Dalam Kompilasi Hukum Islam telah secara runut dijelaskan konsekuensi perceraian terhadap hak asuh anak. Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menyatakan dalam hal terjadi perceraian:

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan;
  3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Namun, bagaimanakah jika perceraian yang disebabkan istri melakukan perselingkuhan dengan orang lain? Tentu dalam persidangan cerai di Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Negeri (bagi non-Muslim) perlu dibuktikan kebenaran perbuatan selingkuh tersebut.

Jika dalam persidangan terbukti sang istri melakukan perselingkuhan maka dirinya telah gagal menjadi seorang ibu atau istri sebagaimana dinyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, "Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya."

Dalam kasus demikian, khususnya tentang hak asuh atas anak, tentu Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara perceraian akan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Maka bertolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, UU Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas sebagai berikut:

  1. Non-diskriminasi;
  2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
  3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
  4. Penghargaan pendapat anak.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim biasanya akan memutus bahwa hak asuh atas anak yang ibunya terbukti melakukan perselingkuhan, jatuh ke tangan bapaknya.

TIM HUKUM GRESNEWS.COM

BACA JUGA: