penolakan terhadap pendirian rumah ibadah menjadi faktor yang kedua. Awi mengatakan permasalahan bangsa semacam itu bisa membuat NKRI goyah, sehingga sangat perlu dicermati.

Faktor ketiga adalah perbedaan adat istiadat. "Masih banyak pihak yang mencoba memanfaatkan kondisi ini. Kita perlu merapatkan barisan. Kita pahami lagi Pancasila," imbau Awi.

Selain itu, Awi tak malu menyebutkan bahwa aparat juga memiliki peran dalam memicu konflik. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi di antara petugas. "Masih adanya kegamangan aparat di lapangan. Kita tidak malu menyampaikan ini. Kapolri sudah memberi perintah, tapi ada perbedaan persepsi di lapangan," pungkasnya.

MELACAK AKAR KEKERASAN - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Imam Aziz menilai pemicu kasus intoleransi keagamaan memiliki akar yang melekat dengan konsep undang-undang. Meskipun pada konstitusi telah jelas jaminan untuk menjalankan agama, namun pada undang-undang justru menyesatkan pemahaman tentang pendefinisian agama.

Imam Aziz menegaskan, dalam undang-undang PNPS /1 Tahun 1965 soal definisi agama sangat kaku dan tidak mampu mengakomodir aliran kepercayaan lokal. Aziz menduga, itu juga menjadi penyebab suburnya sikap intoleransi keagamaan.

Dalam PNPS Tahun 1965 mendefinisikan agama punya Tuhan, Nabi dan Kitab Suci. UU tersebut mengekslusi selain aliran yang tidak memiliki ketiga itu dan anggap sebagai aliran kepercayaan. Pendefisian itu, menurutnya hasil pemahaman yang sempit sehingga menjadi akar kekerasan yang terejawentah dalam sikap intoleransi.

"UU itu sudah tidak relevan lagi, mesti diubah. Undang-undang PNPS 1965 sudah membuat bangsa ini terpecah," ungkap Imam Aziz kepada wartawan. UU tersebut menyisakan kesan ada agama yang diakui pemerintah (resmi) dan tidak diakui (non resmi).

Dia menekankan, ketika ada aturan soal yang mengatur wilayah agama seharusnya tidak masuk ke dalam definisi itu. Sebaiknya diatur pada batas etika sosial, sehingga semua kepercayaan juga dapat diakomodir dan nondiskrinatif. "Aturannya pada level etik sosial saja. Sementara Pemerintah tetap melindungi pemeluk agama," terangnya.

Selain Imam Aziz, Engkus Ruswana dari Penghayat Kepercayaan juga menilai pemerintah seperti mengalami kegamangan menindak kasus-kasus intoleransi keagamaan. Kegamangan itu menjadi justifikasi bagi publik untuk mengulangi kasus-kasus serupa karena mendapat pembenaran.

"Seperti yang terjadi di Bandung. Ini menjadi gamang pemerintah menindak yang telah jelas melanggar. Akhirnya ini semakin meluas," ungkap Engkus kepada gresnews.com. Engkus menambahkan, tidak sikap tegas pada pelanggaran ketika dilakukan oleh agama yang mayoritas.

Selain pada lemahnya penindakan hukum terhadap kekerasan dalam nuansa agama, Engkus juga menilai ada pembiaran pemerintah terhadap organisasi transnasional yang mencoba merongrong ideologi pancasila agar diganti dengan sistem kekhalifahan.

Sementara agama lokal yang telah jelas berdiri dengan ideologi pancasila kemudian diabaikan. Menurutnya agama lokal yang lahir dari pancasila malah tidak mendapat tempat dalam kebijakan pemerintah soal keagamaan. "Pemerintah gamang juga soal agama lokal ini. Satu sisi tidak boleh mati tapi disisi lain ada anggapan kalau berkembang besar justru membahayakan," tutupnya.

Awi Setiyono sendiri mengaku aparat penegak hukum (Kepolisian) telah berupaya maksimal untuk menekan kasus intoleransi dengan mengedepanlan dialog untuk menyelesaikan konflik kekerasan itu. Meski demikian, Awi berharap semua elemen dapat berkontribusi dalam menyelesaikan masalah kekerasan keagamaan. "Memang ada kegamangan pihak kita di lapangan, makanya perlu dukungan dari seluruh stokeholder masyarakat untuk mereduksinya," pungkas Awi.

BACA JUGA: