JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Menyusul fenomena matinya ribuan ikan di pantai Ancol Jakarta Utara beberapa hari terakhir. Mendorong Wahana Lingkungan Hidup Indonesia  (Walhi) Jakarta menggelar survei ke beberapa RS di Jakarta. Walhi ingin mamastikan  sejumlah rumah sakit tidak membuang limbah, terutama limbah Padat B3 infektius secara sembarangan. Sekaligus melihat pengelolaan limbah rumah sakitnya secara benar.

Menurut Puput TD Putra Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, pengelolaan limbah padat B3 sangat penting dipelajari mengingat di lapangan banyak dijumpai limbah padat yang beralih menjadi alat permainan anak-anak  atau diolah menjadi barang baru. Padahal sampah medis itu harus diperiksa kadar racunnya agar tidak berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat.

Walhi Jakarta mengkhawatirkan percampuran limbah medis dan non medis dan kemudian dibuang ke TPA akan mencemari lingkungan dan membahayakan manusia.

"Pembuangan limbah medis ke TPA, seperti botol infus, jarum suntik berbahaya karena bagi pemulung plastik limbah medis dianggap bisa didaur ulang," kata Putra kepada gresnews.com , Selasa (8/12/15).

Sementara itu,  limbah infeksius, yang terdiri atas exkreta, spesimen laboratorium bekas balutan, jaringan busuk dan lain-lain. Limbah tajam, yang terdiri atas pecahan peralatan gelas seperti thermometer, jarum bekas dan alat suntik, limbah plastik, bekas kemasan obat dan barang, cairan infus, spuit sekali pakai/disposable perlak. Jenis-jenis limbah ini tidak dapat dibuang langsung ke TPA.

"Pemusnahan sampah dengan membakar bukanlah solusi yang tepat, bahkan sangat membahayakan kelangsungan kehidupan," ujarnya.

Putra menilai banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh incinerasi sampah dibandingkan manfaat yang dihasilkannya. Secara kasat mata, volume reduksi yang dihasilkannya sangat menjanjikan, namun secara tidak kasat mata dan dapat dibuktikan secara kimiawi, hasil incinerasi menimbulkan banyak senyawa kimia sangat beracun.

Hasil emisi yang paling berbahaya pada pembakaran sampah heterogen ialah terbentuknya senyawa dioksin dan furan, sekelompok bahan kimia yang tidak berwarna dan tidak berbau. Dalam molekulnya mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen dan klor.

"Pembakaran mengeluarkan gas metan yang sangat berbahaya, mempengaruhi kualitas hujan (hujan asam)," jelasnya .

Selain itu, Putra mengungkapkan ketentuan WHO, beberapa jenis limbah rumah sakit dapat membawa risiko yang lebih besar terhadap kesehatan, yaitu limbah infeksius 1 persen hingga 25 persen) dari jumlah limbah rumah sakit. Diantara limbah-limbah ini adalah limbah benda tajam 1 persen limbah bagian tubuh 1 persen limbah obat-obatan dan kimiawi 3 persen limbah radioaktif dan racun atau termometer rusak  1 persen.

" Dari pantauan kami rata-rata Rumah sakit menghasilkan 140 kg – 400 kg sampah medis perhari. Sampah medis tersebut kemudian diangkut oleh Pihak Ketiga ke tempat pengolahan Akhir. Pengelolaan limbah B3 Medis kepada Pihak ketiga dikaitkan dengan Biaya, Efesiensi Waktu dan Efektivitas Sumberdaya," ucapnya.

Sementara itu, pemerhati lingkungan ini menyebutkan, mengelola limbah sendiri memiliki resiko lain yaitu sisa sampah (abu dan lain-lain) serta uji emisi dari pembakaran (incinerator) yang masih harus dipikirkan.

Selama ini prosedur dan persyaratan pengelolaan medis B3 padat, limbah medis B3 dibuang terpisah sesuai dengan ketetapan pemerintah melalui  KemenKes No. 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.

Beberapa hal yang menjadi catatan dari survei ini adalah: Pertama, pemerintah perlu mengkaji ulang pengelolaan Limbah B3 Medis kepada pihak ketiga. Opsi yang perlu dilakukan adalah RS melakukan pengelolaan sendiri Limbah medis dengan peralatan yang mampu mengurangi efek lanjutan (asap).

Kedua, para stake holder perlu duduk untuk bersama dan memikirkan cara yang efektif agar limbah medis B3 dikelola dengan benar dan tidak diselewengkan oleh pihak ketiga.

Ketiga , perlunya pengawasan lebih intensif dari pihak terkait agar pengelolaan limbah B3 Medis semakin tertata dengan rapi.

Keempat, standarisasi dan sertifikasi pengelola limbah harus diuji dan dikontrol (pengawasan dan pengendalian terhadap kepatuhan peraturan.

Beberapa pekan terakhir warga Jakarta dihebohkan dengan kematian ribuan ikan di pantai utara Jakarta, pada Senin(30/11) lalu.  Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan ( DKPKP) DKI Jakarta belum bisa memastikan penyebab kematian ikan di sekitar kawasan Ancol, Jakarta Utara itu.

TIGA SEBAB - Kepala DKPKP DKI Jakarta mengatakan, sementara ini menurutnya ada tiga kemungkinan ikan-ikan di pantai Ancol itu mati. Namun pihaknya belum bisa memastikan penyebab kematian ikan -ikan itu.

"Kami melihat ada tiga faktor kemungkinan yang membuat ikan-ikan itu mati," kata Kepala DKPKP DKI Darjamuni di Jakarta, Rabu (2/13/15).

Kemungkinan penyebab pertama yakni, perubahan iklim yang terjadi secara ekstrem, mengakibatkan perubahan suhu yang cukup  dratis antara air di bagian permukaan dengan air yang ada di dasar laut .

"Kalau untuk beberapa hari ini kan memang sempat terjadi hujan deras , membuat suhu di permukaan dan di dasar laut ikut berubah suhu sehingga zat-zat  berbahaya di dasar laut naik ke atas, ikan pun mati karena menelan zat beracun  itu," jelasnya.

Sedang  kemungkinan kedua, terjadinya pertumbuhan alga yang cukup banyak sehingga ikan-ikan harus berebut oksigen dengan alga. Atau kemungkinan ketiga yaitu, terjadinya pencemaran air laut , sehingga ikan-ikan mati akibat air laut tercemar. "Tapi kita masih harus melakukan penelitian lebih dulu agar tahu pasti penyebab kematian ikan-ikan di kawasan Ancol, Jakarta Utara," jelas Darjamuni.

Ia menambahkan, pihaknya  saat ini masih melakukan penelitian kematian ikan-ikan itu, dengan melibatkan berbagai pihak, seperti, Institute Pertanian Bogor ( IPB) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Dari pihak IPB dan Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah turun ke lapangan. Kami menunggu dalam dua sampai tiga hari ini, untuk memastikan penyebab kematian Ikan," katanya.

Penyebab matinya jutaan ikan di pantai Ancol sempat menjadi perdebatan dalam beberapa hari terakhir. Mulai dari perubahan iklim, hingga ledakan populasi algae atau ganggang yang diperkirakan menjadi penyebab fenomena ini.

Namun Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut penyebab kematian ikan-ikan itu karena terjadinya ledakan populasi fitoplankton jenis Coscinodiscus spp. Jumlah dari fitoplankton yang terlalu banyak membuat kadar oksigen terlarut air menurun.

Coscinodiscus spp sebenarnya bukan lah jenis fitoplankton yang berbahaya. Namun karena jumlahnya yang banyak, mereka juga membutuhkan jumlah oksigen banyak sehingga kadar oksigen terlarut menipis.

Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap sampel air laut yang diambil di 7 titik sampling, diketahui jika kadar oksigen yang tersedia di air hanya 0,765 ml/L atau 1,094 mg/L. Padahal seharusnya, dalam keadaan normal kadar oksigen terlarut dalam air mencapai 4 mg/L hingga 5 mg/L.

Temuan ini sejalan dengan kesaksian para pekerja di pantai Karnaval Ancol dan karyawan PT Jaya Ancol yang mengawasi kondisi perairan. Ketika diwawancarai, mereka mengatakan jika pada Sabtu (28/11) dan Minggu (29/11) terjadi perubahan warna air menjadi lebih gelap dan banyak bintik-bintik hitam.

Mereka juga menyatakan jika kepiting dan ikan mulai mabuk pada Minggu hingga Senin (30/11) pagi. Puncaknya terjadi kematian massal pada siang harinya. (Agus Irawan)


BACA JUGA: