JAKARTA-GRESNEWS.COM - Satu tahun terakhir, Perkumpulan HuMa Indonesia beserta mitra-mitranya telah melakukan uji legal dan sosial penetapan hutan adat di 13 lokasi di Indonesia. Hasilnya, uji legal mengidentifikasi beberapa kelompok masyarakat hukum adat yang telah diakui keberadaan hukumnya melalui Peraturan Daerah dan/atau Surat Keputusan Kepala Daerah.

Lokasi-lokasi riset identifikasi wilayah/hutan adat yang dilakukan HuMa meliputi daerah Mukim Lango, Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Beungga, Pidie di Nanggroe Aceh Darussalam, Marga Serampas di Kabupaten Merangin di Jambi, dan Marga Suku IX di Kabupaten Lebong di Bengkulu.

Selain itu riset serupa juga dilakukan di Nagari Guguak Malalo, Kabupaten Tanah Datar dan Nagari Simpang, Kabupaten Pasaman di Sumatera Barat, serta Suku Taa Wana di Morowali di Sulawesi Tengah.

Seperti diketahui, penetapan hutan adat tergantung pada subyek pemegang haknya, yakni masyarakat hukum adat. Penetapannya dilakukan berdasar Peraturan Daerah dan/atau Surat Keputusan Kepala Daerah.

Contohnya Perda Kabupaten Morowali No. 13 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Tau Taa Wana atau SK Bupati Luwu Utara No. 300 tahun 2004 tentang Keberadaan Masyarakat Adat Seko.

"Di beberapa tempat di antaranya bahkan telah mengakui secara jelas mengenai keberadaan hutan adat, macam di Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci, di Jambi," ujar Widiyanto, Peneliti Perkumpulan HuMa Indonesia di acara Dialog Nasional Penetapan Hutan Adat Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat di Setiabudi, Jakarta, Rabu, (1/10).

Selain itu masyarakat hukum adat yang didorong penetapan subyek dan wilayah adat termasuk hutannya diantaranya Kasepuhan Karang di Kabupaten Lebak Banten, Tapang Sambas Kabupaten Sekadau dan Ketemenggungan Siyai di Kalimantan Barat.

Ada juga  Masyarakat Kampong Muluy, Kabupaten Paser di Kalimantan Timur, Amatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba dan Masyarakat Adat Seko di Kabupaten Luwu Utara di Sulawesi Selatan, dan To Marena di Kabupaten Sigi.

Putusan MK 35 tahun 2012 dan hasil temuan ini, menurut Widiyanto, menjadi sebuah oase sekaligus sebagai pintu utama untuk memulihkan kembali hak masyarakat adat dan wilayah hutannya. "Namun, mengingat Putusan MK 35 bersifat lintas-sektor dan lintas level pemerintahan, sinergi peran antara pemerintah, pemda dan masyarakat hukum adat perlu ditingkatkan untuk menata dan menginventarisasi kembali hutan adat yang terpisah dari hutan negara," ujarnya.

Dengan menjalankan sinergi tersebut, menurut dia, Putusan MK 35 tahun 2012 memiliki makna berarti di lapangan dan tidak hanya sebatas norma teks yang tertulis.

Sementara itu, menurut  Nurul Firmansyah, Koordinator Program Perkumpulan HuMa Indonesia, legalitas hukum yang menetapkan kepastian hak-hak konstitusional masyarakat adat atas wilayahnya sangatlah penting demi menjamin kesejahtteraan masyarakat adat.

Namun, sayangnya, lebih dari setahun Putusan MK 35/2012 telah hingga kini putusan tersebut belum terimplementasi dengan baik. "Padahal Putusan itu merupakan bentuk koreksi atas proses negaraisasi hutan adat yang telah berlangsung puluhan tahun yang menyebabkan pelanggaran hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat atas wilayah atau hutan adatnya," ujar Nurul.

BACA JUGA: