JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Pemerintah Joko Widodo memberlakukan hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak memicu pro dan kontra. Sanksi keras yang diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap predator anak itu dinilai sebagian pihak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan koalisi yang terdiri dari 35 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  di bidang HAM melayangkan surat terbuka menolak pemberlakuan hukuman kebiri tersebut.

Peneliti Institute Comitte for Justice Reform (ICJR), Anggara, mengatakan mendukung langkah pemerintah membenahi legislasi dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak, khususnya untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak. Hanya saja pihaknya tidak setuju pemerintah memberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Pasalnya, hukuman kebiri terhadap manusia itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang telah dijamin oleh konstitusi.

"Hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem hukum pidana nasional kita," kata Anggara dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jum’at (30/10).

Menurutnya hukuman kebiri bertentangan dengan konvensi internasional yang telah diratifikasi dalam hukum nasional, diantaranya Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan juga Konvensi Hak Anak (CRC). "Penghukuman badan dalam bentuk apapun harus dimaknai sebagai bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia. Apalagi jika ditujukan untuk pembalasan dengan alasan utama efek jera yang diragukan secara ilmiah," tegasnya.

Menurutnya, hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak tidak dapat menjamin kasus kekerasan terhadap anak akan menurun. Sebab, logika memberikan efek jera atau hukuman berat pada pelaku kejahatan seksual itu sudah ternegasikan ketika pemerintah merevisi UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU Nomor 35 tahun 2014 beberapa waktu lalu. Seperti diketahui, salah satu tujuan revisi Undang-Undang tersebut adalah untuk mengurangi angka kejahatan terhadap anak dengan cara memberikan hukuman yang berat bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

"Data pemerintah termasuk KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) setelah direvisi dan diperberat hukumannya, ternyata tidak menurunkan ancaman kejahatan seksual terhadap anak," katanya menambahkan. 

Selain itu, kata Anggara, seluruh koalisi sipil pegiat HAM yang terdiri dari, ICJR, Elsam, Kontras, LBH Jakarta, LBH Pers, Mappi FH UI, CDS, HRWG, PKBI, Koalisi Perempuan Indonesia, YLBHI, PSHK, LeIP, IPPAI, ECPAT Indonesia, LBH APIK Jakarta, Imparsial, SCN-CREST, KePPaK Perempuan, PULIH, IPPI, Sapa Indonesia, Superlima, YPA, Institute Perempuan, CWGI, Magenta, YPHA, Kalyanamitra, Rumpun Gema Perempuan, Perhimpunan Rahima, Aliansi Satu Visi, dan Perempuan Mahardika, telah melayangkan surat terbuka kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai bentuk kecaman atas pengguliran isu hukuman kebiri yang dianggap telah keluar dari asas hak asasi manusia.

Dalam surat terbuka itu, KPAI diminta untuk tidak melihat kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan pendekatan hukum pidana semata. Melainkan perlu ada pendekatan multi dimensi yang justru sangat diperlukan untuk mengatasi kekerasan terhadap anak. Sebagai lembaga yang konsen terhadap persoalan anak, KPAI selaku National Human Rights Institution (NHRI) diminta untuk memperhatikan berbagai perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi dalam perundangan-undangan dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

KPAI TANTANG KOALISI HAM – Menanggapi surat terbuka dan pernyataan Koalisi Sipil Pegiat HAM itu, Kepala Divisi Sosial Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda menantang koalisi para pegiat HAM itu untuk berdebat soal definisi HAM yang sebenarnya.
Menurut Erlinda, hukuman kebiri yang digagas oleh pemerintah dan KPAI bukanlah hukuman yang malanggar hak asasi manusia. Setiap pelaku tindak kejahatan baik kejahatan umum atau kejahatan seksual khususnya terhadap anak memiliki konsekuensi sebagian hak-haknya dirampas oleh negara sebagai bentuk hukuman yang harus diemban para pelaku kejahatan.

"Jadi HAM yang mana yang mereka maksud?" kata Erlinda kepada gresnews.com melalui sambungan seluler, Sabtu (31/10).

Ia menambahkan, seharusnya para pegiat HAM itu juga harus memikirkan bagaimana hak-hak korban yang dirampas secara paksa oleh para predator anak yang saat ini berkeliaran di tengah-tengah masyarakat. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, menurut Erlinda, bisa dikatakan sudah tidak memiliki harapan untuk hidup ketika menjadi korban kekerasan seksual dari para predator anak tersebut.

Sehingga, ia menilai, hukuman kebiri adalah sebuah hukuman tambahan yang saat ini tengah dipersiapkan oleh pemerintah guna mengurangi kejahatan predator yang setiap saat menghantui anak-anak Indonesia.

Anak yang menjadi korban kekerasan seksual, kata dia,  memiliki traumatik yang berkepanjangan, secara psikologis kekerasan yang dialaminya akan terus teringat dan menghantui korban seumur hidupnya. Belum lagi dampak yang ditimbulkan atas perlakuan kekerasan yang dialami korban, khususnya bagi korban pedofil.

"Kalau korban itu tidak selesai betul rehabilitasi atau pendampingannya, kemungkinan korban bisa jadi pelaku lagi nantinya. Apakah para pegiat HAM itu pernah berfikir betapa sadisnya para pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang bisa menyebabkan korban gila, bahkan bunuh diri atas apa yang dialaminya? Lalu mau bicara soal HAM nya siapa?” tegasnya.

Erlinda manambahkan, anak-anak korban kekerasan seksual juga mempunyai hak asasi manusia yang harus dilindungi. Terkait dengan hukuman kebiri, menurut Erlinda adalah salah satu bentuk perlindungan hak asasi manusia bagi para korban.

Menanggapi, pandangan para pegiat HAM yang menyatakan revisi undang-undang perlindungan anak tahun 2002 menjadi UU No. 35 tahun 2014 bertujuan untuk memberikan hukuman yang berat pada pelaku tidak berdampak banyak pada turunnya jumlah kejahatan terhadap anak. Erlinda menilai, pada prakteknya penegakan hukum di lapangan masih tidak memberikan efek jera bagi para pelaku.

Ia membenarkan revisi UU No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU No.35 tahun 2014 sebagai salah satu upaya pemberatan hukuman terhadap para pelaku kejahatan terhadap anak. "Setelah revisi ada juga memang yang dihukum di atas lima tahun, tapi itu sangat sedikit sekali. Lebih banyak dibawah itu. Makanya kita berharap dengan hukuman tambahan kebiri ini benar-benar dapat memberikan efek jera bagi pelaku," ujarnya.

Menurutnya, ia menghormati perbedaan pandangan terkait dengan rencana penerapan hukum kebiri terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak. Hanya saja, ia menyayangkan langkah para pegiat HAM yang terkesan menyudutkan lembaganya.

Ia berharap para lembaga pegiat HAM dapat sadar dengan kondisi yang saat ini tengah dialami anak-anak Indonesia. Sebab, pencanangan status darurat anak oleh pemerintah bukanlah status yang mengada-ada. Sehingga ia berharap para pegiat HAM itu dapat bergandengan tangan dengan KPAI, dan pihak lain guna mengatasi persoalan kejahatan anak yang saat ini di depan mata.  

"Mau ikut jalan klaim atas nama HAM dengan membiarkan anak terancam kejahatan dengan melindungi pelaku kejahatan terhadap anak, atau bersama elemen masyarakat dan negara memberi perlindungan anak dengan menghukum berat pelaku kejahatan,” ujarnya.

PUNCAK KEPRIHATINAN – Erlinda memaparkan pemberlakuan hukuman kebiri adalah puncak keprihatinan negara melihat kejahatan seksual khususnya terhadap anak yang saat ini sudah mendominasi dibandingkan kejahatan kriminal lainnya, seperti curanmor, pencurian, dan lain sebagainya. Itu artinya, situasi hari ini masyarakat sedang dihadapkan dengan status darurat kejahatan seksual. Dengan demikian, Erlinda menilai sangat wajar ketika pemerintah berencana menerapkan hukuman tambahan itu guna memberikan efek jera bagi para pelaku tindak kejahatan.

Rencana pemerintah menjalankan hukuman kebiri juga dilakukan karena melihat situasi darurat kekerasan anak saat ini. KPAI mencatat, sepanjang tahun 2014, ada sekitar 2962 kasus kekerasan terhadap anak, jumlah itu naik 100 persen dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2015 ini, menurut Erlinda juga relatif meningkat. "Sampai hari ini saja, terakhir kita mencatat sekitar 1500 lebih kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi. Itu artinya status darurat kekerasan anak itu bukan main-main," tegasnya.

Sementara, penerapan hukuman bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak selama ini kerap kali berbanding terbalik dengan jumlah kejahatan dan semangat penegakan keadilan itu sendiri. Menurut Erlinda, rata-rata hukuman para pelaku kejahatan atau kekerasan seksual terhadap anak hanya sekitar satu sampai tiga tahun kurungan penjara. "Bahkan ada juga yang di bawah itu," tambahnya.

Wanita yang sudah 20 tahun bergelut dalam pengawasan anak itu mengatakan, sejauh ini persiapan Perppu hukuman tambahan bagi pelaku tindak kejahatan kekerasan terhadap anak itu, masih dalam tahap kajian teknis, termasuk menentukan seperti apa implementasi hukuman kebirinya, dan siapa yang akan melakukan implementasi hukuman kebiri itu.

Sebab, Kementerian Sosial lah yang akan mengimplementasikan hukuman kebiri tersebut. "Tapi sejauh ini semua masih terus dalam pengkajian, termasuk pengkajian dampak yang ditimbulkan dari hukuman tersebut. Saat ini masih digodok baik landasan yuridis maupun teknisnya," katanya menjelaskan.

Ia mengaku optimis, pemerintah akan menerapkan hukuman tambahan kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pasalnya, sejauh ini bisa dikatakan 70 persen baik pemerintah maupun DPR RI sudah mendukung rencana pelaksanaan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan kekerasan terhadap anak. Karena urgensi sebenarnya dari hukuman tambahan ini adalah kita ingin menyelamatkan anak-anak Indonesia dan hukuman tambahan ini sebagai bentuk pelaknatan atas kejahatan kekerasan seksual yang tiap tahun terus mengalami peningkatan. "Jadi urgensinya itu yang harus dicatat dan diperhatikan," tegasnya. (Rifki Arsilan)

BACA JUGA: