JAKARTA, GRESNEWS.COM - Seribuan  petani Jambi dari empat kabupaten;  Batanghari, Muara Jambi, Sarolangun dan Tanjung Jabung Timur melakukan aksi jalan kaki dari Jambi ke Jakarta. Mereka mulai bergerak sejak tanggal 17 Maret 2016 lalu dan akan menempuh jarak 1.000 kilometer menuju Jakarta. Hingga Minggu (26/3) perjalanan mereka telah sampai di Desa Peninggalan Kecamatan Tungkal Jaya Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.  

Para petani itu longmarch untuk menagih janji Menteri Kehutanan (Menhut) terkait penyelesaian konflik agraria di Jambi. Warga yang terdiri dari petani, Suku Anak Dalam (SAD), bersama Serikat Tani Nasional (STN) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) ingin mendesak Kementerian Kehutanan menyelesaikan konflik agraria di Jambi.

Seribu petani itu mewakili para petani Jambi yang berkonflik tanah dengan para pengusaha. Di Jakarta rencananya mereka akan mendatangi sejumlah lokasi seperti Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, DPR RI, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, dan terakhir ke Istana Negara.

Pada 2013 lalu, sejumlah petani asal Jambi itu juga pernah menyuarakan aspirasinya di depan Kantor Kemenhut, dengan menggelar tenda bermalam selama 78 hari. Saat itu Kemenhut sempat mengeluarkan surat yang berisi janji akan menyelesaikan konflik mereka selama dua tahun. Namun tak kunjung tuntasnya penyelesaian itu mendorong para petani kembali menggelar aksi secara besar-besaran.

Aksi lanjutan ini mendesak Menhut mengembalikan lahan petani yang diserobot Hak Guna Usaha (HGU) oleh sejumlah perusahaan yang penetapannya dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Diantaranya konflik warga dengan oleh PT. Agro Mandiri Semesta(AMS).

Koordinator aksi Long March Joko Supriyadi Nata menjelaskan, selama ini penyelesaian yang dilakukan pihak Kementerian Kehutanan tidak tuntas karena tidak  melibatkan  tujuh rumpun suku SAD yang merupakan pemilik asli lahan seluas 3550 ha tersebut.

"Kita menilai Kementerian Kehutanan tidak komitmen dengan kebijakannya," kata Joko, Minggu (26/3) kepada gresnews.com.

Menurut Joko, konflik agraria di Jambi sudah terjadi sejak tahun 1980-an. Namun sampai sekarang belum ada skema penyelesaian oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi ribuan petani di Jambi.

"Penyelesaian konflik agraria belum ada yang tuntas dengan konsep berkeadilan," ujar Joko.

Atas dasar itu, Joko mendesak pemerintah untuk menyatakan "Darurat Agraria" dan segera membentuk Komite Nasional Penyelesaian Konflik Agraria mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960.

"Minta pemerintah menyatakan darurat agraria dan membentuk tim penyelesaian konflik agraria. Dan merealisasikan surat Menhut tanggal 30 Januari 2013," katanya.

Terkait masalah itu, Joko mengaku sudah melakukan audiensi ke Pemerintah Daerah. Namun wewenang penyelesaiannya tetap di tingkat kementerian. "Kita sudah audiensi dengan beberapa kepala daerah. Ada sebagian mengeluarkan rekomendasinya tapi kebijakannya tetap di tingkat Kementerian makanya kami kejar ke Jakarta ini," katanya.

Dalam rilisnya, petani yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945 (GNP UUD 1945) Pertama menuntut Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI merealisasikan SK Pencadangan HTR di Dusun Kunangan Jaya I dan II Kab Batanghari dan Mekar Jaya (Kab Sarolangun sesuai surat Menhut RI tanggal 30 Januari 2013, Surat usulan HTR Bupati Batanghari 10 Desember 2914, dan Bupati Sarolangun tanggal 22 Oktober 2014.

Kedua, menuntut Menteri KLH RI meninjau ulang SK penetapan Taman Nasional Berbak yang terindikasi penyerobotan tanah masyarakat. Ketiga menuntut menteri Agraria dan Tata Ruang mengembalikan tanah ulayat SAD seluas 3550 ha sesuai instruksi Gubernur Jambi Nomor: S.525.26/1403/SETDA.EKABANG-4.2/V/2013 tertanggal 7 Mei 2013.

SEGERA DISELESAIKAN - Menanggapi konflik agraria ini, anggota DPD asal Jambi Abu Bakar Jamalia berjanji akan berpihak kepada petani agar penyelesaian kasus agraria bisa terselesaikan. Apalagi sudah ada surat Menhut yang berjanji akan menyelesaikan konflik tersebut.

"Semestinya kita berpihak dan membantu masyarakat," kata Abu Bakar.

Abu Bakar juga berharap hak-hak petani berupa lahan yang dimilikinya tetap diselesaikan dengan prinsip keadilan dan sesuai ketentuan konstitusi. "Selama tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku kita akan berpihak kepada petani," ujarnya kepada gresnews.com. (Armidis Fahmi)

BACA JUGA: