JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ancaman kebakaran hutan dan lahan kembali menghantui Indonesia khususnya di wilayah Kalimantan dan Sumatera. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan, dalam sepekan terakhir ini titik panas (hotspot) di Kalimantan Barat meningkat secara signifikan. Satelis milik NASA mendeteksi sejumlah 158 hotspot di Kalimantan Barat dari sebelumnya 106 titik.

Sementara itu berdasarkan hasil pantauan satelit yang dirilis BMKG Pekanbaru, Kamis (18/8), hotspot terpantau di Sumatera sebanyak 82 titik. Dari jumlah itu, Riau yang terbanyak yakni 43 titik hotspot dengan confidence 50 persen. Udara di Riau pun berangsur memburuk dengan munculnya kabut asap. Di Dumai, misalnya, mulai dikepung asap tipis imbas dari kebakaran lahan. Jarak pandang yang biasanya 10 kilometer, kini menurun menjadi 5 kilometer.

Pemerintah daerah pun bersiaga mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Gubernur Kalimantan Barat Cornelius telah menetapkan siaga darurat kebakaran hutan dan lahan. Untuk mengatasi hotspot kebakaran hutan dan lahan yang meluas, gubernur juga telah mengajukan surat permintaan bantuan kepada BNPB agar mengerahkan helikopter water bombing, hujan buatan, dan helikopter patroli

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, BNPB telah menyiapkan dua helikopter water bombing, perizinan terbang ke Kementerian Perhubungan juga masih diproses. Sementara BPPT juga telah menyiapkan pesawat terbang Casa milik TNI AU dan bahan semai untuk hujan buatan. Diperkirakan hujan buatan dapat dilakukan minggu depan.

Terkait masalah ini, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia menilai, kasus kebakaran hutan di Indonesia akan cenderung berulang. Direktur Eksekutif Walhi Riau Riko Kurniawan mengatakan, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selain karena wilayahnya rawan menimbulkan titik api seperti di lahan gambut yang kering, juga karena buruknya tata kelola sumber daya alam hutan dan lahan,

"Pemerintah harus memiliki program yang jelas, agar kebakaran hutan bisa diatasi, bukan hanya melakukan pemadaman api saja, maka mesti ada langkah secara khusus," kata Riko, kepada gresnews.com, Minggu (21/8).

Riko juga menjelaskan, momentum kebakaran hutan yang disebabkan musim panas, kerap sekali dimanfaatkan oleh pihak perusahaan perkebunan, khususnya sawit, untuk melakukan pembebasan lahan dengan cara sengaja membakar hutan dan lahan. "Kita melihat masih adanya perusahaan nakal yang kerap melakukan pembebasan lahan dengan menggunakan pembakaran dengan alasan hutan terbakar karena adanya titik panas," jelasnya.

Kurangnya pengawasan aparat hukum dalam memantau lahan-lahan yang kerap berpotensi menimbulkan kebakaran dan penyalahgunaan oleh perusahaan, membuat kasus kebakaran hutan tak pernah bisa dituntaskan. "Jangan mengawasi saat terjadinya kebakaran saja, tetapi ketika tidak ada kabut asap, pemda dan aparat terkait diam saja," paparnya.

Selain itu, Riko mengungkapkan, kasus kebakaran hutan dan lahan juga dicurigai sebagai ajang bancakan proyek oknum-oknum terkait untuk mendapatkan uang karena besarnya dana yang digelontorkan pemerintah. "Misalnya informasi yang kita dapat, dana yang dikeluarkan pemerintah pada September 2015 lalu mencapai Rp385 miliar. Kemudian BNPB meminta dana tambahan sebesar Rp700 miliar dari Kementerian Keuangan," tegasnya.

Menurutnya, dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga harus memantau dana pemadaman api agar tidak terjadi penyelewengan. "KPK harus mengawasi dana pemadaman api, jangan sampai ada pihak atau oknum melakukan korupsi," imbuhnya.

Selain itu, dia menyesalkan sikap Polda Riau yang telah melakukan penghentian penyidikan (SP3) terhadap beberapa perusahaan yang diduga telah melanggar hukum terkait pembakaran lahan gambut atau hutan. "Apapun alasan polisi memberikan SP3 terhadap perusahaan yang melanggar hukum, patut dipertanyakan, karena dampaknya perusahaan lainnya yang melakukan pembakaran tidak ada efek jera," ucapnya.

Atas dasar itu, maka Walhi melihat pihak aparatur hukum yang memberikan SP3 terkesan tidak mematuhi peraturan yang sudah dibuat pemerintah. Dan seperti kurangnya koordinasi antara Presiden Jokowi dengan bawahannya. "Kita melihat seolah-olah dengan adanya SP3 bukti aparatur hukum sudah mengabaikan perintah Presiden Jokowi," pungkasnya.

TERKAIT PILKADA - Sementara itu, momentum politik seperti pemilihan kepala daerah juga kerap menjadi pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) yang juga pengajar Manajemen Kehutanan Institut Teknologi Bandung (ITB) Herry Purnomo menemukan ada kaitan antara pergelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sumatera dan Kalimantan dengan kebakaran lahan gambut.

Sumatera, Kalimantan, dan Papua adalah pulau-pulau dengan lahan gambut terluas di Indonesia. Tapi lahan gambut di Papua belum banyak dibudidayakan untuk pertanian. "Berdasarkan data 15 tahun terakhir, kami menemukan ada koneksi yang kuat antara pilkada di Sumatera dan Kalimantan dengan hotspot (titik api)," kata Herry, Kamis (18/8).

Menurut data CIFOR, kebakaran lahan gambut relatif sedikit sebelum adanya pilkada langsung. Antara tahun 2000 sampai 2002, jumlah titik api masih di bawah 5.000. Titik api mulai melonjak hingga kisaran 10.000 pada 2003, lalu tahun 2004 naik sampai hampir 20.000 titik. Kenaikan ini berdekatan dengan musim pilkada pada 2005.

Sampai 2004, belum ada pilkada di Sumatera dan Kalimantan. Pada 2005, jumlah kebakaran lahan sedikit menurun ke kisaran 15.000 titik api, dan pada 2006 kembali memuncak hingga hampir 30.000 titik api.

Kebakaran hutan berangsur menurun pada 2007-2008 seiring berakhirnya musim pilkada. Lalu musim pilkada kembali tiba pada 2010, kebakaran pun melonjak hingga hampir 20.000 titik api pada 2009. Lalu kembali menurun pada 2010, stabil di kisaran 10.000 titik api pada 2011-2013, dan kembali naik pada 2014-2015 berbarengan dengan musim pilkada 2015. Pada 2014 muncul hampir 25.000 titik api, dan pada 2015 hampir 30.000 titik api.

Herry menjelaskan, fenomena ini terjadi karena adanya politik transaksional yang disebutnya dengan istilah ´politik lahan´. Oknum-oknum calon kepala daerah menjadikan lahan gambut sebagai modal untuk mendulang suara. Pihak-pihak yang mensponsori dijanjikan akan diberi lahan jika sang oknum calon kepala daerah berhasil menang.

"Bukan sesuatu yang aneh, politik lahan itu di mana-mana. Anda pilih saya, nanti saya kasih lahan, itu banyak. Kita jumpai fakta itu di lapangan," paparnya.

Lalu bagaimana oknum-oknum tersebut bisa menguasai lahan gambut secara ilegal dan memperjualbelikannya?

Herry menerangkan bahwa banyak lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan yang seolah tak bertuan. Lahan tak bertuan tersebut dibakar, dibabat habis oleh ´cukong lokal´, lalu dijual ke cukong yang lebih besar. Harga jualnya sekitar Rp5 juta per 2 hektare.

Dari situ, lahan gambut ditawarkan pada oknum anggota legislatif, oknum pejabat pemerintah, oknum penegak hukum, perusahaan, dan sebagainya. Di waktu-waktu yang dekat dengan pilkada, permintaan lahan gambut ilegal meningkat, otomatis kebakaran pun semakin besar.

"Kasus ini melibatkan cukong-cukong, banyak jejaringnya. Cukongnya bisa oknum pejabat lokal, oknum pemuda lokal, oknum petinggi partai politik yang menguasai ribuan hektare lahan gambut secara ilegal. Mereka ingin quick return dengan cara membakar. Mereka bisa beroperasi di hutan lindung seperti Tesso Nilo, Bukit Batabo," tutur Herry.

Setelah dikuasai oleh oknum-oknum ini, lahan gambut dijadikan perkebunan kelapa sawit. Pengelolaan perkebunan sawit di lahan yang dikuasai secara ilegal ini biasanya merusak lingkungan, tidak sesuai dengan prinsip sustainability. "Cara mengolah lahan ilegal itu seringnya juga ilegal. Sulit menemukan lahan ilegal dikelola dengan cara legal," terang Herry.

PENGAWASAN PEMPROV LEMAH - Secara terpisah, Ketua Umum Lembaga Masyarakat Tertinggi Adat Republik Indonesia (LEMTARI) Suhali Datuk Husein mengatakan, terjadinya kebakaran hutan itu kebanyakan pada areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau perusahaan tanam kayu akasia. Sementara sebagiannya lagi oleh perusahaan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

Datuk Suhali menyebutkan, hal itu terjadi disebabkan kurangnya pengawasan oleh pemerintah provinsi. Selain itu, lokasi kebakaran hutan dan lahan berada di desa-desa dan kecamatan.

"Sementara para petugas pemadam kebakaran tersebut rata-rata orang yang tinggal dan berdomisili di provinsi, kenapa mereka tidak melibatkan masyarakat desa dan kecamatan setempat?" kata Datuk Suhali, kepada gresnews.com.

Dia berpendapat, petugas pemadam kebakaran hutan dan lahan harus melibatkan masyarakat di desa dan kecamatan, karena bisa cepat bergerak dan lebih dekat ke lokasi. Pemerintah provinsi wajib membentuk tim anti kebakaran hutan dan lahan di setiap desa minimal 25 orang per desa.

"Jadi mereka diberikan honor per bulan, mereka juga diberi tanggung jawab tidak boleh ada api di desanya masing-masing," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: