JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kesepakatan mengenai perlindungan terhadap pekerja migran di kawasan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) masih menjadi tawar menawar yang alot. Sehingga secara regional saat ini belum ada penegakan aturan soal perlindungan kaum migran.  Akibatnya muncul banyak masalah ketenagakerjaan seperti upah rendah hingga masalah eksploitasi.

Kondisi ini mencemaskan kalangan pekerja migran asal Indonesia. Mengingat Indonesia termasuk negara penyumbang terbesar tenaga kerja di kawasan, seperti halnya di Malaysia yang mencapai 1,5 juta orang.

Dengan demikian, bagi Indonesia pembentukan konvensi menjadi kepentingan yang sangat mendasar, dengan harapan tenaga kerja di luar negeri mendapat jaminan perlindungan.

Pembentukan Konvensi Perlindungan buruh migran ini terakhir dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia pada 21-22 November lalu.

Direktur Mitra Wicara dan Antar Kawasan Kementerian Luar Negeri Derry Aman mengatakan Indonesia saat itu termasuk sebagai negara yang lantang menyerukan konvensi perlindungan guna menjamin keberadaan pekerja.

Menurutnya rencana inisiasi pembentukan konvensi buruh migran sudah cukup lama digaungkan sejak ASEAN Summit ke-12 di Cebu, Filipina pada tahun 2007. Salah satu klausul Deklarasi Cebu menegaskan komitmen perlindungan kondisi kerja, program pengembangan Sumber Daya Manusia, reintegrasi pekerja dengan negara asal, penanggulangan masalah penyelundupan atau perdagangan orang serta fasilitasi pertukaran data pekerja migran antar negara anggota.

Kerangka aturan ini dipandang penting karena pekerja migran merupakan salah satu profesi yang wajib dilindungi sesuai prinsip Hak Asasi Manusia internasional.

Derry mengatakan, konvensi perlindungan migrant workers masih dalam tahap negosiasi dan terus bergulir antar negara anggota ASEAN.

Terkait posisi Indonesia, Derry menyebut, pemerintah sangat concern, serius dan konsisten mendorong agar payung perlindungan migrant workers di kawasan segera terbentuk.

Adanya konvensi itu, menurutnya, merupakan suatu kemajuan karena menunjukan komitmen negara-negara ASEAN memberikan proteksi dan memajukan sektor ketenagakerjaan di kawasan.

"Ini masih dalam tahap negosiasi. Sudah cukup lama dan itu terus bergulir. Indonesia berharap cepat selesai tapi kan belum tentu sama dengan sikap negara lain," kata Derry ditemui gresnews.com, Kamis (11/2).

Dalam pembahasan dan negosiasi masih terus dirundingkan menyangkut prinsip umum, definisi, cakupan, hak dan kewajiban pekerja migran. Capaian pembahasan pembentukan konvensi sudah mencapai sekitar 80 persen.

Namun diakui, persoalannya belum bisa masuk tahap finalisasi karena ada perbedaan pandangan antar negara anggota. Kendala utama terletak pada perbedaan pandangan negara anggota dimana ada yang berkeinginan agar pemberlakuan konvensi bersifat mengikat (legal binding) sementara lainnya menolak terikat secara hukum.

Sejauh ini baru Indonesia dan Filipina yang telah sepakat mengenai prinsip pemberlakuan legal binding, sementara posisi negara lainnya belum setuju.

SEKTOR INFORMAL RENTAN  - Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Indonesia Rudi Daman menyebut, skema perlindungan migrant workers sangat penting bukannya di level ASEAN namun juga internasional.

Menurut data Jaringan Buruh Migran, saat ini kurang lebih ada 8 juta tenaga kerja migran Indonesia yang tersebar di seluruh negara.

Selama ini, diakui Rudy kelompok rentan pekerja migran mayoritas adalah pekerja sektor informal seperti Pekerja Rumah Tangga (PRT). Dari total tenaga kerja Indonesia yang ada di seluruh negara, ternyata komposisi PRT termasuk yang cukup besar yaitu hampir 80 persen.

"Masalah ketenagakerjaan yang mereka hadapi adalah masalah upah murah, eksploitasi dan overcharging biaya penempatan oleh agensi sebelum bekerja di luar negeri," kata Rudi, Jumat (12/2).

Atas dasar itu, konvensi perlindungan pekerja migran merupakan kerangka normatif yang sangat penting dan bermanfaat dalam menjamin sektor ketenagakerjaan.

BACA JUGA: