Jakarta - Ketika peristiwa itu terjadi, tahun 2006, Muhammad Nazaruddin baru berusia 28 tahun (lahir di Bangun, 26 Agustus 1978), Poempida Hidayatulloh Djatiutomo berusia 34 tahun (lahir di Sukabumi, 18 Maret 1972), Anas Urbaningrum berumur 37 tahun (lahir di Blitar, 15 Juli 1969). 

Waktu berlalu. Kini Anas Urbaningrum adalah Ketua Umum Partai Demokrat; Muhammad Nazaruddin pernah menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat dan sekarang tersangka korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nazaruddin juga sempat berkiprah di Partai Persatuan Pembangunan, sebagai caleg nomor urut 2 dari Dapil Riau pada Pemilu 2004; Poempida adalah Doktor dari Imperial College of Science, Technology and Medicine, London, Inggris, dalam bidang Mechanical Engineering, yang pernah menjadi Wakil Bendahara Partai Golkar, sekaligus pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia sebagai ketua Komite Tetap Pengembangan Teknologi Ramah Lingkungan. Saat ini, Poempida juga menjabat Wakil Presiden Kabinet Indonesia Muda (KIM) pimpinan politisi muda PDI-Perjuangan, Budiman Sudjatmiko.

Laporan Keuangan PT Anugrah Nusantara (baca: Unduh kronologi "kemesraan" Anas-Nazar di Anugrah Nusantara) pada tahun 2006, yang diperoleh Gresnews.com, mencatat sejumlah transaksi menarik yang diduga melibatkan tiga politisi muda tersebut. Ketiganya tercantum dalam sebuah laporan keuangan untuk proyek pengadaan alat laboratorium Paket D di Departemen Perindustrian. Patut dicatat! Fahmi Idris, politisi Partai Golkar, saat itu menjabat Menteri Perindustrian Kabinet Indonesia Bersatu (2005-2009). Poempida ketika itu adalah suami dari Fahrina Fahmi Idris, putri Fahmi Idris. 

Gresnews.com juga pernah menurunkan tulisan tentang ditemukannya sejumlah nama politisi Senayan seperti anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat yakni Jhoni Allen Marbun, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Saan Mustopa, dan Ketua Komisi XI DPR dari PDIP Izedrik Emir Moeis, yang diduga kuat mendapatkan fee yang berasal dari pemenangan proyek di Kementerian Perhubungan, proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans), serta pembangunan Wisma Atlet Sea Games (baca: Ini politisi Demokrat & PDIP yang diduga terima fee Nazaruddin).

Setidaknya, tiga partai besar pemenang Pemilu (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-Perjuangan) telah ´menyumbang´ nama kadernya dalam catatan keuangan PT Anugrah Nusantara.

Sepanjang pekan lalu, Redaksi Gresnews.com menelusuri silang-sengkarut ´permainan´ para politisi muda tersebut di Departemen Perindustrian. Pendalaman atas data dan wawancara yang dilakukan oleh wartawan Gresnews.com, menemukan sejumlah dugaan ´permainan´ proyek yang juga melibatkan sejumlah politisi lain. Gresnews.com melengkapi liputan ini dengan mengkonfirmasi para pihak yang diduga terlibat ´permainan´ proyek tersebut.

Catatan Keuangan Proyek Rp20 miliar
Labelnya adalah "Fee Poe". Besarnya Rp275 juta. File-nya bernama Laporan Harian 2006 PT Anugrah Nusantara, dibuat pada 19 Oktober 2006. Dari situlah pendalaman dimulai.

Awalnya, agak sulit untuk membuka file yang dikunci dengan kode khusus itu. Apalagi, catatan keuangan untuk proyek di Departemen Perindustrian itu, tercampur-baur dengan catatan untuk proyek lainnya yang dilakoni oleh PT Anugrah Nusantara. Namun, serangkaian petunjuk membawa Gresnews.com ke dalam sebuah gambaran mengenai sepak terjang PT Anugrah Nusantara dalam proyek Departemen Perindustrian itu.

Berdasarkan catatan keuangan tersebut, proyek yang dikerjakan di Departemen Perindustrian itu adalah proyek pengadaan alat laboratorium Paket D Departemen Perindustrian. Nilainya: Rp20,935,750,000. Perusahaan yang dipakai untuk mengerjakan proyek dimaksud adalah PT Taruna Bakti Perkasa.

Pencarian terhadap PT Taruna Bakti Perkasa itu menemukan titik terang, yang menunjuk kepada sebuah perusahaan yang beralamat di Jl. Semangka II No.12 Blok A Lt.1 Rt.015/02 Kota Jakarta Barat 11430. Situs Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi mencatat, Direktur Utama perusahaan adalah Herlina Sitorus, komisaris adalah Bernard R. Sitorus. Sepanjang 2002-2006, perusahaan itu telah menangani sejumlah proyek pemerintah. (Lihat di sini).

Siapakah Herlina Sitorus? Sumber Gresnews.com menyebutkan, Herlina sempat mengikuti tender proyek-proyek yang berkaitan dengan pemenangan perusahaan Nazaruddin dan Neneng. Misalnya, pada proyek pengadaan peralatan pencegahan dalam rangka dukungan kesiapsiagaan dalam menghadapi flu babi di Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Departemen Kesehatan sebesar Rp64 miliar yang dimenangkan oleh PT Nuratindo Bangun Perkasa (NBP). Selain itu, proyek pengadaan pengembangan Laboratorium FMIPA Universitas Negeri Malang Tahun Anggaran 2009 senilai Rp49,95 miliar.

Kembali kepada hubungan antara Poempida dan Nazaruddin. Ada catatan yang menunjukkan, sedikitnya PT Anugrah Nusantara melakukan tujuh transaksi dengan Poempida. Beberapa transaksi dengan Poempida dilakukan dengan istri Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni, yang saat ini berstatus buron KPK.

Transaksi pertama terjadi pada tanggal 15 November 2006 sebesar Rp30.000.000, pada kolom fee dengan keterangan "Transfer Poempida Hidayatullah Proy. Perindustrian". Dua hari kemudian transaksi terjadi dengan nilai Rp20.000.000 pada kolom fee dengan keterangan "Transfer u/ Poempida Hidayatullah Proy.Makassar Saldo BCA KNG Rp. 36,834,428"

Transaksi selanjutnya pada tanggal 20 Desember 2006 dengan nilai Rp25.000.000. Keterangan transaksi ketiga ini menyebutkan "Setor Poempida Hidayatullah BCA". Pada 6 Januari 2007, lewat Neneng, Poempida kembali mendapatkan duit sebesar Rp25.000.000. Keterangan pada transaksi tersebut adalah "Transfer BCA Poempida Hidayatullah Proy. Lab qq BCA KNG Bu´Neneng".

Transaksi kembali terjadi pada tanggal 11 Januari 2007 sebesar Rp25 juta dengan keterangan "Setor BCA Poempida UP Hidayatullah Proy. Lab qq Cek Bank Agro PT. Mega Niga 254615". Tanggal 22 Januari 2007 Poempida kembali mendapatkan duit sebesar Rp50.000.000. Keterangan pada transaksi tersebut hanya bertulis "Setor Poempida Hidayatullah Proy. Lab qq BCA KNG NNG". 

Transaksi terakhir tercatat pada tanggal 8 Februari 2007 sebesar Rp25 juta dengan keterangan "Transfer BCA Poempida UP Hidayat Proy. Lab qq ATM BCA KNG NNG".

Tak Hanya Poempida
Pembukuan proyek Departemen Perindustrian oleh PT Anugrah Nusantara juga menyeret nama politisi selain Poempida. Diduga, ada uang yang mengalir dengan peruntukkan Anas Urbaningrum, Jhoni Allen Marbun (kini Wakil Ketua Partai Demokrat), dan anggota Badan Anggaran DPR dari Partai Damai Sejahtera (PDS) Carol Daniel Yani Kadang.

Nama Anas tercatat pada transaksi tertanggal 5 Januari 2007 dengan keterangan "Transfer Pa´Anas qq BCA Pa´Nazar Cemput u/Proy. Lab". Nilai transaksi yang diduga diterima Anas sebesar Rp15 juta. Anas kembali tercatat pada laporan keuangan tanggal 18 Januari 2007. Kali ini Anas diduga menerima uang dari perusahaan PT Anugrah Nusantara sebesar Rp50 juta. Pada transaksi ini keterangan menyebutkan "Setor BCA Pa´Nazar Cemput (Pa´Anas) Proy. Lab qq BCA KNG NNG".

Anas juga diduga sempat menggunakan rekening milik Wakil Sekjen Partai Demokrat Saan Mustopa untuk menerima dana. Pada transaksi tanggal 25 April 2007 dengan keterangan "Transfer BCA Saan Mustopa (proy. deprin) u/ Pa´Anas qq ATM BCA KNG MN". PT Anugrah Nusantara mengirimkan dana sebesar Rp5 juta.

Hubungan bisnis antara Anas dan Nazar sebelumnya pernah dibahas dalam berita bertajuk Inilah dugaan 21 transaksi keuangan Anas Urbaningrum di Anugrah Nusantara.

Nama lain yang tercatat adalah mantan anggota DPR dari Partai Damai Sejahtera (PDS) Carol Daniel Yani Kadang dan anggota DPR lain yang hanya ditulis Hamzah. Transaksi pada tanggal 16 Januari 2007 tersebut bernilai Rp500 juta dengan keterangan "u/ Fee Pa´Hamzah org DPR (Caroll) Proy. Lab".

Dugaan keterlibatan Carol Daniel terkonfirmasi setelah ada transaksi yang menyebut penggunaan rekening istri Carol yakni Monic Lewa Kadang sebesar Rp10 juta dengan keterangan "Transfer MDR an. Monica Lewa Kadang Proy Lab Deprin qq MDR KNG NNG ( Kerol)". Transaksi ini terjadi pada tanggal 10 Februari 2007.

Sementara itu, dana yang diduga dialamatkan untuk Jhoni Allen tercatat pada tanggal 6 Februari 2007. Jhoni diduga menerima Rp200 juta. Keterangan transaksi tersebut adalah "U/ Pa´Joni Alen Fee Proy. Lab Deprin 100jt Cash + 100 jt Travel Chaque Mandiri".

Merasa Dicatut Namanya
Dikonfirmasi secara terpisah, Fahmi Idris membenarkan, pada saat dia menjabat Menteri Perindustrian pada tahun 2006, terdapat proyek pengadaan alat laboratorium paket D. Fahmi mengatakan, nilai anggaran proyek itu sebesar Rp20,9 miliar.

"Dialokasikan untuk Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor, Balai Besar Semarang, Pontianak, Samarinda, Manado dan Ambon," kata Fahmi melalui BlackBerry Messenger kepada Gresnews.com, Minggu (20/11).

Fahmi membenarkan pula, pemenang tender proyek itu adalah Herlina Sitorus dari PT Taruna Bakti Perkasa.

Gresnews.com menanyakan tanggapan Fahmi Idris mengenai dugaan bahwa Poempida, menantunya, menerima fee Rp275 juta dari PT Anugrah Nusantara dalam proyek tersebut. Fahmi meminta hal itu ditanyakan langsung ke Poempida. Kalau itu terbukti, Fahmi menegaskan, silakan diproses hukum.

"Apa yang dilakukan menantu saya itu tanggung jawab yang bersangkutan. Saya tidak ikut bertanggung jawab," pungkas Fahmi.

Poempida, yang dikonfirmasi oleh Gresnews.com melalui e-mail, Jumat (18/11), mengumbar tawa. "Ha...ha...ha. Saya tidak tahu itu. Yang jelas, saya saja baru dengar proyeknya," kata Poempida, yang saat itu mengaku tengah berada di Jepang.

Pria, yang dulu sempat terseret namanya dalam dugaan korupsi proyek pengadaan peningkatan fasilitas mesin dan peralatan untuk tiga balai Latihan Kerja di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (ketika itu Fahmi Idris adalah Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi) senilai Rp9,48 miliar dengan terdakwa Direktur PT Gita Vidya Utama Ines Wulandari, itu, justru menuding terdapat pihak yang secara sengaja mencatut namanya, lantaran, Poempida mengakui, kebetulan Menteri Perindustriannya tak lain mertuanya sendiri, Fahmi Idris. "Bisa saja ada orang yang bawa nama saya, lalu main sama dia (Nazaruddin)," kata Poempida.

Poempida berkata, pencatutan namanya pernah terjadi ketika sebuah perusahaan akan mengikuti tender pengadaan tabung gas di sebuah instansi. "Ternyata ada orang saja yang bawa nama saya, hanya karena dia pernah kenal saya. Jadi hal seperti itu sih sudah biasa," kata Poempida.

Ketika disinggung mengenai Fahmi Idris, Poempida mengatakan, kala menjabat sebagai menteri, Fahmi Idris sangat tertib.

"Semua pejabat, eselon I, II, III, dan terus ke bawahnya  di Depnakertrans atau Deperin, terima surat dari Pak Fahmi CC: Pres, Wapres dan KPK, yang kurang lebih bunyinya tidak diberikan fasilitas bisnis apa pun di departemen yang beliau pimpin untuk kedua anak perempuannya dan saya sebagai menantunya," kata Poempida.

Apa langkah yang akan dilakukannya? Poempida lantas berjanji, ia akan mencari tahu siapa pihak yang tidak bertanggung jawab mencatut namanya itu. "Nanti saja saya lihat laporan keuangan itu. Proyek laboratoriun itu untuk pengadaan barang apa. Coba nanti saya juga cari tahu lebih detail lagi. Supaya saya bisa pelajari siapa yang bermain lebih jauh," kata Poempida.

Diwawancarai secara terpisah, mantan anggota DPR Komisi IV Bidang Perindustrian, Perdagangan dan BUMN Carol Daniel Yani Kadang membantah menerima uang dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. "Saya tidak pernah terima apapun bos dari Nazar dan tidak tahu menahu tentang proyek tersebut," kata mantan Ketua Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) itu dalam pesan singkat kepada Gresnews.com, Minggu (20/11).

Ingin mendalami bantahan Carol tersebut, Gresnews.com mencoba menghubungi lagi melalui sambungan telepon. Namun Carol enggan menerima panggilan telepon. Pria kelahiran Ujung Pandang 11 Januari 1963 tersebut hanya mau menjawab pertanyaan melalui pesan singkat.

Mantan anggota Badan Anggaran DPR tersebut tidak membantah dirinya mengenal Nazar dan Neneng Sri Wahyuni pada tahun 2006. "Tapi, yang pasti, saya tidak pernah terima apapun dari mereka," jawab Carol.

Sementara itu, ketika Gresnews.com menghubungi Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum melalui telepon genggamnya baik secara langsung atau via SMS pada Sabtu (19/11) dan Minggu (20/11), tak ada jawaban sama sekali dan hanya ada suara mailbox.

Hal yang sama juga terjadi dengan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jhoni Allen Marbun yang dihubungi oleh Gresnews.com. Anggota ota DPR RI yang berasal dari Dapil II Sumatera Utara itu juga tak menjawab pesan singkat maupun panggilan telepon Gresnews.com.

Yang Muda Yang Korupsi?
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby menyatakan, ia tidak heran, jika terdapat sederet nama politisi muda yang diduga ikut terlibat dalam ´permainan´ proyek yang berbau korupsi.

"Sistem budaya politik kita itu masih belum transparan. Jadi yang banyak sekali peluang manipulasi, termasuk proses politik yang terlalu menghabiskan biaya besar. Jadi ini semacam tuntutan politisi yang masuk ke DPR dan pemerintahan," ujar Adjie, saat dihubungi Gresnews.com, Sabtu (19/11).

LSI adalah lembaga survei yang pada 31 Oktober 2011 merilis hasil riset mengenai buruknya kualitas politisi muda.  Politisi muda, menurut LSI, adalah anggota atau pengurus partai politik atau organisasi masyarakat yang berusia di bawah 50 tahun.

Kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, menurut Adjie, menjadi penyebab turunnya kepercayaan masyarakat terhadap politisi muda.

Menurut Adjie, masalah itu disebabkan karena sistem pendanaan partai politik yang masih amburadul. Ia menyayangkan tidak adanya bentuk sumbangan sukarela anggota partai serta donasi publik yang terbuka. Kenyataannya, anggota partai justru melakukan setoran ilegal, kemudian donasi publik pun cenderung untuk kesepakatan jangka pendek atau deal politik tertentu.

"Kalau kasus mengenai masuknya aliran dana ke Poempida dan lain-lain, ini masalah kebiasaan di kalangan elite politik. Ini sudah menjadi semacam hal yang lumrah sebab mereka menjadi mesin uang untuk partai," kata Adjie. "Dalam hasil riset kami, perilaku politisi baik muda maupun tua ini akan terus berlangsung dalam 10 tahun ke depan kalau sistem politik tidak diubah."

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Iberamsjah, menyatakan tidak perlu ada kompromi dalam menyeret para politisi ke penjara. Apabila sudah terdapat bukti awal, maka kasusnya wajib diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Tidak ada kompromi. Bukti itu bisa dilacak dan diselidiki. Untuk masalah korupsi, saya tidak melihat tua atau muda, semua sama saja. Namun, amat disayangkan, kalau mereka masih muda sebenarnya harapan bangsa," jelas Iberamsjah.

Terkait dugaan penerimaan uang oleh politisi muda Partai Golkar Poempida Hidayatullah, merupakan bentuk nepotisme. Setoran Nazaruddin ke Poempida lantaran hubungan
keluarga semenda Menteri Perindustrian saat itu, Fahmi Idris.

"Korupsi dengan orang tak dikenal saja sudah salah apalagi dengan keluarga sendiri. Saya
menyebutnya ini persekongkolan jahat keluarga," ujar Iberjamsjah.

Terkait dengan kasus dugaan proyek "haram", politisi muda dari Relawan Pejuang Demokrasi (Repdem) Masinton Pasaribu naik pitam. Pasalnya, ulah Poempida cs itu telah mencoreng citra politisi muda, mengingat yang bersangkutan, menurut Masinton, telah menggadang politisi muda yang bersih.

"Meletakkan ´muda´ itu dalam spirit mau mengubah dan bertindak maju dengan meninggalkan cara-cara lama, seperti korupsi dan lingkarannya. Tapi, kalau begini namanya sudah mencoreng citra politisi muda," tegas Ketua Umum Repdem itu kepada Gresnews.com, Minggu (20/11).

Masinton mengatakan, seharusnya para politisi muda dapat memanfaatkan kesempatan atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap para politisi tua dengan tetap berkomitmen dalam pemberantasan korupsi.

"Kaum muda sebagai generasi baru harus bisa menarik garis demarkasi terhadap korupsi. Menempatkan korupsi sebagai musuh bersama yang harus dilawan dan disingkirkan," pungkas Masinton.

Dimintai pendapatnya secara terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, mengatakan, adanya politisi muda yang terlibat dengan "lingkaran" Muhammad Nazaruddin tak lain karena lebih memikirkan kepentingan pribadi yang sifatnya jangka pendek.

"Orang-orang muda yang terlibat dalam pusaran Nazaruddin adalah tidak mampu membedakan kepentingan bangsa dengan kepentingan pribadi. Mereka menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bangsa," kata Muzani kepada Gresnews.com, Jakarta, Minggu (20/11).

KPK Didesak Mengusut
Berkaitan dengan gurita ´permainan´ proyek-proyek APBN yang melibatkan sejumlah politisi, Juru Bicara KPK, Johan Budi SP mengatakan, KPK siap menelusuri dugaan korupsi tersebut. Apalagi jika dilengkapi dengan pengaduan masyarakat.

Sumber Gresnews.com di KPK mengatakan, diakui memang data-data yang berkaitan dengan kerajaan bisnis Nazaruddin yang diperoleh penyidik KPK dari penggeledahan, hanya sebagian.

Iberamsjah pun berharap KPK tidak bersikap lambat menyikapi temuan ini. "Saya sedikit kecewa dengan Pak Busyro sebenarnya karena lambat. Dalam bahasa saya dia tidak gesit, kalau dalam permainan bersifat defensif bukan sebagai penyerang," ujar Iberamsjah.

Tim Liputan Khusus "SOMASI" Gresnews.com

BACA JUGA: