JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peraturan No 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) dinilai luput menyasar penyandang disabilitas. Aturan PBI itu selama ini ternyata hanya menyasar golongan miskin sebagai  pihak yang berhak menerima bantuan pembayaran iuran jaminan kesehatan dari pemerintah. Para penyandang disabilitas justru termarginalisasi lantaran disetarakan dengan masyarakat penerima jaminan pada umumnya.

Dalam peraturan tersebut, PBI Jaminan Kesehatan ditujukan untuk fakir miskin dan orang tidak mampu. Fakir miskin, didefinisikan sebagai orang yang sama sekali tidak mempunyai mata pencaharian atau mempunyai mata pencaharian tapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi dirinya dan keluarganya. Sedangkan golongan orang tidak mampu, adalah orang yang mempunyai sumber pendapatan, gaji atau upah, namun hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak, tetapi tidak mampu membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya.

Menurut Ketua Lembaga Advokasi dan Perlindungan Penyandang Cacat Indonesia (LAPCI) Heppy Sebayang, selama ini terdapat banyak kasus penyandang disabilitass yang belum sepenuhnya tercover program jaminan kesehatan, baik nasional (JKN) maupun daerah (Jamkesda). "Walaupun pemerintah sering mewacanakan, namun kebijakan itu belum memprioritaskan kepada kelompok disabilitas," katanya kepada gresnews.com, Selasa (27/7).

Penyandang disabilitas selama ini masih disamaratakan dengan masyarakat umumnya. Hal inilah yang mengganjal, sebab katagori miskin dan tak mampu masih dimungkinkan mencari nafkah atau minimal dapat mengakses layanan kesehatan karena tak ada keterbatasan fisik. Namun, pada penyandang disabilitas, harus terdapat perlindungan lebih agar mereka dapat tersentuh program tersebut.

Hal ini lantaran meski dikategorikan tidak miskin, misalnya dengan pendapatan di atas Upah Minimum Regional, difabel masih memerlukan pengeluaran lain yang tak dikeluarkan masyarakat umum. Seperti pembelian atau pemeliharaan alat-alat bantu, terapi dll. Atau walaupun juga dikatakan miskin, akibat keterbatasan yang ada mereka pun tak dapat menjangkau akses jaminan kesehatan yang ada.

"Pemahaman pengetahuan mereka terbatas, secara fisik juga mengalami kelemahan luar biasa," katanya.

Berdasarkan pengamatannya, jaminan kesehatan ini semakin sulit diakses penyandang disabilitas yang sama sekali tak bisa melakukan aktifitas lantaran sepenuhnya berada di tempat tidur. Ia pun mendesak ada program kebijakan yang  memberikan penekanan untuk kelompok ini. Sebab warga miskin belum tentu menyentuh disabilitas, sehingga ia meminta ditambahkan diksi "kelompok rentan" selain miskin dan tidak mampu pada peraturan tersebut.

"Jika ditambahkan kelompok rentan maka program ini ada penekanan perlindungannya, sehingga lebih berfaedah selain untuk golongan miskin," kata Heppy.

SERING DIKESAMPINGKAN - Petugas jaminan kesehatan di lapangan pun selama ini sering mengesampingkan kelompok disabilitas lantaran memang tak ada penekanan untuk mengurusi kelompok ini. Proses hidup secara wajar tak bisa didapatkan karena petugas tak memiliki kewajiban moral selain menyentuh orang miskin dan tidak mampu.

"Lihat saja selama ini berapa persen penyandang disabilitas yang ada pada antrean jaminan kesehatan, ini indikator sederhana kita," ujarnya.

Menurut data, sejauh ini baru sekitar 5 persen penyandang disabilitas yang telah tercover jaminan kesehatan di seluruh Indonesia. Itupun, bukan dari jaminan yang diperoleh secara cuma-cuma, sebagian besarnya mengikuti program mandiri.

Seperti yang terjadi pada penyandang tunanetra di Sumatera Utara yang luput dari program pemerintah berupa Jamkesmas dan Bantuan Langsung Sementara (Balsem). Terdapat 1000 anggota Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sumut, tetapi sekitar 400 sampai 500 orang tidak terdaftar Jamkesmas.

Walaupun sementara ini, Pertuni di Medan tidak terdaftar di Jamkesmas telah memanfaatkan JPKMS, tetapi banyak juga yang tidak terdaftar di JPKMS. Sekretaris DPD Pertuni, Sumut Rusman, menyatakan saat ada dana Balsem juga banyak dari mereka yang berketerbatasan dan mencari nafkah dengan memijat orang tak kebagian. Tapi Balsem malah didapatkan oleh warga yang memiliki sepeda motor dan memakai perhiasan emas.

Penghasilan rata-rata yang diperoleh pun kurang dari Rp1,5 juta perbulan dari hasil memijat, dan banyak sudah anggota Pertuni yang berkeluarga. Walaupun ada yang melebihi Rp3 juta, tapi itu amat jarang.

Heppy berharap dengan segala keterbatasan tersebut pemerintah lebih memperhatikan dan mempermudah mereka menjadi peserta JKN. Sebab banyak dari mereka yang tak bisa menggunakan ATM. "Jika boleh maka iuran ditanggung oleh pemerintah," ujarnya.

Kasus lain, di daerah Jombang, aturan BPJS tidak mengakomodasi kaum difabel sebagai salah satu kriteria yang berhak mendapatkan JKN-BPJS secara cuma-cuma. Ketua Ikatan Penyandang Cacat (IPC) Jombang, Sulistiyono menyatakan dalam aturan persyaratan BPJS terdapat kriteria yang disebut cacat permanen sebagai berhak menerima JKN BPJS.

Artinya, siapapun asal cacat permanen bisa mendapatkan JKN-BPJS gratis. Namun kenyataannya, sesuai sosialisas BPJS, yang dimaksud cacat permanen merupakan kecelakaan kerja di perusahaan yang mengakibatkan tidak bisa bekerja lagi.

PERHATIAN DAERAH KURANG - Untuk meningkatkan pelayanan dan memenuhi hak-hak para penyandang disabilitas, Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2011 menerbitkan Perda No 10 Tahun 2011 tentang Penyandang Disabilitas. Peraturan Daerah  (Perda) ini dibuat agar para penyandang disabilitas, khususnya di Jakarta tetap dapat menikmati program-program pembangunan yang dilaksanakan Pemprov DKI Jakarta. Aparat kelurahan, kecamatan, walikota, dinas dan yang lainnya, diintruksikan untuk menerapkan perda ini oleh Gubernur saat itu, Fauzi Bowo.

Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini berupaya agar setiap bangunan fasilitas publik juga dilengkapi sarana aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Di bidang kesehatan, Pemprov DKI Jakarta memberikan kemudahan dalam layanan pengobatan, yang diawali anggota Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni). Hingga saat ini sudah hampir semua organisasi penyandang disabilitas telah mendapatkan layanan yang sama di bidang kesehatan.

Namun, dikoreksi Heppy, program yang memang patut ditiru di seluruh provinsi Indonesia ini ternyata hanya terdapat di DKI Jakarta. Padahal, penyandang disabilitas menyebar di seluruh pelosok Indonesia.

"Program ini harus secara nasional, tak bisa sektoral. Bagaimana nasib yang di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan lainnya yang tak punya kemampuan bayar jaminan kesehatan mandiri?" katanya.

Heppy menyatakan, besaran 20 ribu pun dinilai sangat besar bagi mereka sehingga tentu akkan sangat luar biasa saat pemerintah bisa mengcover semua difabel dengan jaminan kesehatan cuma-cuma.

Contoh pemerintah daerah yang telah menjalankan program ini dengan baik, adalah Kabupaten Sukoharjo. Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya mengkonversi program Jamkesda ke BPJS Kesehatan. Pemkab berkomitmen menjamin kesehatan seluruh kaum difabel tanpa memandang status sosial.

Seluruh kaum difabel baik kaya atau miskin di-cover dengan Jamkesda tanpa terkecuali. Dimana program Jamkesda untuk kaum difabel itu akan diintegrasikan ke BPJS Kesehatan yang preminya ditanggung Pemkab.

MASIH DISETARAKAN - Koordinator BPJS Watch mengakui penyandang disabilitas memang disamakan dengan masyarakat pada umumnya. "PBI atau mandiri punya hak yamg sama, disabilitas bukan penyakit karena memang bawaan lantaran ada perubahan fisik," katanya kepada gresnews.com, Selasa (28/7)/

Hal ini tentu berbeda dengan perubahan fisik lantaran kecelakaan kerja yang diakomodir memang oleh BPJS Ketenagakerjaan. Untuk hal-hal teknis seperti akses khusus untuk memudahkan mendapat jaminan kesehatan ia menyarankan dibentuknya pendampingan khusus. "Itu teknis saja dan bukan hal yang merepotkan," katanya.

Sementara Anggota Komisi IX Rieke Dyah Pitaloka, menegaskan soal regulasi yang ada merupakan ranah ketetapan pemerintah. BPJS hanya merupakan badan yang bertugas untuk menyelenggarakan. "Jika tak tercover, maka harus dilihat terdata atau tidak. Kalau tak terdata kan bukan BPJS yang menentukan," ujarnya pada gresnews.com, Selasa (28/7).

Data pemerintah inilah yang menurutnya harus disinkronisasikan, sebab diketahui terdapat perbedaan antara data Badan Pusat Statistik (BPS)  dengan data Kementerian Sosial atau lembaga terait dalam penanganan masalah sosial. Merujuk data BPS, 11 hingga 13 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 32,5 juta penduduk merupakan penyandang disabilitas.

Data ini berbeda dengan data WHO  yang hanya mencantumkan 10 juta jiwa. Atau dengan data Riset Kesehatan Daerah (Riskesdas) serta Sistem Kesehatan Nasional (Siskenas) 2009 sekitar 1,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Hal itu tentu saja berdampak dalam pemenuhan hak-hak mereka para penyadang disabilitas. Akibatnya, penyandang disabilitas kerap rentan mengalami diskriminasi.

Rieke menekankan perlunya kesamaan data penduduk di seluruh kementerian. "Pendataan penduduk harus dibenahi, mana yang ditanggung negara, mana yang sharing cost, bagaimana kategorinya, harus diputuskan pemerintah sebagai keputusan politik," ujarnya.

BACA JUGA: