JAKARTA, GRESNEWS.COM - Harapan para pekerja alih daya dan kontrak atau biasa disebut tenaga outsourcing di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali membubung menyusul pertemuan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Rabu (24/6) kemarin. Pertemuan dua pucuk pimpinan lembaga itu dikabarkan membicarakan nasib para pekerja outsourcing yang belum tuntas. Termasuk tindak lanjut rekomendasi Komisi IX DPR periode lalu.  

Nasib pekerja outsourcing di BUMN itu selama ini terkatung-katung. Meski telah tercapai lima kesepakatan antara DPR RI dengan Menteri (BUMN) saat itu, Dahlan Iskan. Namun kesepakatan itu tak kunjung dapat diimplementasi hingga masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berakhir akhir 2014 lalu.

Padahal Komisi IX telah merekomendasikan pengangkatan semua pekerja outsourcing BUMN menjadi pekerja tetap, karena tidak sesuai Pasal 65 dan 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  Kini setelah lebih dari satu semester pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, ada upaya untuk mengungkit persoalan tersebut.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri membenarkan telah mengadakan  pertemuan dengan Menteri BUMN Rini Soemarno, Rabu (24/6). Pertemuan itu, menurutnya, membicarakan persoalan pekerja outsourcing di BUMN.

Dari pertemuan itu keduanya sepakat membentuk tim kerja khusus menangani masalah pegawai outsourcing di perusahaan-perusahaan BUMN. "Kami fokus membicarakan soal nasib pekerja outsourcing yang bekerja di BUMN," katanya.

Baik Kementerian BUMN maupun Kemenaker, lanjutnya, sepakat dan  serius menyelesaikan persoalan outsourcing yang terjadi di BUMN. Komitmen itu, kata dia, akan ditindaklanjuti dengan membentuk tim khusus antara Kemenaker ‎dan Kementerian BUMN.

"Tim bersama itu nantinya juga akan melakukan pembinaan kepada perusahaan-perusahaan BUMN dan para pekerja outsourcing agar dapat bekerja sesuai dengan peraturan perundangan ketenagakerjaan," kata Hanif usai bertemu Rini di Gedung Kementerian BUMN Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta.

SUDAH ADA KEPUTUSAN - Menanggapi pertemuan dua menteri itu, Koordinator Gerakan Buruh Bersama (GEBER) BUMN Ahmad Ismail menyatakan menyambut baik. "Sebagai sebuah bentuk perhatian, kami hargai pertemuan tersebut," kata Ahmad Ismail kepada gresnews.com, Kamis (25/6). 

Namun, lanjut Ahmad, pertemuan itu harus didorong dari kesungguhan niat kedua menteri itu untuk benar-benar menyelesaikan. Bukan karena pencitraan. Apalagi sebagai "penawar" atas kencangnya desakan isu atau ancaman reshuffle dari Presiden Joko Widodo terhadap menteri-menterinya.

Kalau dihubungkan dengan kesepakatan di DPR pada Maret 2014 lalu, menurut Ahmad, seharusnya pemerintah tinggal mengeksekusi saja kesepakatan maupun rekomendasi yang ada. Misalnya dengan menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) atau Keputusan Menteri (Kepmen). Terutama aturan yang merujuk pada hasil rekomendas DPR ataupun Satgas Outsourcing BUMN maupun nota pengawasan yang sudah ada. "Nantinya, pelaksanaannya mendapatkan pengawasan dari Komisi IX DPR," tambahnya.

Ahmad mengungkapkan pada Maret 2014 lalu, Komisi IX DPR RI bersama Menteri BUMN telah menyepakati untuk mengangkat semua pekerja outsourcing  di perusahaan BUMN. Sebab hal itu tidak sesuai dengan Pasal 65 dan 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kemudian mempekerjakan kembali semua pekerja outsourcing yang sudah di-PHK. Termasuk terhadap mereka yang sedang dalam proses PHK ke posisi semula dan jabatan semestinya sesuai asas profesionalitas BUMN. Selanjutnya memenuhi semua hak-hak normatif para pekerja di lingkungan BUMN; membayar secara penuh hak-hak lainnya kepada pekerja BUMN yang menjadi korban PHK tidak sah.

Komisi IX DPR sebelumnya juga meminta komitmen Menteri BUMN untuk memberikan sanksi tegas kepada direksi BUMN yang tidak sejalan dengan kebijakan penyelesaian masalah outsourcing BUMN. "Sejauh ini realisasinya tidak berjalan sesuai kesepakatan yang ada," tuturnya.

KENDALA - Kendalanya, menurut dia, salah satunya ada di perusahaan BUMN yang menerjemahkan sendiri hasil kesepakatan, berdasarkan kemauannya sendiri. Harusnya, kata Ahmad, diangkat jadi pekerja di BUMN-nya, namun yang terjadi diangkat di vendor-nya. 

Itu pun dengan terlebih dahulu diadakan seleksi terhadap pekerja outsourcing tersebut. Padahal pekerja-pekerja outsourcing ini sudah bekerja di perusahaan inti selama bertahun-tahun. Bahkan tidak sedikit yang sudah puluhan tahun. "Yang lebih parah, diseleksi untuk kemudian di-PHK," terangnya.

Sementara Kementerian BUMN sendiri tidak bisa berbuat banyak. Padahal, menurut dia, Kementerian bukan hanya sebatas pembina. Namun memiliki kuasa pemegang saham (mayoritas) di perusahaan-perusahaan BUMN.

Ia mencontohkan, mekanisme itu bisa dilakukan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan menentukan arah penyelesaian outsourcing secara langsung seperti yang disepakati antara DPR dan Kementerian BUMN tersebut.

REKOMENDASI BARU - Sebelumnya pada Maret 2014 lalu, Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Menteri BUMN telah memutuskan lima  poin rekomendasi baru terkait tindak lanjut rekomendasi Panja Outsourcing. Berikut isinya,

1. Komisi IX DPR RI dan Menteri BUMN sepakat  melaksanakan rekomendasi Panja Outsourcing Komisi IX DPR RI. Oleh karena itu Menteri BUMN sepakat menghapus kelompok usaha yang menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak perbolehkan menggunakan penyerahan sebagian pekerjaan dan perjanjian pemborongan pekerjaan (outsourcing) dengan menerbitkan surat edaran Menteri BUMN per tanggal 5 Maret 2014.

2. Komisi IX DPR RI bersama Menteri BUMN menyepakati untuk:
A. Mengangkat semua pekerja outsourcing yang ada di perusahaan BUMN yang tidak sesuai dengan Pasal 65 dan 66 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi pekerja tetap perusahaan BUMN.
B. Mempekerjakan kembali semua pekerja outsourcing yang sudah di-PHK dan yang sedang dalam proses PHK pada posisi semula dan jabatan semestinya sesuai dengan asas profesionalitas di perusahaan BUMN.
C. Memenuhi semua hak-hak normatif para pekerja di lingkungan BUMN.
D. Membayar secara penuh hak-hak lainnya kepada pekerja BUMN yang menjadi korban PHK tidak sah. Dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3. Komisi IX DPR RI meminta komitmen Menteri BUMN untuk memberikan sanksi yang tegas kepada direksi BUMN yang tidak sejalan dengan kebijakan penyelesaian masalah outsourcing BUMN.

4. Komisi IX DPR RI dengan Menteri BUMN dan Menakertrans RI menyepakati untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) gabungan dari kedua Kementerian untuk melaksanakan rekomendasi Panja Outsourcing Komisi IX DPR RI selambat-lambatnya 12 Maret 2014, perusahaan-perusahaan yang sedang diselesaikan diumumkan, selanjutnya 12 April sampai dengan 12 Mei 2014 seluruh permasalahan outsourcing telah diselesaikan. Satgas dalam menyelesaikan persoalan oursourcing harus melibatkan serikat pekerja outsourcing di perusahaan masing-masing.

Selama tenggat waktu tersebut, upah proses dan hak-hak normatif lainnya tetap harus diberikan, serta tidak ada PHK selama proses tersebut. Dengan catatan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan putusan MK, pembayaran diberikan oleh vendor atas dorongan Menteri BUMN.

5. Komisi IX DPR RI mendesak Menakertrans RI untuk menyelesaikan persoalan outsourcing ketenagakerjaan di BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan selambat-lambatnya tanggal 5 April 2014.

BACA JUGA: