JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya pemerintah membentuk tim Satuan Tugas Sapu Bersih (Saber) Pungutan Liar (Pungli) dinilai tidak menjamin terbebasnya sektor pelayanan publik dari praktik maladministrasi, termasuk pungli. Sebab praktik pungli telah mendarah daging dalam tata birokrasi pelayanan publik.

"Untuk terapi kejut boleh-lah. Tapi pemberantasan pungli perlu pendekatan sistemik. Bukan dengan tim adhoc begini," kata Komisioner Ombudsman Alamsyah Siragih kepada gresnews.com, Kamis (20/10).                        

Menurut Alam, upaya sistemik menuju Indonesia bebas pungli mesti dilakukan dari hulu hingga hilir. Upaya tersebut harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari reformasi kebijakan hingga melibatkan peran serta masyarakat. "Di hulu, regulasi-regulasi terkait kewenangan yang sumir harus direvisi," kata Alam.

Namun, perbaikan regulasi juga harus dibarengi akuntabilitas agar tidak sekadar jadi cangkang belaka. "Akuntabilitas ke masyarakat harus diperkuat, jangan sekadar menjadi prinsip dalam undang-undang dan regulasi," sambung Alam.

Alam menekankan pentingnya pemisahan badan pengawas dari kendali penyelenggara layanan publik. Upaya itu, dinilai Alam, dapat dijadikan momentum Presiden Joko Widodo jika hendak membuat sejarah baru. "Mungkin ini saatnya Jokowi membuat sejarah. Keluarkan inspektorat dari penyelenggara pelayanan, dan gabungkan mereka di bawah inspektur jenderal yang langsung bertanggungjawab ke presiden," papar Alam.

Setelah badan pengawas menjadi lembaga mandiri. Upaya selanjutnya memperkuat lembaga tersebut dengan memilih kualitas orang-orang di dalamnya. "Pilih personil yang kompeten, kemampuan intelijennya juga diperbaiki," tambahnya.

Sebelumnya, Deputi Birokrasi, Akuntabilitas, Aparatur, dan Pengawasan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPan & RB) Muhammad Yusuf Ateh juga  menilai bahwa lemahnya badan pengawas internal, selain karena masalah kompetensi. Juga disebabkan karena masalah independensi.

Secara struktural, badan pengawas bertanggungjawab hanya kepada kepala daerah maupun menteri. Struktur itu, menurut Yusuf, membuat kinerja badan pengawas segendang-sepenarian dengan kepentingan atasannya. Jika kepala daerah atau menteri memiliki integritas yang mumpuni, hal itu akan berdampak pada kinerja badan pengawas baik, demikian juga sebaliknya.

Lalu, langkah berikutnya untuk menghapus pungli dan praktik maladministrasi menurut Alamsyah Siragih terletak di hilir, yakni di sistem pelayanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.  Menurutnya, sistem pelayanan publik harus dibuat setransparan mungkin dengan format yang lebih sederhana serta sistem antrean yang lebih baik. Untuk menerapkan hal itu,  ia menyarankan agar lembaga layanan publik berkaca ke sektor swasta.

Alam juga menghendaki para atasan dapat dikenai sanksi jika anak buahnya terbukti melakukan penyimpangan berulang kali. Selain itu, penanganan aduan juga harus lebih pasti waktunya, dan masuk sebagai ukuran penilaian kinerja. "Jika tingkat penyelesaian di bawah batas minimal, pimpinan mereka harus dimutasi," pinta Alam. Terakhir, masyarakat harus didorong mau melapor jika ada penyimpangan, dan para pelapor itu harus dilindungi.               

LAPORAN MENINGKAT - Dalam keterangannya  Ombudsman menyebut bentuk maladministrasi tidak hanya pungli atau suap. Namun juga termasuk penundaan berlarut dan tidak diberikannya pelayanan kepada masyarakat. "Pungli hanya puncak gunung es," sebut Ombudsman.

Ombudsman mencatat, laporan soal praktik maladministrasi di sektor layanan publik setahun terakhir mengalami peningkatan. Praktik penundaan berlarut, Ombudsman memperoleh laporan rata-rata 11 laporan/hari, naik  70,3% dari angka 1319 pada 2015 menjadi 2246 pada 2016. Demikian juga praktik tidak diberikannya pelayanan kepada masyarakat. Laporan yang masuk ke Ombudsman rata-rata 5 laporan/hari, naik 15,2% dari 874 pada 2015 menjadi 1052 pada 2016.

Sementara suap dan pungli, meski laporan yang masuk ‘hanya’ 2 laporan/hari. Persentase kenaikannya masih cukup besar, yakni 13%. dari jumlah laporan yang masuk pada 2015, sebanyak 384 laporan, menjadi 434 laporan hingga bulan September 2016.

Peningkatan jumlah pengaduan ke Ombudsman ini menurut Alam diduga karena terjadinya bottlenecking penanganan pengaduan di masing-masing penyelenggara pelayanan. Menurutnya, jika masyarakat tidak mendapat hambatan—baik pelayanannya ditunda atau diabaikan—mereka tidak akan melapor ke Ombudsman. "Jika pengawasan internal pemerintah efektif, tidak akan begini," sambungnya.

Ombudsman juga merilis sektor-sektor yang paling dominan dihinggapi maladministrasi. Bahwa praktik penundaan berlarut paling banyak terjadi di sektor Penegakan Hukum (51%). Tidak memberi pelayanan kepada masyarakat banyak terjadi di sektor Perhubungan & Infrastruktur (14%). Sementara praktik suap dan pungli paling banyak muncul di sektor Pendidikan (45%).

Pungli dan suap disebut merupakan puncak gunung es dari praktik maladministrasi lantaran keduanya kerap diambil sebagai jalan pintas manakala masyarakat selaku pengguna pelayanan mengalami hambatan.

Ombudsman juga mencatat total seluruh laporan yang masuk pada 2016, persentase laporan dengan alasan ada permintaan imbalan baik uang atau pun lainnya secara eksplisit oleh penyelenggara layanan publik mencapai 6,3%. Sementara laporan dengan alasan penundaan berlarut, tapi penyelenggara pelayanan tidak eksplisit meminta imbalan, mencapai angka 32,4%. Terakhir, laporan dengan alasan penyelenggara tidak memberikan pelayanan, namun tidak eksplisit menunjukkan adanya suap, mencapai 15,2%.

Alam menegaskan, tolak ukur berhasil tidaknya kinerja Tim Saber Pungli serta tim satgas lain yang telah lebih dulu dibentuk di masing-masing lembaga dapat dilihat dari jumlah laporan yang masuk ke Ombudsman. "Jika laporan ke Ombudsman tidak menurun dalam waktu satu tahun ke depan, berarti satgas-satgas tersebut gagal," ujarnya


MULAI BERGERAK - Pasca dilakukannya Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kementerian Perhubungan (Menhub), Selasa (11/10) lalu, Pemerintah terus berupaya menuntaskan masalah pungli. Meski sebagian kalangan menuding langkah itu hanya pencitraan, namun hal tersebut tidak menyurutkan Presiden dan pihak-pihak seperti kepolisian dan inspektorat-inspektorat untuk berjuang melawan pungli.

Di bawah komando Jenderal Pol. Tito Karnavian, Polri membentuk tim Operasi Pemberantasan Pungli (OPP). Dari  OPP polisi mengklaim berhasil mengungkap 235 kasus pungli di intenal Polri. OPP juga akan dikerahkan untuk memberantas kasus pungli di lembaga layanan publik lain di luar Polri.

"Kami lakukan dulu langkah-langkah ini ke dalam internal dan eksternal. Saya sudah perintahkan, karena ini kan perintah presiden untuk melakukan pembersihan pungli," kata Kapolri Jenderal Tito di Mabes Polri, Rabu (19/10) lalu.

Selain Polri, lembaga lain seperti Menteri Perhubungan bahkan menggandeng Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk memberantas perilaku pungli. "Saya umumkan, pembentukan tim satgas ini menindaklanjuti peristiwa lalu yang berkaitan dengan perizinan di Kemenhub, kami membutuhkan suatu reformasi birokrasi secara komprehensif dan juga menyeluruh di jajaran internal Kemenhub," ujar Menhub Budi Karya Sumadi saat meninjau pelayanan transportasi publik di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (16/10) lalu.

Saat menggelar rapat koordinasi dengan seluruh gubernur se-Indonesia, Jokowi juga meminta para gubernur bekerja sama memberantas pungli. Pemberantasan pungli dilakukan dilakukan baik  di sektor layanan KTP, sertifikat, dan izin. Juga pungli di jalan raya, pelabuhan, kantor, rumah sakit, dan lainnya.

Jokowi menegaskan persoalan pungli bukan persoalan kecil, lantaran angkanya kerap dianggap lebih kecil ketimbang kasus korupsi yang dampaknya pada kerugian negara sangat nyata. Menurut Jokowi, hal yang membuat ia serius menangani pungli adalah laporan masyarakat yang sampai padanya sudah mencapai puluhan ribu.

"Minggu lalu kita mulai operasi pemberantasan pungli, saya tegaskan pungli bukan soal kecil-besarnya pungutan, tapi keluhan yang sampai ke saya sudah puluhan ribu, baik yang nilainya kecil, ribuan, hingga jutaan," kata Jokowi.

Jokowi juga mengeluhkan pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap pungli kerap berlaku permisif dan menganggap pelanggaran itu sebagai budaya yang wajar. "Padahal, hal itu jelas-jelas menyusahkan masyarakat," katanya.

Selain meminta para gubernur berperan aktif membersihkan  pungli, Jokowi juga membentuk tim Satuan Tugas Sapu Bersih (Saber) Pungutan Liar (Pungli) di bawah komando Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

Menko Polhukam Wiranto menyebut  nama-nama tim satgas sudah diajukan kepada Jokowi, dan tinggal menunggu Peraturan Presiden (Perpres) turun agar Saber Pungli bisa segera bekerja. "Ya kalau tim bekerja ya tunggu Perpres (Peraturan Presiden) dulu," kata Wiranto, Senin, (17/10) lalu.

Sementara itu Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan Tim Saber Pungli akan diumumkan dalam waktu dekat. Ia menyebut menyebut secara infrastruktur, payung hukum dan proyeksi kerja Tim Saber Pungli sudah selesai. Tim Saber Pungli akan dikerahkan hingga ke daerah-daerah, tidak hanya menyasar kementerian/lembaga yang berkaitan dengan pelayanan publik saja. "Ini cukup serius, sungguh-sungguh dan akan dipantau secara langsung oleh Presiden," kata Pramono, Kamis (20/10).

Soal gerakan ini, anggota Komisi III DPR RI Aboe Bakar Alhabsyi menyatakan dukungannya terhadap upaya Jokowi memberantas pungli. Hanya saja, melihat gerakan yang terkesan reaksioner ini, Aboe kembali mengingatkan agar upaya memberantas pungli, baik yang dilakukan oleh tim khusus maupun inspektorat-inspektorat di departemen/lembaga, dijalankan dengan konsisten. "Itu yang terpenting. Jangan sampai anget-anget tahi ayam," katanya kepada gresnews.com, Kamis (20/10). (Zukifli Songyanan)

BACA JUGA: