JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung dinilai masih memperlihatkan penegakan hukum yang pincang alias penegakan hukum lebih berlandaskan pada kepentingan-kepentingan lain di luar penegakan hukum. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, Kejagung sangat tajam dalam suatu kasus, namun di kasus lain terlihat tumpul.

Misalnya, dalam kasus dugaan pelanggaran pidana yang melibatkan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto di kasus "papa minta saham", Kejagung terlihat sigap. "Bahkan penyelidikannya seakan hendak mempertontonkan kepada publik soal ketegasan mereka," kata Boyamin kepada gresnews.com, Senin (21/12).

Namun di sisi lain, Kejagung terlihat tumpul seperti dalam kasus eksekusi uang pengganti kerugian negara sebesar Rp1,3 triliun dalam kasus Indosat. Padahal Mahkamah Agung telah menolak Peninjauan Kembali yang diajukan mantan Presiden Direktur PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto dalam kasus korupsi penggunaan frekuensi 2,1 GHz/3G.

Dalam kasus ini, Kejagung baru setengah jalan mengeksekusi putusan tersebut. Kejagung sudah memenjarakan Indar, tetapi tidak mengeksekusi uang pengganti sebesar Rp1,3 triliun.

Boyamin mengatakan, ketentuan mengenai eksekusi uang pengganti diatur dalam Pasal 18 UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Di situ disebutkan, setelah putusan berkekuatan hukum tetap, dalam waktu tiga puluh hari hukuman pengganti itu tidak dibayar, maka jaksa dapat melakukan penyitaan harta benda dari terpidana.

"Bahkan, jaksa dapat mengeksekusi setelah ada putusan kasasi tanpa menunggu PK," kata Boyamin.

Juru Bicara MA Suhadi pernah menegaskan jika PK itu adalah upaya hukum luar biasa. Dan upaya hukum luar biasa itu tidak menghalangi pelaksanaan putusan baik pidana maupun perdata.

Karena itu Boyamin mengkritik kebijakan Kejagung yang terkesan mengistimewakan Indosat. Padahal, perkara itu sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap), sejak putusan kasasi, 10 Juli 2014 sesuai nomor 787K/PID.SUS/2014.

Terakhir, bahkan putusan PK-nya sudah keluar dan permohonan PK Indar ditolak, sesuai nomor 77PK/Pidsus/2015 yang menguatkan putusan kasasi yang mengenakan denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan.

Boyamin menuding ada keistimewaan yang diberikan Kejaksaan Agung. "Perkara sekelas Asian Agri Group yang wajib bayar sanksi pajak Rp2,5 triliun bisa dieksekusi. Ini malah dikasih keistimewaan sampai harus menunggu PK dua kali," kata Boyamin.

Jaksa Agung Muhamad Prasetyo saat ditanya soal eksekusi putusan MA atas PK Indar Atmanto selalu berdalih masih menunggu putusan PK kedua. Padahal PK kedua Indar ini pun masih rencana. "Saya sudah berulang kali katakan, mereka mengajukan PK. Kita tunggu PK-nya," ujar Prasetyo beberapa waktu lalu.

Prasetyo menyampaikan pertimbangan kenapa pihaknya tidak buru-buru eksekusi. "Kita mesti tunggu, karena berkaitan dengan banyak orang itu. Kalian juga gunakan jasa mereka. Jadi ini yang kita jadikan bahan pertimbangan," katanya.

OPSI LAIN - Berkaca pada kasus Asian Agri, Kejaksaan Agung sejatinya bisa melakukan eksekusi uang pengganti IM2 sebesar Rp1,3 triliun. Landasan hukumnya jelas. Tinggal penerapan cara eksekusinya.

Dalam kasus Asian Agri, Kejaksaan Agung menerima usulan cara membayar dengan mencicil. Namun untuk kasus IM2, Jaksa Agung tak memiliki opsi bayar dicicil. "Pencicilan? Haha enggaklah kalau pencicilan," kata Prasetyo.

Prasetyo mengaku tidak akan menerapkan solusi seperti penyelesaian kasus AAG yang waktu itu juga terdapat kepentingan orang banyak, termasuk pertimbangaan karyawan yang terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kejaksaan tetap akan menunggu putusan PK kedua yang akan diajukan Indar.

Sikap Jaksa Agung ini bertolak belakang dengan Widyopramono ketika masih menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Saat itu Widyo jelas mengatakan akan segera melakukan eksekusi atas uang pengganti tersebut.

Salah satunya dengan cara melakukan penyitaan atas gedung Indosat. Widyo bahkan sudah melakukan pertemuan berulang kali dengan pihak Indosat namun upaya eksekusi itu mentok. Kini, entah kenapa, tiba-tiba langkah tersebut urung dilakukan dengan alasan Indar kembali mengajukan PK setelah MA menolak PK pertamanya.

AWAL KASUS KORUPSI IM2 - Kasus IM2 sendiri berawal saat Indar Atmanto sebagai Direktur Utama PT Indosat Mega Media (PT. IM2) menandatangani Perjanjian Kerjasama antara PT Indosat Tbk dan PT Indosat Mega Media (IM2). Perjanjian itu dilakukan tanggal tanggal 24 November 2006.

Lewat surat perjanjian bernomor Indosat : 225/E00-EAA/MKT/06 dan No. 0996/DU/MU/IMM/XI/06 itu, Indosat dan IM2 sepakat menyelenggarakan jasa layanan akses internet broadband 3G/HSDPA melalui jaringan pita spektrum frekuensi radio 2,1 Ghz milik PT Indosat, Tbk.

Dalam perjanjian dimaksud, IM2 menjual jasa layanan internet dengan nama Indosatm2 kepada pelanggan IM2 dengan menggunakan jaringan 3G/HSDPA milik Indosat. Dari jasa itu kedua pihak bersepakat dengan pembagian hasil 66% untuk Indosat dan 34% untuk IM2.

Selain melakukan kerjasama penggunaan jaringan 3G/HSDPA untuk layanan akses internet, PT Indosat, Tbk, dan PT IM2 juga melakukan perjanjian kerjasama pemanfaatan voucher isi ulang Indosat. Lewat perjanjian itu, voucher isi ulang milik Indosat digunakan pelanggan IM2 dan dipasarkan oleh IM2.

Keduanya juga sepakat dengan pembagian hasil 10% untuk Indosat dan 90% untuk IM2. Perjanjian itu dituangkan dalam surat perjanjian kerjasama No. Indosat No. 0693/DU/IMM/XII/08 tanggal 18 Desember 2008.

Dengan ditandatanganinya perjanjian kerjasama tersebut maka PT IM2 mendapatkan beberapa keuntungan diantaranya menjadi penyelenggara jaringan internet 3G. IM2 juga mendapat keuntungan dari memiliki data pelanggan pengguna jaringan 3G sendiri.

Penyidik berpendapat ada pelanggaran hukum dalam perjanjian ini. Ketentuan yang dilanggar diantaranya adalah Pasal 33 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.

Jaksa menilai IM2 engan tanpa hak menggunakan jaringan 3G dan 2 G yang diotorisasikan bagi PT Indosat. IM2 dinilai tidak punya hak karena tidak mengikuti proses pelelangan untuk memperoleh penetapan spektrum frekuensi radio pada pita frekuensi radio 2,1 GHz;

Apalagi dari perjanjian itu, pihak IM2 tidak membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio kepada pemerintah. Jaksa menilai, IM2 juga telah telah melanggar ketentuan Pasal 14 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.

Selain itu kedua pihak juga dinilai melanggar Pasal 4 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Penggunaan Pita Frekuensi Radio 2,1 GHz Untuk Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler.

Jaksa menilai, akibat perbuatan tersebut di atas mengakibatkan kerugian keuangan negara. Kerugian itu diantaranya timbul dari adanya Biaya Nilai Awal (Up Front Fee), Biaya Hak Penggunaan (BHP) Pita Spektrum Radio Tahunan, dan Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation/USO).

Atas dasar itulah kemudian jaksa menuntut Indar Atmanto. Kasus ini kemudian terus bergulir hingga ke tingkat Peninjauan Kembali dan MA menolak PK Indar. Indar tetap dinyatakan terbukti bersalah. Karenanya eksekusi harus dilakukan.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir mengatakan, dengan ditolaknya PK Indar tersebut Kejaksaan Agung harus menjalankan putusan MA melakukan eksekusi badan dan lainnya. "Tidak ada alasan lain, sudah punya kekuatan hukum, harus dieksekusi," kata Muzakkir kepada gresnews.com.

Muzakkir berharap Kejaksaan Agung tak ragu untuk mengambil langkah tegas atas putusan MA tersebut. Eksekusi uang pengganti harus dilakukan demi penegakan hukum.

BACA JUGA: