JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lebih dari 90 persen pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) berujung di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). "Kondisi ini, membuat hakim MK harus menjalankan persidangan sengketa pilkada hampir setiap harinya," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan, Senin (16/12).

Maraknya sidang sengketa pilkada di MK karena banyak dari pasangan calon yang tidak menerima kekalahan. Seringkali, pihak pasangan yang kalah menuding kekalahan disebabkan kecurangan pasangan lawannya. Mulai dari pemalsuan dokumen, tidak memberikan surat undangan dan kartu pemilih, penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara pemilu, hingga politik uang. Hari ini saja, sedikitnya ada lima kasus sengketa pemilukada atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang digelar MK dengan agenda pembacaan putusan.

Kelima sengketa itu adalah sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Tegal,  PHPU Kepala Daerah Kabupaten Magelang, PHPU Kepala Daerah Kota Padang, PHPU Kepala Daerah Kota Subulussalam, dan PHPU Kepala Daerah Provinsi Maluku Utara. Salah satu permohonan yang terdaftar dengan registrasi No.181/PPU-XI/2013, diajukan oleh pasangan nomor urut 1 atas nama Ikmal Jaya-Edy Suripno dalam perkara sengketa pemilihan walikota Tegal. 

Dalam permohonannya, pasangan ini menduga ada pelanggaran yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tegal selama pemilukada. Mereka mengatakan, ada keterlibatan angggota KPPS sebagai tim pemenangan pasangan calon nomor urut 3 (Siti Masitha-Nursholeh), praktik politik uang, dan kampanye hitam yang menjelek-jelekkan nomor urut 1. Selain itu pemohon juga keberatan atas kurangnya sosialisasi tentang tata cara pemberian suara sah sehingga berakibat pada tingginya suara tidak sah yaitu sebesar 7,3 persen dari total surat suara digunakan.

Namun, dalam putusannya, MK menguatkan Keputusan KPU Kota Tegal yang menetapkan Siti Masitha-Nursholeh sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tegal terpilih, sekaligus menolak permohonan dugaan pelanggaran pilkada di kota tersebut. "Mahkamah mengadili, menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan di Jakarta, Senin (16/12). Hamdan yang didampingi enam orang hakim konstitusi menyatakan dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Dalam persidangan lainnya, terkait sengketa Pemilukada Kabupaten Magelang, MK juga menolak permohonan yang diajukan oleh pasangan calon bupati nomor urut 2 atas nama Rohadi Pratoto-Muhamad Achadi. Sementara untuk PHPU Kepala Daerah Kota Subulussalam, MK mengabulkan permohonan untuk sebagian, yaitu memerintahkan Komisi Indepen Pemilihan Kota Subussalam untuk melakukan penghitungan suara ulang  di enam tempat pemungutan suara (TPS) ada di Kota Subussalam. Dan melakukan pemungutan suara ulang di dua TPS.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris mengatakan, dalam sengketa pilkada di MK tentu membutuhkan dana yang besar. Dari membayar pengacara, saksi dan mengeluarkan uang untuk tim ahli. Belum lagi sederetan anggaran yang harus dikeluarkan ketika awal setiap pasangan mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang harus mengeluarkan dana yang banyak untuk berbagai kegiatan.

Menurutnya, sengketa pemilihan umum bisa dibenahi mulai dari pemilihan kepala daerah. Misalnya membenahi Rancangan Undang-undang Pilkada untuk diperbarui. "Pemerintah sepertinya ambigu terhadap UU Pilkada. Pasalnya, banyak Pilkada yang digugat ke Mahkamah Konstitusi," jelas Syamsuddin .

Buktinya, kata dia, skema pemilu Indonesia menyimpang dari sistem presidensil. Pasalnya, pemilihan presiden secara langsung itu dilakukan setelah pemilihan legislatif. Padahal pemilihan presiden secara langsung merupakan sistem presidensil. "Masih banyak permasalahan dalam pelaksanaan Pilkada sejak periode pertama dan periode kedua setelah Orde Baru. Padahal Pilkada merupakan penguatan proses demokratisasi di Indonesia," jelasnya.

BACA JUGA: