JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lemah dalam mengawasi dan mengidentifikasi para pelaku pelecehan seksual. Sehingga mereka dapat leluasa berkeliaran hingga masuk ke tempat pendidikan. Tak heran bila Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut ada korban kekerasan seksual lainnya di Jakarta Internasional School (JIS).

Pengamat pendidikan Ari S Wibowo menyayangkan lemahnya pengawasan terhadap pelaku pelecehan seksual atau pedofilia. Kasus ini benar-benar menjadi cambuk keras bagi semua pihak, baik penyelenggara sekolah; pemerintah dan masyarakat. Orang dengan kelainan seksual yang serius ada di manapun. Semua pihak menurutnya harus menyadari pentingnya pencegahan berulangnya kasus yang terjadi.

"Apakah Indonesia sendiri memiliki data base mereka yang sudah terbukti melakukan kejahatan pedofilia? Kalaupun ada, apakah data base itu bisa diakses dengan mudah?" kata Ari kepada Gresnews.com, Kamis (24/2).

Menurut Ari di negara maju seperti AS  para pelaku pedofilia sering diidentifikasi dan dimasukkan daftar hitam yang tersedia ke lembaga pendidikan. Tujuannya adalah mencegah masuknya para pelaku pedofilia kedalam lingkungan sekolah. Daftar ini menjadi rujukan bagi sekolah disana untuk menerima pegawai baru mereka.

Mengenai kabar pelaku pedofilia  Internasional yang diburu FBI dan pernah menjadi staff pengajar di JIS Ari berpendapat hal tesebut tidak perlu dibesar-besarkan, karena menurut Ari, kasus Vahey terungkap setelah adanya kasus pelecehan seksual di JIS.
"Kita  tidak usah jadi kampungan lah, karena kasus Vahey terbuka setelah dia ke Nikaragua. Itu setelah dia keluar dari JIS (keluar dari Indonesia tahun 2002, kasus terungkap 2014). Jadi tidak mungkin JIS mengetahui kejahatan itu pada saat itu. Kecuali, ada kasus yang terjadi disini dan tidak ada laporan yang dibuat (resmi)," tambah Ari.

Ari juga menantang pihak media membuka kasus pelecehan seksual yang terjadi selain di JIS, karena dirinya yakin, banyak kasus serupa yang terjadi di sekolah-sekolah nasional. "Kalau media kita betul kritis, silakan ditelusuri pula di Indonesia ada berapa kasus serupa yang terjadi di sekolah lokal? Melihat banyaknya kasus yang terjadi, saya tidak heran kalau hal sama sudah pernah terjadi di sekolah Indonesia. Hanya saja (media) kita tidak jeli melihatnya," jelas Ari.

Sekjen KPAI Erlinda menambahkan hingga kini siswa korban pelecehan seksual bertambah. Ada siswa melaporkan ke pihaknya. "Iya benar ada korban baru, korbannya laki-laki," kata Erlinda kepada Gresnews.com.

Ia menuding pihak JIS sengaja menutupi dan mengancam korban agar tidak melapor. KPAI mendesak JIS lebih kooperatif membantu mengungkap pelaku pelecehan seksual tersebut dengan melakukan tes darah kepada staff pengajar TK JIS. "KPAI mendesak JIS melakukan tes darah ke Guru," ujar Erlinda.

Selain itu, ia juga mendesak pihak kepolisian untuk mengembangkan kasus tersebut sehingga dapat menangkap pelaku pencabulan.

Bahkan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyebut ada kemungkinan korban kekerasan seksual di TK Jakarta International School (JIS) lebih dari dua. "Sejauh ini korban kemungkinan lebih dari dua orang," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (24/4).

Edwin mengatakan, dari penuturan korban baru ini, ada korban lain selain korban terdahulu yang sudah melapor ke kepolisian. "Bukan yang pertama, tetapi korban lain," sebut Edwin.

Ia melanjutkan, korban baru yang sudah melapor ke KPAI mendapat kekerasan dari 3 pelaku, pada waktu yang berbeda dengan korban terdahulu. Adapun dua pelaku yang disebut korban adalah pelaku yang sama dengan pelaku yang saat ini sudah ditahan polisi.

Edwin mendatangi Polda Metro Jaya untuk berkoordinasi dengan penyidik Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), terkait adanya saksi dan korban baru.

Selanjutnya, Edwin tengah melakukan pendalaman kepentingan saksi dan korban terhadap potensi ancamannya. "Jadi kami belum memutuskan apakah menerima atau tidak laporan korban ke LPSK," kata dia. (dtc)

BACA JUGA: