JAKARTA, GRESNEWS.COM - Anak adalah makhluk lemah yang membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya. Namun tidak semua anak-anak beruntung mendapatkan limpahan kasih sayang, banyak pula yang harus hidup getir menjadi korban eksploitasi dan kekerasan manusia dewasa yang seharusnya melindungi.  
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)  Susanto mengatakan perlu ada pencegahan kekerasan pada anak harus dilakukan secara sistematis. Misalnya dari sisi norma yang terkait dengan aturan disekolah.

Menurutnya perlu dipertanyakan adakah norma di sekolah yang berpotensi pada terjadinya kekerasan, misalnya dalam hal menghukum anak didik. Ia menambahkan dari dinas pendidikan juga belum ada aturan atau surat edaran yang secara eksplisit meminta untuk mencegah terjadinya kekerasan di sekolah.

"Antara fakta dan norma timpang. Faktanya banyak kekerasan terjadi, tapi belum ada norma yang mencegah terjadinya kekerasan," katanya pada Gresnews.com di kantor KPAI, Jakarta, Kamis, (8/5).

Ia menambahkan terdapat dasar hukum bahwa lingkungan sekolah harus bebas dari kekerasan pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menyebutkan anak dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya.

Menurutnya setiap guru memiliki perspektif berbeda tentang kekerasan. Misalnya kategori pendisiplinan tidak dianggap sebagai tindak kekerasan. Ia menjelaskan bahkan sempat ada protes dari guru bahwa UU tersebut dianggap mengancam profesi guru. "Padahal kalau kita duduk bersama melihat secara utuh UU perlindungan anak, justru memperkuat posisi guru karena guru didorong agar pola lama tidak dilakukan lagi di jaman sekarang. Itu artinya memperkuat profesi guru bahwa guru sekarang harus profesional dan ramah terhadap anak," katanya.

Ia mencontohkan dalam membuat aturan di sekolah hanya sedikit yang melibatkan anak dalam perumusannya. Padahal pelibatan anak dalam membuat aturan sekolah bisa menimbulkan rasa kebersamaan terhadap anak. Kalau aturan disepakati bersama dengan anak, secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa bertanggungjawab pada anak dan mengurangi tingkat kekerasan terhadap anak.

"Akan sangat berbeda kalau aturannya vis a vis antara guru dengan siswa," katanya.

Terkait kekerasan seksual pada anak, menurut Susanto pola pengaduannya berbeda dengan kasus lain. Kasus kekerasan fisik seperti pembunuhan umumnya pasti dilaporkan. Namun untuk kekerasan seksual, pada umumnya mereka malu untuk melaporkannya pada polisi. Korban juga khawatir kasus tersebut tidak ditindaklanjuti kepolisian. Dua hal tersebut penyebab kasus kekerasan seksual tidak terungkap dan terdata dengan baik.

Masalah kekerasan pada anak ini juga menjadi perhatian dari lembaga swadaya masyarakat  Save the Children. Senior Advocacy and Policy Advisor Save the Children Roberta Cecchetti menjelaskan secara global angka kekerasan pada anak mencapai 500 juta hingga 1,5 miliar. Lalu sebanyak 85 juta anak di dunia menjadi pekerja di lingkungan yang berbahaya, sebanyak 1 miliar anak hidup di negara yang berpotensi adanya kekerasan bersenjata seperti teroris, sebanyak 3 dari 4 anak mengalami kekerasan karena alasan pendisiplinan di rumah, dan sebanyak 5-10% anak laki-laki dan 20% persen anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.

Ia menjelaskan kekerasan yang terjadi pada anak dapat berdampak negatif pada perkembangan fisik, kognitif, sosial, emosional, dan kesehatan dalam jangka panjang. Adapun yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan pada anak diantaranya karena adanya kemiskinan, diskriminasi, dan ketidaksetaraan relasi kuasa. Sehingga tambahnya perlu diperlukan visi 2015 untuk lebih melindungi anak.

Menurutnya langkah yang perlu dilakukan, pertama mencegah dan mengurangi kekerasan seksual dan praktek yang berbahaya terhadap anak. Selanjutnya, kedua, mengakhiri kekerasan pendisiplinan terhadap anak. Ketiga, mencegah pemisahan anak dari orangtuanya dan memastikan anak-anak tidak ditempatkan di institusi yang rentan terhadap kekerasan; keempat, mencegah dan mengurangi kematian anak yang disebabkan perekrutan prajurit anak; kelima, memastikan tidak ada pekerja anak dengan wilayah kerja yang berbahaya; dan keenam membangun sistem perlindungan yang dapat menjangkau semua anak.  

BACA JUGA: