JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung mulai menggeber pengusutan kasus dugaan korupsi kerjasama pemanfaatan lahan milik PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Citra Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand Indonesia. Proses kerjasama itu dilakukan dengan sistem build, operate, transfer (BOT). Sejumlah saksi diperiksa diantaranya mantan Menteri BUMN di era Presiden Megawati Soekarno Putri, Laksamana Sukardi .

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah mengatakan, pemeriksaan terhadap Laksamana Sukardi dilakukan untuk mendapat keterangan terkait persetujuan PT Grand Indonesia dan PT Hotel Indonesia Natour (Persero) yang diduga diselewengkan. "Waktu itu beliau kan sebagai Menteri BUMN. Ditanya soal persetujuan dengan PT GI. Karena ini (PT HIN) masuk BUMN," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Selasa (1/3).

Armin menyatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang dalam kontrak kerjasama build, operate, transfer (BOT) antara PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Citra Karya Bumi Indah serta PT Grand Indonesia. Dia menyebut ada bangunan di luar kontrak yakni Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Bangunan ini tidak masuk ke kas negara dan menyebabkan kerugian Negara sekitar Rp1,29 triliun.

"Penyalahgunaan wewenang jelas ada itu, clear. Satu, apartemen Kempinski itu tidak diperjanjikan, dibangun. Satu lagi menara perkantoran BCA juga tidak ada perjanjiannya," ujar Arminsyah.

Tanpa adanya perjanjian, pembayaran gedung-gedung tambahan menjadi tidak terikat. Oleh karena itu, pelanggaran kontrak ini diduga menyebabkan kerugian negara. Menurut Arminsyah, penyidik masih membutuhkan keterangan dari para saksi sebagai penguat sebelum menetapkan tersangka, yaitu orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini.

"Ada dugaan melanggar Pasal 2, Pasal 3 UU Tipikor juncto UU 20 2001 tentang perubahan UU 31/1999," kata Arminsyah.

Dia mengaku, Kejagung sudah mendapatkan dokumen. Selain itu juga masih didalami siapa saja yang terlibat. Di komplek lahan negara semestinya hanya dibangun hotel, dua mal, dan lahan parkir, tidak ada dua gedung Menara BCA dan apartemen Kempinski.

"Setelah terang perkaranya tindak pidananya baru kita tentukan tersangkanya. Jelas di situ ditemukan adanya penyimpangan. Cuma jumlahnya belum," pungkasnya.

Sementara itu, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Amir Yanto, selain Laksamana Sukardi, penyidik juga memanggil Direktur Utama PT Cipta Karya Bumi Indah Periode 2004 Johanes Arief Hartono. Kejaksaan juga memanggil Direktur Utama PT Grand Indonesia Fransiskus Yohanes Hardianto Lazaro serta Wijajanto Samirin. "Ketiga saksi terakhir tidak memenuhi panggilan penyidik," kata  Amir.

KESALAHAN OPERASIONAL - Laksamana Sukardi sendiri, kemarin menjalani pemeriksaan selama 8 jam sejak pukul 09.30 WIB. Usai pemeriksaan Laksamana mengaku ditanyai mengenai kronologi terjadinya Perjanjian Kerjasama antara Hotel Indonesia dengan PT Cipta Karya Bumi Indah dengan sistem Built, Operate and Transfer (BOT) pada 2004.

"Diminta keterangan untuk meng-clear-kan, karena waktu Oktober 2004 saya sudah berhenti tapi pada waktu itu memang rencana itu diajukan hanya 2 mall dan hotel," kata Laksamana Sukardi.

Selaku Menteri BUMN saat itu, dia mengaku mengetahui kebijakan itu. Dan tak ada yang salah dengan kebijakan saat itu. Namun, menurut Laksamana, dalam tataran operasional kemudian muncul masalah. Waktu awal, sepengetahuan Laksamana, ada dua mall dan dua hotel yang diajukan. "Setelah itu tak ada laporan dari direksi PT HIN," katanya.

Saat itu Dirut PT HIN adalah AM Suseto. Menurut Laksamana, dalam kontrak kerjasama perhitungan kompensasi harus diberikan ke PT HIN dengan hitungan nett present value yang di dalamnya termasuk gedung perkantoran dan apartemen. Namun faktanya ada dua gedung yang tidak masuk dalam hitungan Menara BCA dan Apartemen Kempinski.

"Seharusnya ketika gedung pembangunan selesai ada berita acara pembangunan dilaporkan ke pemegang saham, menteri BUMN dengan direktur. Tapi (saat itu) nggak ada," kata Laksamana.

Bahkan seiring berjalan waktu, manajemen PT HIN sejatinya tetap wajib melaporkan perkembangan kontraknya. Termasuk jika ada tambahan dua gedung Menara BCA dan Kempinski. Dua gedung itu dimasukkan ke penghitungan pembagian kompensasi ulang dan dilakukan amandemen.

"Penerus saya rasanya nggak tapi saya nggak tahu. Mungkin kejaksaan akan meminta keterangan pada penerus saya bila perlu," terang Laksamana.

LAPORAN RELAWAN JOKOWI - Penyelidikan kasus ini berawal dari laporan salah satu Komisaris PT HIN Michael Umbas ke Kejaksaan Agung awal Februari 2016. Michael Umbas merupakan relawan Jokowi saat Pilpres.

Laporan hasil audit internal PT HIN dan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK menemukan sejumlah temuan terkait perjanjian yang tak semestinya oleh PT HIN. BPK menyatakan dari kerjasama itu ada potensi kerugian negara yang dialami PT HIN.

Kerjasama itu adalah pengembangan lahan di kawasan Hotel Indonesia melalui perjanjian Build, Operate dan Transfer (BOT). Dalam hal ini CKBI penerima hak BOT tersebut. Dalam kontrak BOT yang ditandatangai tahun 2004, disepakati empat objek fisik bangunan di atas tanah negara atas nama PT Grand Indonesia.

Pertama, Hotel Bintang 5 seluas 42.815 meter persegi. Kedua, pusat perbelanjaan U seluas 80.000 meter persegi, ketiga pusar perbelanjaan II seluas 90.000 meter persegi dan keempat fasilitas parkir seluas 175.000 meter persegi.

Namun realisasinya dalam berita acara penyelesaian pekerjaan pada 11 Maret 2009 ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Dan kedua bangunan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT HIN.

Audit BPK memperkuat itu. Dalam dokumen resume hasil pemeriksaan BPK bernomor 02/AUDITAMA VII/01/2016 disebutkan kerjasama HIN dengan CKBI tidak sesuai proses awal. Di antara yang bermasalah, masa kontrak yang melebihi 30 tahun, kompensasi tidak sesuai dengan persentase pendapatan serta sertifikat hak gunan bangunan dijaminkan CKBI dan Grand Indonesia ke pihak lain untuk dapat pendanaan.

Dalam perpanjangan kontrak, awalnya PT HIN awalnya mengembangkan CKBI untuk kembangkan kawasan Hotel Indonesia selama 30 tahun dengan perhitungan kompensasi Rp355 miliar atau 25 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Kerjasama dimulai sejak 2004-2033.

Lalu kontrak diperpanjang 20 tahun menjadi 50 tahun. Perjanjian perpanjangan dilakukan pada 2010 dengan kompensasi sebesar Rp400 miliar. Nilai kontrak ini, menurut BPK, tak layak. Lainnya, perpanjangan tidak lagi ditandatangani dengan CKBI tetapi dengan PT Grand Indonesia. Padahal dalam perjanjian awal, CKBI tidak boleh mengalihkan atau melepas tanggung jawab pelaksanaan kerja sama kepada pihak lain.

Terlebih sertifikat HGB telah diagunkan Grand Indonesia ke salah satu bank untuk memperoleh pendanaan. Padahal ketentuannya, mitra kerja sama CKBI dan Grand Indonesia tidak boleh mengagunkan tanah untuk mendapat pendanaan.

BACA JUGA: