JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengucuran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) oleh pemerintah sejatinya dimaksudkan untuk membantu sekolah memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya dana tersebut, sekolah tak perlu mengutip pungutan apapun dari siswa, khususnya siswa miskin.

Sayangnya, dana BOS tersebut justru banyak bocornya alias diselewengkan oleh pihak sekolah. Indikasinya adalah masih banyaknya siswa miskin yang dipungut biaya semisal uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) setiap bulannya oleh sekolah.

Dalih sekolah melegalkan pungutan SPP adalah berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 tahun 2012. Alhasil meski dana BOS tiap tahun digelontorkan, siswa tetap tak bisa menerima pendidikan gratis seperti yang dijanjikan.

Penelitian yang dilakukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada Juli hingga Desember 2015 mengungkapkan, masih banyak siswa miskin yang membayar iuran sekolah. JPPI melaksanakan penelitian itu di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.

"Cakung diambil sebagai sampel karena gelontoran dana BOS-nya lebih besar dibandingkan kecamatan lain di Jakarta Timur," kata Peneliti JPPI Abdullah Ubaid, di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Senayan, Selasa (1/12).

Penelitian dilaksanakan pada Juli-November 2015 dengan mengambil sampel 5 sekolah swasta dari populasi 145 sekolah swasta di kawasan tersebut. Kelima sekolah tersebut adalah SMP Al Falah, SMP Imtaq Darrurahim, SMP IT Nurul Ihsan, MTS AL Wathoniyah 10 dan MTS Tsaqofah Addarain. Setiap sekolah diambil 30 responden secara kuota.

Untuk mendapatkan responden sesuai kriteria miskin, informasi diperoleh dari pihak sekolah, gambaran status sosial ekonomi orang tua dan dokumen kepemilikan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Dari hasil penelitian, kata Ubaid, diketahui anak-anak miskin di kelima sekolah swasta itu masih dikenakan biaya pendidikan sebesar Rp250 ribu per bulan. Ini, kata Ubaid, jelas melanggar aturan karena UU Pendidikan menyatakan anak-anak harus bebas dari pungutan biaya sekolah.

Selain itu, ada juga temuan alokasi BOS di sekolah swasta mengalir untuk gaji guru sebesar 40 persen dan pengembangan sekolah sebesar 25 persen. Ini, kata Ubaid, jelas-jelas merupakan penyimpangan penggunaan dana BOS yang seharusnya untuk menunjang pendidikan siswa, bukan perbaikan sekolah atau menggaji guru.

JPPI mencurigai Permendikbud No 44 Tahun 2012 ini dijadikan "angin segar" bagi sekolah untuk memungut iuran lain di luar BOS. Beleid tersebut memang masih membolehkan sekolah memungut dua jenis iuran, yaitu pungutan bersifat wajib dan sumbangan sukarela.

"SPP saja masih dipungut. Dugaan saya daerah lain masih terjadi apalagi yang terpencil dan tak terpantau pemerintah pusat. Apalagi swasta ketika kekurangan biaya tetap mengumpulkan orang tua meminta biaya," tambah Ubaid.

Dari hasil penelitian itu, JPPI menyarankan ke depannya terdapat perbaikan mekanisme transfer alokasi BOS. Sebab diketahui, selama ini anggaran BOS juga sering telat turun.

"Orang tua seharusnya dilibatkan ketika sekolah mengumumkan dana BOS nya, bagaimana kapasitas sekolah dalam mengelola dana BOS. Selama ini kan tidak," ujarnya.

KERAP DIMAINKAN - JPPI memaparkan, sejak tahun 2010 hingga 2014 alokasi dana BOS mengalami tren peningkatan. Di tahun 2010 misalnya, gelontoran dana BOS mencapai Rp16,16 triliun. Di tahun 2014, naik menjadi Rp24,9 triliun.

Di tahun 2015 angka itu naik lagi mencapai Rp31,29 triliun. "Sayangnya dana yang begitu besar ini belum bisa meng-cover wajib belajar 12 tahun," kata Ubaid.

Terbukti berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan Badan Pusat Statistik 2010 mengungkapkan, salah satu penyebab anak putus sekolah adalah kemiskinan mencapai sebesar 75,7 persen. Hal ini berkontribusi menurunkan posisi Indonesia pada indeks negara dengan penduduk berpendidikan rendah

Berdasarkan tahun 2013, Indonesia berada di urutan ke-121 negara dengan angka penduduk berpendidikan tinggi di Asia. Indonesia kalah jauh dari Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina yang berada puluhan tingkat di atas Indonesia.

Ini menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia tingkat pendidikannya masih sangat rendah. "Sebanyak 7 juta anak tak bisa belajar di sekolah, BOS bukan menihilkan biaya sekolah tapi hanya mengurangi," ujar Abdullah Ubaid.

Terlebih, dana BOS selain diselewengkan juga cenderung "dimainkan" sehingga kerap telat disalurkan ke sekolah-sekolah. Berdasarkan temuan JPPI, hingga Agustus lalu, masih ada beberapa Kabupaten/Kota yang belum menerima dana BOS tahap kedua dan ketiga.

Daerah tersebut adalah Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Jawa Barat dan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Akibat belum cairnya dana BOS, pihak sekolah kebingungan membayar gaji guru honorer dan membeli keperluan wajib sekolah.

Banyak sekolah yang terpaksa mencari dana talangan untuk menutupi kebutuhan tersebut. Dana BOS yang belum cair itu kebanyakan untuk Madrasah yang kewenangan pencairannya ada di Kementerian Agama.

Pihak Kemenag sendiri mengatakan, belum cairnya dana itu karena ada perubahan aturan. Sebelum dana BOS cair, pihak madrasah harus terlebih dahulu membuat rencana kerja anggaran madrasah. RAKM ini juga harus dikoreksi dulu apakah sesuai dengan kegiatan secara riil.

Pihak JPPI sendiri menduga ada permainan yang membuat belum cairnya dana BOS ini. Soal RAKM dinilai hanya sebagai dalih menahan dana tersebut karena basis turunnya dana BOS adalah siswa bukan sekolah.

Kebutuhan sekolah untuk menggaji guru dan investasi bangunan menurut JPPI tidak bisa diambilkan dari dana BOS. JPPI memang mencatat, Kementerian Agama setiap tahunnya hanya mampu menyerap anggaran sebesar 40 persen dari total anggaran.

Sementara di sisi lainnya BOS yang seharusnya menjadi "dewa penolong" bagi siswa miskin di sekolah-sekolah swasta malah belum dicairkan. JPPI mencurigai adanya motif lain dari alasan berubahnya prosedur pencairan dana BOS. JPPI menulai, satu-satunya alasan dana BOS tidak dicairkan sekolah adalah korupsi.

PEMDA HARUS IKUT TANGGUNG JAWAB - Soal masih kurangnya dana BOS untuk menutupi berbagai biaya pendidikan khususnya di sekolah swasta diakui pihak Kemendikbud. Untuk itu pihak Kemendikbud mendorong pemerintah daerah ikut bertanggung jawab menanggulanginya.

Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Thamrin Kasman mengatakan, dana BOS bersifat bantuan pemerintah. Karena itu, ketika ada kekurangan, maka seharusnya pemda yang meng-cover-nya.

"Jadi bukan bukan oleh orang tua murid ataupun masyarakat. Untuk itu, Kemendikbud juga ikut mendorong pemda untuk mengurus ini," ujarnya.

Anggota Tim Teknis BOS Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Triyani Oktavi menambahkan, soal transparansi, merupakan kewajiban pihak sekolah untuk mengumumkan ke orang tua murid.

Sayangnya, ketika pihak sekolah melanggar peraturan ini, Kemendikbud tak bisa memberlakukan sanksi, melainkan hanya sekadar memberikan teguran belaka. "Kami hanya mengaudit ketika terdapat penyelewengan petunjuk teknis (juknis), kalau ada trik-trik yang bagaimana itu kewenangan Pemda," ujarnya.

Triyani menjelaskan, mekanisme penyaluran dana BOS berawal dari kas umum negara menuju rekening kas umum daerah. Dari situ, dana tersebut kemudian ditransfer ke sekolah dan wajib atas nama rekening sekolah.

Penyaringan dalam penyaluran dana ini agar benar-benar tepat disalurkan ke sekolah yang dituju berada di tangan Kabupaten Kota dan Provinsi. "Penerimanya seluruh siswa, tanpa terkecuali. Khusus pada siswa miskin full," katanya.

Terkait masih adanya pungutan dengan dalih dibolehkan oleh Permendikbud 44/2012, Triyani mengatakan, hal itu tidak wajib. Dalam beleid itu terdapat dua jenis iuran, yakni pungutan dan sumbangan.

Pungutan bersifat wajib dan terdapat risiko sedang sumbangan sukarela. "Jadi kalau sumbangan ini sukarela bukan wajib, jangan mau kalau diwajibkan. Itu sudah dilarang," ujarnya.

BOS TAK EFEKTIF - Pelaksanaan program BOS berdasarkan kajian Bank Dunia memang dinilai sudah tidak efektif. Berdasarkan kajian itu, Bank Dunia berkesimpulan, program BOS hanya berjalan baik dari tahun 2005 hingga 2009. Setelah itu, semuanya cenderung berantakan.

Berdasarkan kajian itu, Bank Dunia menyimpulkan, pada awalnya, beban keuangan bagi keluarga untuk menyekolahkan anak, menurun. Setelah program BOS diperkenalkan pada tahun 2005, keluarga yang memiliki anak di sekolah dasar dan menengah tingkat pertama mengeluarkan biaya 6% lebih sedikit pada tahun pertama BOS berjalan.

Sejumlah 20% keluarga termiskin mengalami penurunan biaya terbesar, begitu pula siswa yang bersekolah di sekolah pemerintah. Penghematan semakin terlihat pada tingkat sekolah menengah pertama, dimana pengeluaran keluarga termiskin turun sebanyak 30%, dibandingkan 5% untuk tingkat sekolah dasar.

Sayangnya, berdasarkan laporan itu, pada tahun 2009, ketika sekolah-sekolah semakin mengenal cara kerja program BOS, biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh keluarga mulai naik. Menurut nilai biaya riil, rata-rata pengeluaran rumahtangga pada tahun 2012 menjadi 46% lebih tinggi di tingkat sekolah dasar dibandingkan pada tahun 2003 sebelum program BOS berjalan.

Bank Dunia juga melaporkan, angka partisipasi pada sekolah menengah tingkat pertama, khususnya siswa termiskin, naik secara signifikan setelah adanya program BOS. Antara tahun 2000 hingga 2005 sebelum adanya BOS, tingkat partisipasi siswa miskin pada sekolah menengah tingkat pertama menjadi stagnan.

Sejak program BOS berjalan, angka partisipasi siswa miskin naik sebesar 26%. Program BOS memang diharapkan bisa meningkatkan peluang siswa untuk menyelesaikan pendidikan wajib belajar 9 tahun hingga sekolah menengah tingkat pertama.

Namun, menurut laporan itu, tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa program BOS telah secara signifikan meningkatkan transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama.

Terkait pengelolaan, laporan itu menyebutkan, BOS telah membantu terbentuknya komite sekolah, dan para anggota komite diharapkan mampu ikut mengelola pendanaan program. Tetapi, anggota komite sekolah jarang dimintai masukan saat pembuatan keputusan terkait alokasi anggaran BOS.

"Yang lebih umum terjadi adalah kepala sekolah dan guru akan menentukan alokasi dana, kemudian menyampaikan keputusan mereka kepada ketua komite sekolah untuk mendapat persetujuan," demikian dikutip dari laporan bertajuk "10 Tahun Pelaksanaan BOS" itu.

Berdasarkan kajian itu, Bank Dunia memberikan empat langkah agar penyaluran dana BOS bisa berjalan efektif. Pertama, meningkatkan fokus pada perbaikan mutu pendidikan

Dana BOS bisa dikaitkan dengan sistem penjaminan mutu, dengan memberikan insentif bagi sekolah yang berhasil dan bisa menjaga status akreditasi tertentu.

Kemudian, mutu melakukan pengkajian daftar penggunaan anggaran BOS agar sekolah memiliki fleksibilitas untuk melakukan investasi pada hal-hal yang bisa meningkatkan mutu pendidikan. "Misalnya, sekolah sebaiknya boleh menggunakan dana untuk membeli peralatan audio-visual," tulis laporan itu.

Kedua, memperkuat fokus program pada kemiskinan. Indonesia adalah negara yang luas dan beragam. Memberikan dana dengan jumlah yang sama untuk siswa di daerah dengan biaya hidup yang lebih tinggi adalah sesuatu yang tidak adil.

Di masa depan, program BOS bisa secara berkala menyesuaikan nilai bantuan dengan mempertimbangkan perbedaan harga-harga antar daerah, juga inflasi. Saran lain adalah menggunakan BOS berformula untuk memberikan dana lebih banyak bagi sekolah yang melayani siswa miskin dan daerah tertinggal.

Ketiga, menggunakan dana BOS dengan lebih baik lewat koordinasi dengan sumber dana lain. Berbagai biaya dan pungutan di luar uang sekolah terus menjadi porsi terbesar biaya pendidikan bagi keluarga.

Berbagai usaha untuk mengklarifikasi aturan sumbangan sukarela harus terus dilakukan. Begitu pula pertimbangan untuk memperkuat peran komite sekolah dalam mengatur jumlah sumbangan yang diminta.

Kemudian, melakukan koordinasi dengan bantuan sekolah lainnya yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan standar sekolah agar dana yang terkumpul lebih besar dari pada yang diberikan hanya oleh BOS.

Keempat, merevitalisasi peran program BOS untuk memberdayakan sekolah dan masyarakat. Saat ini tim BOS di sekolah-sekolah bertugas mengelola dana BOS sehari-hari.

"Mengalihkan lebih banyak tanggung jawab ke komite sekolah dan memastikan perwakilan yang lebih baik melalui komite mempunyai potensi meningkatkan efektivitas dana BOS," demikian saran laporan tersebut.

BACA JUGA: