Pembaca yang budiman. Rubrik Somasi gresnews.com pekan ini, hadir berbeda dari biasanya. Tak ada penayangan data-data eksklusif, tak ada reportase intrik hukum dan politik. Kali ini, kami tampil sebagai ulasan akhir tahun, sesuai hakikat somasi, sebagai peringatan, permenungan, atas apa yang terjadi setahun belakang, apa yang akan terjadi setahun ke depan.

Di berbagai belahan dunia, terjadi perubahan yang sedemikian cepat dalam lingkaran hukum dan kekuasaan: pergantian kepemimpinan, protes massa, peperangan, penegakan hukum berikut dampak ikutannya. Ini menunjukkan fakta filosofi kekuasaan yang tak pernah statis, selalu berdialog dengan lingkungan sekitar, sekaligus sebagai proses dialektika yang tak pernah berhenti.

Tahun 2011, Time mengganjar penghargaan person of the year buat The Protester. Pemimpin Huffington Post, Ariana Huffington, dalam artikel 2011: The Year the Power Went Off in Washington, merespons ´ganjaran´ tersebut sebagai bukti, tahun 2011 adalah a year of the outsider, of the people, of bottom-up power.

Apa yang terjadi di Indonesia? Apakah gejala serupa, tahun 2011 sebagai tahunnya orang pinggiran, tahunnya rakyat, tahunnya kekuatan arus bawah, juga terjadi? Atau justru sebaliknya, tahun 2011 adalah tahunnya kekuasaan meminggirkan si rakyat, si pinggiran, si arus bawah?

Mari kita menyusuri satu-satu lintasan belakang.

Korupsi, tetap menjadi tema yang menyibukkan negara ini. Hulu ke hilir, dari penyusunan aturan untuk menjerat koruptor hingga hingar-bingar penangkapan. Kasus korupsi Wisma Atlet Sea Games, yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, adalah kasus yang betul-betul menyita sebagian besar perhatian elemen bangsa. Selain melibatkan politisi dari partai berkuasa, gresnews.com menyoroti kekhawatiran betapa proses ´regenerasi koruptor´ terjadi secara runut, apik, terstruktur melalui mesin bernama partai politik. Pun, subjek pelakunya, adalah sedari muda belia.

Dalam artikel Doktor Poempida dkk di proyek Perindustrian, kami menulis:

Ketika peristiwa itu terjadi, tahun 2006, Muhammad Nazaruddin baru berusia 28 tahun (lahir di Bangun, 26 Agustus 1978), Poempida Hidayatulloh Djatiutomo berusia 34 tahun (lahir di Sukabumi, 18 Maret 1972), Anas Urbaningrum berumur 37 tahun (lahir di Blitar, 15 Juli 1969).

Waktu berlalu. Kini Anas Urbaningrum adalah Ketua Umum Partai Demokrat; Muhammad Nazaruddin pernah menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat dan sekarang tersangka korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nazaruddin juga sempat berkiprah di Partai Persatuan Pembangunan, sebagai caleg nomor urut 2 dari Dapil Riau pada Pemilu 2004; Poempida adalah Doktor dari Imperial College of Science, Technology and Medicine, London, Inggris, dalam bidang Mechanical Engineering, yang pernah menjadi Wakil Bendahara Partai Golkar, sekaligus pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia sebagai ketua Komite Tetap Pengembangan Teknologi Ramah Lingkungan. Saat ini, Poempida juga menjabat Wakil Presiden Kabinet Indonesia Muda (KIM) pimpinan politisi muda PDI-Perjuangan, Budiman Sudjatmiko.

Konteks kutipan itu adalah terungkapnya dokumen aliran dana dalam proyek di Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja dan Departemen Perindustrian, yang di dalamnya tercatat jejak-jejak anak muda politisi. Anak-anak muda itu kini sudah menjadi ´orang´ dan memegang jabatan-jabatan strategis, baik di dalam struktur partai maupun pemerintahan. Memprihatinkan sekali.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menelurkan hasil riset yang menunjukkan menurunnya kepercayaan rakyat terhadap politisi muda, salah satunya disebabkan oleh praktik-praktik koruptif politisi muda itu sendiri.

"Sistem budaya politik kita itu masih belum transparan. Jadi yang banyak sekali peluang manipulasi, termasuk proses politik yang terlalu menghabiskan biaya besar. Jadi ini semacam tuntutan politisi yang masuk ke DPR dan pemerintahan," ujar peneliti LSI, Adjie Alfaraby. Kenyataannya, kata Adjie, anggota partai justru melakukan setoran ilegal, kemudian donasi publik pun cenderung untuk kesepakatan jangka pendek atau deal politik tertentu.

Tak banyak yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk merespons gejala ´pendidikan ayo korupsi sejak dini´ tersebut. KPK hanya dan tetap saja melakukan prosedur standar penanganan korupsi. Tak ada yang istimewa, selain kombinasi bumbu kehebohan saat menangkap koruptor, apalagi yang diseret dari luar negeri.

Saat memimpin KPK, Busyro Muqoddas nihil gebrakan. Ia justru memerosokkan semangat pemberantasan korupsi dari aksi menjadi jargon, dari kecerdasan teknik mengungkap kasus menjadi cuap-cuap retoris. Kini, setelah tongkat kepemimpinan KPK beralih ke Abraham Samad, rakyat menanti penjungkirbalikkan mindset itu: dari jargon menjadi aksi, dari retorika menjadi fakta.

Kasus suap dalam pemenangan Miranda Swaray Goeltom menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, juga merupakan jejak menarik. Anggota DPR telah masuk bui gara-gara kasus ini. Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakil Kapolri Adang Daradjatun, yang sekian lama buron, sudah dibawa ke Indonesia dan dibui. Sebelum Nunun tertangkap, rakyat banyak telah mahfum: kekuatan besar ada di balik Nunun. Apakah itu? Kekuatan kelompok bisnis dan kekuatan jaringan penegak hukum loyalis Adang Daradjatun.

Jelas sekali, jejaring korupsi telah bertumbuh tentakel-tentakelnya. Tak hanya menilep duit APBN via proyek-proyek pengadaan barang dan jasa, kick back, dan sebagainya; kini korupsi makin menegaskan dirinya sebagai organisme yang bertumbuh semakin luas, semakin canggih, semakin ´manis´. Lantas, apa perlunya retorika dalam membasmi korupsi dalam sirkumtansi pola korupsi yang sedemikian kompleks itu?

Masih banyak kasus korupsi yang menjadi pekerjaan rumah KPK tahun depan. Kasus Nazaruddin, misalnya, diduga merugikan negara hingga Rp10 triliun, kasus Bank Century Rp6,7 triliun. Belum lagi kasus-kasus di daerah yang telah merebak, menciptakan raja-raja kecil yang bukan hanya bertabur uang melainkan semakin berani melawan hukum dan penegak-penegaknya.

Ini PR besar bangsa kita, tak mungkin bisa selesai hanya oleh KPK.

Kasus bail out Bank Century, menjadi isu penting tahun 2011. Gresnews.com tidak mempedulikan apakah kasus Bank Century ini dihembuskan sebagai alat ´oposisi´ untuk menghantam penguasa atau tidak. Yang terang, unsur-unsur dalam kasus ini sangatlah berkaitan dengan kepentingan rakyat: bank sebagai medium pelayan rakyat dalam jasa keuangan, bail out yang diduga diselewengkan untuk pemenangan pemilu partai berkuasa, dan oknum-oknum pejabat yang menikmati aliran uang dari gocek-menggocek dana talangan Bank Century.

Terang soalnya, kasus Bank Century tidak hanya berurusan dengan hukum tindak pidana korupsi, tetapi juga berurusan dengan yang namanya kredibilitas kekuasaan. Kredibilitas itu berkaitan dengan tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya. Tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya berhubungan dengan sejauhmana rakyat bergairah untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik. Itulah dampak berantainya.

Lupakan hasil audit forensik Bank Century yang baru saja dirilis oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Anggap saja itu angin lalu. Harapan kita adalah penegak hukum tidak ´masuk angin´ dalam memproses hukum pelaku korupsinya. Jika kasus Bank Century mangkrak, percayalah, rakyat akan hilang kepercayaan terhadap hukum dan aparatnya. Rakyat akan tutup buku dengan kekuasaan.

Ketakutan, adalah jejak berikutnya pada 2011. Rakyat hidup dalam negara ketakutan: naik angkot takut dirampok dan diperkosa; menabung di bank takut hilang untuk bail out parpol; berbisnis takut dipalak birokrat dan politisi; beribadah takut diserbu kelompok bersorban; berdemonstrasi menuntut hak takut ditembaki polisi dan TNI.

Jelaslah pertanyaannya: ke mana pemimpin kita saat kita hidup dalam waktu-waktu penuh ketakutan semacam itu?

Sepakatlah kita untuk menolak hukum yang diperalat oleh duit dan kekuasaan, politik yang diperbudak untuk menjadi kelicikan kelompok. Akar ketakutan itu adalah ketiadaan negara, absennya penegakan hukum, dan munculnya kebijakan yang penuh ketidakadilan sebagai hasil perselingkuhan jahat pejabat dan pebisnis korup yang meminggirkan kepentingan rakyat.

Sebagian besar kasus kekerasan massa dipicu oleh sengketa kepemilikan di ladang-ladang tambang dan pertanahan. Bisnis tanah dan tambang menyeret aparatus negara bukan sebagai penjaga nurani rakyat melainkan penjaga pundi-pundi penguasa dan pengusaha. Kemarahan rakyat dibalas oleh bedil. Menuntut hak sama artinya dengan subversi. Logika inilah yang dikembangbiakkan oleh kekuasaan saat ini.

Selain tema-tema tersebut di atas -korupsi, korupsi, korupsi, ketakutan- masih banyak cerita kusam tahun 2011 yang terjadi dan didiamkan oleh pemimpin kita tanpa solusi.

Terang benderanglah sekarang. Tahun 2011 bukanlah tahunnya rakyat, bukan tahunnya kekuatan arus bawah, bukan tahunnya rakyat miskin yang terpinggirkan. Tahun 2011 adalah tahunnya kekuasaan, tahunnya pejabat yang sibuk merampok dan menyelamatkan diri.

Demikian 2011, mari kita lanjutkan 2012, dengan pertanyaan sama: 2012, rakyat atau penguasa?

Redaksi

BACA JUGA: